Sejarah

Komite Hijaz, NU dan SI

Kamis, 9 Maret 2023 | 08:00 WIB

Komite Hijaz, NU dan SI

Komite Hijaz, NU dan SI. (Foto: Istimewa)

Oleh Iip D. Yahya

Penemuan naskah Kafful ‘Awam ‘anil Khaudhi fi Syirkatil Islam karya KH. Hasyim Asy’ari, ikut merubah pandangan para peneliti atas hubungan para ulama pesantren dengan Sarekat Islam (SI). Risalah tersebut ditulis oleh Kiai Hasyim sebagai kritik yang tajam atas keberadaan SI. Naskah ini diterima oleh peneliti Zacky Khairul Umam pada tahun 2015 dari Yahya al-Junaid, seorang peneliti di King Faisal Center for Research and Islamic Studies.

 

Risalah ini kemudian dijadikan tesis oleh Ashari di Fakultas Islam Nusantara Unusia dan terbit sebagai buku pada 2020, dengan editor Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Fatchurrohman Karyadi (Atunk). Atunk dikenal sebagai peneliti yang mengkhususkan perhatiannya pada naskah karya Kiai Hasyim. Bertolak dari kajian tersebut, Ayung Notonegoro kemudian menulis artikel pendek, ‘Benarkan Kiai Wahab Mendirikan SI Cabang Mekah?’ Ayung berasumsi bahwa Kiai Wahab Chasbullah tahu atau membaca risalah gurunya itu.

 

Kafful ‘Awam tidak diedarkan atau diterbitkan. Kiai Hasyim menulis kegelisahannya lalu meminta pendapat kepada gurunya di Makkah, yaitu Syaikh Khatib Al-Minangkabawi. Sang Guru kemudian menjawab secara panjang lebar dari sebuah kitab pada 1914 yang kemudian diterbitkan dengan judul Tanbihul Anam yang membantah semua argumen dalam Kafful ‘Awam. Di bagian akhir Tanbihul Anam ditulis pernyataan singkat bahwa Kiai Hasyim menerima keterangan gurunya itu.

 

Kemudian muncul pertanyaan, jika Kiai Hasyim menulis Kafful ‘Awam berdasarkan pandangannya secara langsung atas perkembangan SI di Jawa Timur, siapakah sumber informasi Syaikh Khatib dalam menulis Tanbihul Anam? Hal ini memang memerlukan kajian sejarah yang mendalam dan cermat. SI pada 1912-1914, ketika dua catatan ini ditulis, harus dilihat sesuai konteks waktunya, tidak secara keseluruhan perjalanan organisasi tersebut. Artinya, yang dikritik oleh Kiai Hasyim adalah SI pada awal berdirinya.

 

Berpegang pada jawaban gurunya, Kiai Hasyim “menahan diri” selama 13 tahun untuk tidak bergabung dengan SI atau mendirikan organisasi lain. Namun setelah menerima laporan tidak digubrisnya kepentingan kelompok bermadzhab oleh kelompok Kongres Khilafah yang dimotori oleh SI, maka ia sampai pada satu keputusan untuk mendirikan Nahdlatul Ulama. Apalagi dukungan spiritual dari gurunya yang lain, yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan, telah diperolehnya.

 

Pada 1925, kelompok-kelompok Islam di Hindia Belanda pada awalnya bersiap memenuhi undangan Raja Mesir yang akan mengadakan Kongres Khilafah, sebagai respons jatuhnya Turki Utsmani. Dalam Kongres Al-Islam yang berbarengan dengan Kongres Central Sarekat Islam (CSI) pada 21-17 Agustus 1925, nama Kiai Wahab masuk sebagai salah seorang utusan yang akan berangkat ke Mesir. Di tengah persiapan itu, tiba-tiba datang undangan terbuka penguasa Hijaz yang baru, Ibnu Saud, yang juga akan mengadakan Kongres Khilafah. 

 

Karena penguasa Hijaz menguasai dua tanah suci (Haramain), maka undangan Ibnu Saud mendapatkan atensi yang lebih tinggi. Utusan ke Kongres Khilafah ke Mesir pun dibatalkan. Lalu dijadwalkan Kongres Al-Islam yang lebih awal pada 6-8 Februari 1926 di Bandung. Muncul pertanyaan, mengapa para ulama bermadzhab menanggapi lebih awal, seminggu sebelum konres di Bandung itu? Rupanya CSI secara tersendiri mengusulkan nama Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansoer sebagai utusan yang akan menghadiri Kongres Khilafah di Hijaz itu. Upaya ulama bermadzhab untuk mendesakkan perihal peribadatan di Tanah Suci agar menjadi agenda utusan ke Hijaz, tidak digubris. CSI melihat Kongres Khilafah melulu dari kacamata politik, sementara para ulama bermadzhab melihat lebih jauh dari itu.

