• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Risalah

Pesantren Penjaga Bahasa Ibu yang Tangguh

Pesantren Penjaga Bahasa Ibu yang Tangguh
Kitab logatan Sunda karya KH Ahmad Makki di sebuah toko kitab.
Kitab logatan Sunda karya KH Ahmad Makki di sebuah toko kitab.

Selama ini, pesantren nyaris tak pernah disebut dalam wacana renaisans (pembaharuan) Sunda. Pesantren yang dimaksud di sini ialah pesantren yang masih mengajar santrinya dengan cara ngalogat. Dari ribuan jumlah pesantren yang ada di Tatar Sunda, 50% nya masih menggunakan bahasa Sunda. Sementara sisanya menggunakan bahasa Indonesia dan masih ada sedikit yang menggunakan ngapsahi Jawa.

Keterpinggiran pesantren dari wacana budaya Sunda itu, ternyata tidak membuatnya kehilangan sense of belonging terhadap budaya –khususnya bahasa-- Sunda. Mungkin pesantren termasuk pihak yang tidak suka gembar-gembor telah melakukan sesuatu. Mereka terus berproses, hingga tak merasa bahwa tradisi ngalogat telah menjadi ‘kurikulum’ pewarisan bahasa Sunda yang efektif. Pewarisan bahasa yang sistematis yang akan melestarikan bahasa Sunda selama pesantren mampu bertahan. 

Proses Belajar Santri

Dalam proses awal mempelajari tata bahasa Arab, santri belajar ilmu nahwu untuk memahami perubahan akhir setiap kata, bagaimana membunyikan huruf terakhir dari sebuah kata. Lalu belajar ilmu sharaf untuk memahami perubahan bentuk kata. Dengan sharaf,  satu kata dasar bisa berubah-rubah hingga 2.500 bentuk baru. Salah satu rujukan tingkat menengah yang tetap populer untuk mendalami tata bahasa Arab di pesantren, adalah Alfiyyah karangan Ibnu Malik. Selain kitab ini, masih banyak kitab yang bisa digunakan untuk mempelajari tata bahasa Arab. 

Dalam tradisi literer Arab, lazim dikenal dua cara ilmuwan menuangkan gagasannya. Dengan menyusun nazham (syair) seperti dilakukan Ibnu Malik. Atau dalam bentuk natsar (prosa) seperti dikerjakan Mushtafa Al-Ghulayaini dalam menulis Jami’ud-Durus Al-Arabiyah. Sebuah kitab tata bahasa Arab yang lebih populer di kalangan akademisi. Tentang alfiyah sendiri, di pesantren lazim dikenal tiga macam: alfiyyah Ibnu Malik (tata bahasa Arab), alfiyyah Zubad (fikih), dan alfiyyah al-Iraqi (mushtalah hadits). Alfiyyah yang terakhir sangat bersejarah bagi dunia pesantren, setelah diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh Mahfuzh bin Abdullah dari Tremas Pacitan. Syarah itu bernama Manhaj Dzawin Nazhar, salah satu rujukan penting tentang mustalah hadits yang masih digunakan pesantren di Indonesia dan berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. 

Namun harus diakui, seorang santri yang hafal Alfiyyah Ibnu Malik, belum tentu mahir membaca kitab kuning. Sebab hafal bukan jaminan mampu memahami. Demikian pula boleh disebut sedikit santri di pesantren Sunda yang  mampu berbahasa Arab (takallum/speaking) secara aktif. Justru di sinilah uniknya pesantren salafiyah di tatar Sunda. Setiap saat mereka bergelut dengan teks-teks berbahasa Arab, tetapi yang keluar dari mulutnya adalah bahasa-logat-cengkok yang kental kesundaannya. Termasuk dalam melagukan 1.000 bait Alfiyyah Ibnu Malik itu. 

Seperti di pesantren Sadang Wanaraja Garut, santri dikenalkan dengan tujuh macam lagu pembacaan alfiyyah. Dari mulai nada rendah (yang bisa mepende) hingga nada tinggi (yang bisa ngahudangkeun). Ketujuh lagu itu ternyata lebih dekat kepada irama lagu-lagu Sunda daripada tembang padang pasir. Dari tradisi ini, sesungguhnya para santri telah terbiasa dengan apa yang sekarang populer sebagai nasyid. Bernyanyi akapela yang terkadang diiringi pukulan meja/bangku. 

Pesantren dan Pewarisan Bahasa Sunda

Kata ngalogat, hingga saat ini belum masuk dalam entri kamus bahasa Sunda. Kamus Bahasa Sunda (KBS) karangan Satjadibrata dan Kamus Umum Bahasa Sunda   (KUBS) yang diterbitkan LBSS, hanya memuat kata logat. Dalam KBS, logat berarti aturan ngalisankeun kecap-kecap. Sementara dalam KUBS, ada arti tambahan, yaitu: 1. aturan ngalisankeun kecap-kecap; 2. Kamus: logat Malayu, kamus basa Malayu; 3. Wewengkon, dialek: ngomongna make logat Minangkabow, ngomongna make dialek Minangkabow.

