• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Sejarah

Khazanah Fathaniyah dan Kisah Panjang Percetakan Kitab-Kitab Ulama Jawi

Khazanah Fathaniyah dan Kisah Panjang Percetakan Kitab-Kitab Ulama Jawi
Khazanah Fathaniyah dan Kisah Panjang Percetakan Kitab-Kitab Ulama Jawi
Khazanah Fathaniyah dan Kisah Panjang Percetakan Kitab-Kitab Ulama Jawi

Sebuah rumah sederhana di bilangan Beliga, Batu Chaves, Kuala Lumpur ini menjadi saksi penting sebuah peradaban. Dimana sebagian wajah keislaman di Nusantara ini dibentuk dan dikenali hingga sekarang. Rumah tersebut adalah kantor Khazanah Fathaniyah yang didirikan oleh Haji Wan Mohd Shagir Abdullah. Sebuah lembaga non-profit yang bergerak untuk meneliti, mendokumentasi dan mempublikasi ulang khazanah ulama Jawi (Nusantara).


Menurut Wan Haliem, pengelola Khazanah Fathaniyah sepeninggal Wan Shagir, gerakan ini diinspirasi dari upaya yang telah dirintis oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zein al-Fathani (w. 11 Zulhijjah 1325 H). Sosok ini merupakan aktor intelektual utama dalam masifnya penerbitan karya-karya ulama Nusantara pada abad 19. Baik yang berbahasa Arab ataupun bahasa-bahasa lokal Nusantara lainnya.


Pada masa hidupnya di paruh kedua abad 19, perkembangan dunia percetakan mulai tumbuh. Meskipun saat itu, secara teknologi, penerbitan-penerbitan keislaman di Timur Tengah masih sederhana. Apalagi di Asia Tenggara. Percetakan masih berkutat pada model litograf.


Saat itu, Syekh Ahmad mulai berkecimpung di dunia penerbitan di Timur Tengah. Ia bekerja di Mathba’ah (penerbitan) Al-Miriyah di Bulaq, Mesir. Kemudian, ia ditugaskan di Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah di Mekkah. Aktivitas tersebut, membuat Syekh Ahmad harus bolak-balik antara Mesir, Mekkah dan Istambul (Turki) yang menjadi pusat pemerintahan di Timur Tengah. Hal ini berlangsung antara 1882 sampai 1889.


Dalam menjalankan tugas tersebut, Syekh Ahmad terbersit untuk menerbitkan karya-karya ulama Jawi, khususnya yang berbahasa Melayu. Ide itu ternyata tak mudah untuk mewujudkannya. Saat itu, terdapat larangan dari Raja Hijaz untuk menerbitkan kitab-kitab keislaman yang tidak berbahasa Arab. Selain itu, rekannya pemilik percetakan Musthafa al-Babi-l-Halaby (Mesir) yang diajaknya berkongsi, tak menyambutnya dengan baik. Karena, rekannya tersebut berpikir, komunitas Jawi masih belumlah ramai.


Akan tetapi, tantangan tersebut tak membuat Syekh Ahmad menyerah. Ia berupaya untuk melobi Kesultanan Ustmaniyah yang kala itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid Khan ats-Tsani. Berkat kealiman dan pengalamannya, Syekh Ahmad berhasil meyakinkan sang sultan. Pada 28 Rajab 1307 H/ 1889 M, ia diberikan kepercayaan Kesultanan Utsmaniyah untuk menangani urusan pentadbiran dan politik. Di tahun yang sama, ia juga dilantik sebagai penasehat Syarif/ Raja Mekkah.


Berkat jabatan tersebut, Syekh Ahmad berhasil memasukkan kitab-kitab berbahasa Jawi di Mekkah-Madinah. Untuk memuluskan upayanya tersebut, ia menggandeng al-Amjad al-Khasmiri Fida Muhammad dan anaknya, Abdul Ghani, untuk membiayai percetakan kitab bahasa Jawi untuk pertama kalinya. Kitab yang pertama diterbitkan itu adalah karya Syekh Abdus Shamad al-Palimbani yang berjudul Hidayatus Salikin. Kitab ini dicetak di Mathba’ah Syekh Hasan at-Tukhi yang berada di dekat Masjid Jami Al-Azhar, Mesir.


Sejak saat itu, kitab-kitab berbahasa Jawi mulai banyak dicetak di Timur Tengah. Syekh Ahmad sendiri banyak menjadi pentashih (editor) atas kitab-kitab yang akan diterbitkan tersebut. Baik yang akan dicetak di Mekkah ataupun yang di Mesir. Dari kerja-kerja editorialnya tersebut, ia juga mulai melakukan standarisasi atas penggunaan dan penulisan kitab-kitab berbahasa Jawi.


Di antara upaya dari Syekh Ahmad adalah mengganti kata-kata lokal yang masuk ke dalam teks naskah. Misalnya, bahasa Patani, Aceh, Bugis, Jawa atau lainnya yang terselip ke dalam penggunaan bahasa Jawi (Melayu). Hal ini terpaksa dipangkas agar bisa dipahami secara luas oleh pembaca.


Seiring waktu, perkembangan kitab-kitab bahasa Jawi tumbuh pesat. Bahkan, sekali cetak bisa beroplah hingga sepuluh ribu ekslempar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh syair Syekh Utsman Syihabuddin al-Funtiani (Pontianak):


Memperbuat cap kitab bersangat bagus itu
Jadilah banyak kitab Melayu diterjemah itu
Banyak suka orang meterjemah akan dianya
Bersungguh-sungguh kerana banyak faedah di atasnya
Satu kitab sepuluh ribu jadi naskahnya
Senantiasa panjang pahalanya dan amalnya
​​​​​​​


Bahkan, percetakan-percetakan baru mulai bermunculan. Terutama di kawasan Asia Tenggara. Seperti di Singapura, Riau, Penang dan di Jawa sendiri. Dari sinilah, khazanah pemikiran para ulama Nusantara, dapat terwariskan secara masif hingga saat ini.


“Dari perjuangan Syekh Ahmad itulah yang membuat Wan Shagir mendirikan ini [Khazanah Fathaniyah],” ungkap Wan Haliem.


Wan Shagir yang masih keturunan Syekh Ahmad itu lantas intens melakukan riset, berkeliling ke berbagai negara Asia Tenggara, mengumpulkan khazanah karya tulis para ulama. Tidak hanya yang berasal dari Patani, tapi juga meluas di seluruh alam Melayu. Hasil riset itu kemudian dipublikasikan. Ada yang berupa artikel populer di media massa ataupun yang berupa buku.


Bahkan, karya-karya ulama yang sudah langka itu diterbitkan ulang. Ada yang berupa alih aksara, terjemah atau bahkan cetak ulang.


Ada puluhan judul yang telah terbit dari upaya Wan Shagir ini. Semuanya sangatlah menarik bagi saya pribadi. Sungguh sebuah karya yang harus ada di rak perpustakaan Komunitas Pegon. Ringgit yang terdalam pun harus dirogoh. Menebus sejumlah judul buku terbitan Khazanah Fathaniyah ini.


Ayung Notonegorosalah seorang peneliti NU


Sejarah Terbaru