 

Melihat sikap CSI itu, kelompok ulama bermadzhab berembuk untuk mengirimkan utusan terpisah.  Rembukan itu mengkristal pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344), yang menyepakati pendirian Nahdlatul Ulama (NU). NU lalu memutuskan akan mengutus KH. R. Asnawi ke Hijaz. Tak diduga tak dinyana, Kiai Asnawi ketinggalan kapal yang berangkat dari pelabuhan Surabaya. Panitia coba menghubungi kapal yang berangkat dari Singapura, juga tidak tersedia. Akhirnya NU hanya mengirimkan telegram ke panitia Kongres Khilafah di Hijaz.

 

Ketegasan para ulama bermadzhab yang  mendirikan NU dan mengirim utusan tersendiri untuk mengikuti Kongres Khilafah di Hijaz, sekalipun gagal berangkat, cukup mengagetkan para pemimpin SI. Mereka sadar bahwa selama ini kurang memberi perhatian dan tempat kepada para ulama. Maka pada pertengahan 1926, SI membentuk Majelis Ulama Sarekat Islam sebagai pelembagaan dari Musywarah Ulama yang sebelumnya sudah ada. 

 

Setahun berselang, pada 1927, Kongres Khilafah untuk kedua kali diadakan di Hijaz. Akan tetapi kongres kedua ini tidak juga menghasilkan khalifah baru yang menggantikan kekhalifahan Utsmani. Dengan demikian, ulama NU tidak terlibat dalam dua kongres khilafah yang gagal tersebut. 

 

Karena NU sudah berdiri, para ulama kemudian berkonsentrasi menata organisasi ini. Kongres pertama diselenggarakan pada Oktober 1926 dengan mengundang para ulama terkemuka di Jawa dan Madura. Hingga kongres kedua pada 1927, belum diputuskan pembentukan cabang. Tampak para pendiri NU sangat berhati-hati dan cermat melihat situasi dan kondisi saat itu. 

 

Setelah mendapatkan kepastian bahwa kedua kongres di Hijaz gagal, Maret 1928, NU kemudian berinisiatif mengirimkan kembali utusan ke Hijaz secara mandiri dan independen. Utusan yang dikirim adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Syaikh Ghanaim Al-Amir. Kedua utusan ini tidak terkait dengan Kongres Khilafah, melainkan murni untuk urusan peribadatan di Haramain sebagaimana konsern para ulama bermadzhab sebelumnya. Selain meminta jaminan kebebasan beribadah sesuai madzhab empat, Kiai Wahab juga menyampaikan sejumlah masukan untuk perbaikan pelayanan ibadah haji. 

 

Kedua utusan NU diterima baik oleh Raja Hijaz, atas bantuan Konsul Hindia Daniel van der Meulen. Perjalanan inilah yang dibukukan oleh Diaz Nawaksara dan Ahmad Ginanjar Sya’ban yang berjudul Oetoesan Comite Hidjaz, yang akan diterbitkan oleh LTN dan Lesbumi PBNU. Penerbitan ini diawali dengan pameran di Surabaya dan Jombang pada 5-6 Februari 2023, menjelang puncak peringatan Satu Abad NU di Sidoarjo. Buku Comite Hidjaz itu menunjukkan peran internasional NU secara mandiri dan independen sejak awal berdirinya.

 

NU semakin fokus menata lembaga dan memperluas jangkauan. Cabang pertama didirikan pada Mei 1928, yaitu Cabang Jombang. Pada Kongres NU ketiga September 1928, telah ada 35 cabang yang mengikutinya. Setelah tiga kali berkongres di Surabaya, kongres keempat pada 1929 dilaksanakan di luar Jawa Timur, yaitu di Semarang. Selama masa Hindia Belanda, kongres organisasi massa memang lazim dilaksanakan setahun sekali. 

 

Dengan semakin banyak cabang yang berdiri, maka pengajuan badan hukum pun diproses pada 5 September 1929. Pada 6 Februari 1930, turunlah besluit nomor 23 yang menyatakan NU telah berbadan hukum. NU kemudian diterima semakin meluas di seluruh Hindia. Pada tahun 1935, tercatat sudah 70 cabang NU yang berdiri. Di sisi lain, SI semakin meredup, terlebih setelah H.O.S. Tjokroaminoto wafat pada 1934. 

 

Ala kulli hal, satu Abad NU memang membawa banyak berkah, antara lain, terbukanya sumber-sumber sejarah yang selama ini seolah tersembunyi.

 

Penulis adalah Direktur Media Center PWNU Jabar.