Ngalogat, di pesantren Jawa Timur-Tengah dan DIY, disebut ngapsahi, ngesahi, atau maknani. Menilik praktiknya di pesantren, ngalogat berarti: mengartikan kata per kata berbahasa Arab --biasanya dalam kitab kuning-- dengan cara menuliskannya tepat di bawah kata yang dimaksud, menggunakan huruf Arab. Aturan penerjemahan ini mengikuti alur tata bahasa Arab yang memberi arti bagi setiap kata yang terkadang hanya terdiri dari satu huruf. Jika menerjemahkannya ke dalam bahasa Sunda, disebut ngalogat Sunda. Demikian pula bila menggunakan bahasa Jawa atau Melayu, disebut ngalogat Jawa atau Melayu.

Dalam praktiknya, bahasa Jawa dianggap lebih bisa mengartikan kata per kata dalam bahasa Arab dibanding bahasa lainnya, termasuk Sunda. Oleh karena itulah, bahasa Jawa banyak dipilih karena kekayaan kosa-katanya dan ketepatannya dalam proses penerjemahan itu. Ngalogat Sunda pun mengikuti alur penerjemahan dalam bahasa Jawa itu. Untuk mempercepat ngalogat, sebab seorang santri harus mengikuti pembacaan sang ajengan, digunakan sejumlah simbol yang diakui berasal dari Jawa. Simbol-simbol itu berkaitan dengan kedudukan sebuah kata (i’rab) menurut tata bahasa Arab. 

Perkembangan ngalogat-Sunda kemudian, sepenuhnya mengikuti konvensi bahasa Sunda yang egaliter dan tidak terpaku pada satu aturan standard. Kosa-kata Sunda yang dipilih untuk menerjemahkan  kosa-kata Arab itu, menyesuaikan kepada khazanah bahasa di mana pesantren berada.

Sejauh ini, kekhasan ngalogat tidak terletak pada bahasa Sunda lokal yang digunakan, seperti Ciamis atau Cianjur, tetapi lebih pada pribadi kyai yang mengajarkan kitab jenis tertentu. Misalnya untuk tafsir Al-Jalalain, yang diakui secara luas adalah pembacaan yang dilakukan oleh Ajengan Santiong Cicalengka Bandung. Pembacaan Alfiyah Ibnu Malik merujuk kepada Ajengan Utsman dari Pesantren Sadang Wanaraja Garut. Dan pembacaan Jauhar al-Tauhid, merujuk kepada Ajengan Khoer Afandi dari pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya. Hasil ngalogat dari para ajengan itulah yang kemudian meluas ke berbagai penjuru Sunda mengikuti persebaran para santri.

Dari alur seperti itulah, tradisi ngalogat telah menjadi proses pewarisan bahasa Sunda yang efektif dan lestari, dan harus diakui telah teruji sebagai cara pembinaan bahasa Sunda yang baik menurut pesantren dan masyarakat di sekitarnya. Ngalogat telah mengabadikan kekayaan beragam dialek bahasa Sunda ke dalam sebuah sistem pengajaran yang sekalipun tidak dibakukan, namun dijaga oleh kepentingan sosial-historis (demi tetap berlangsugnya model pengajaran pesantren) dan psikologis-spiritual (mengacu pada relasi ajengan-santri dan ‘kepatuhan’ pada sejumlah aturan dalam kitab kuning). 

Bahasa Sunda, dengan demikian semakin mengakar dalam diri santri, karena selain diharuskan mampu membaca secara benar dan menerjemahkan kitab kuning ke dalam bahasa Sunda, santri juga dituntut untuk mampu mentransformasikan hasil bacaannya dalam bentuk –terutama— ceramah dalam bahasa Sunda. Dalam proses tersebut, ia akan dianggap berhasil jika mampu berbahasa Sunda secara baik yang diukur dari penerimaan masyarakat di sekitarnya.

Di pesantren salafiyah, santri akan menempuh pendidikan antara 5-7 tahun masa belajar yang dibagi dalam beberapa tingkat. Sejak masuk di kelas satu hingga dinyatakan lulus, santri belajar dengan cara ngalogat Sunda. Bagaimana dengan santri dari wilayah luar Sunda lainnya? Mereka harus konsisten. Mereka belajar di tatar Sunda, karena itu wajib belajar bahasa Sunda. Bahwa setelah pulang nanti mereka ngalogat dengan bahasa ibunya kembali, bukanlah persoalan. Yang penting selama belajar, mereka mampu berbahasa Sunda dengan baik. 

Demikianlah, pesantren terbukti sebagai penjaga bahasa ibu yang tangguh, memiliki potensi besar untuk kelestarian bahasa Sunda di masa depan. 

Penulis: Iip Yahya
 


Editor:

Risalah Terbaru