• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

Tantangan Santri Milenial

Tantangan Santri Milenial
Santri milenial memiliki tantangan pada era saat ini
Santri milenial memiliki tantangan pada era saat ini

Oleh Fatimatuzzahroh

Selama perjalanan pergolakan kemerdekaan bangsa ini, apa tantangan yang harus dihadapi oleh para santri milenial?

Menurut saya, santri milenial adalah santri yang tumbuh dan berkembang pada masa informasi digital. Jika di zaman pergerakan para santri berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, maka sudah menjadi tanggung jawab santri pula untuk memajukan bangsa dan negara.

Sementara tantangan terbesar santri, selain harus mampu membumi bersama rakyat, ia juga harus melek teknologi terutama media digital online dimana ujaran kebencian dan berita hoaks menjadi hal yang meresahkan serta menjadi pemicu disintegrasi bangsa.

Jadi mengendalikan jari-jari tangan ketika menggunakan media sosial hari ini, sama pentingnya dengan mengangkat senjata pada masa penjajahan. Jika dahulu musuh kita adalah bangsa penjajah dari negara lain, maka saat ini musuh kita adalah hoaks dan ujaran kebencian yang banyak bertebaran di media sosial dan online.

Selain melakukan perlawanan, bagi santri yang memiliki kemampuan menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan, maka sudah menjadi tugas dan tanggungjawabnya untuk menulis serta menyebarkan tulisan kepada khalayak yang lebih luas.

Terutama sekali menjelaskan kembali hal-hal yang dianggap sebagai hoaks atau informasi yang tidak benar tentang sesuatu hal. Apabila kita mempunyai informasi pembanding yang meluruskan atau membantah wacana yang berkembang, maka wajib bagi kita untuk menyampaikan hal itu.

Sedangkan jika bagi yang kurang memahami, maka mencari tahu informasi lain, atau tabayun (klarifikasi), cek dan crosscheck kepada orang yang dianggap tahu atau lebih mengetahui tentang wacana tertentu. Kalau sudah mendapatkan informasi itu, wajib pula membagikannya kepada yang lain agar hal buruk tentang  persepsi yang salah bisa dihindari. Dan kebenaran akhirnya yang akan bicara.

Tetapi yang perlu diingat kembali, untuk memasuki media digital, santri juga harus dibekali dengan kapasitas diri dan literasi yang baik. Sehingga ketika melakukan counter opini akan mampu menjelaskan kepada publik secara lebih jelas bagaimana dan apa sebenarnya yang terjadi.

Beberapa faktor yang menyebabkan gerakan digital warga NU masih mengalami kendala, antara lain:

Pertama, masih rendahnya budaya literasi di lingkungan NU. Sehingga berita pertama yang kerap diterima melalui kiriman pesan singkat, atau membaca di postingan media sosial, itu akan langsung diterima tanpa berupaya melakukan klarifikasi atau mencari berita pembanding dari sumber yang lebih bisa dipercaya.

Kedua, kemasan atau packaging dakwah yang kurang menarik bila dibandingkan dengan penampilan Ustadz gaul dari kalangan artis. Kemasan ini tidak hanya  penampilan secara fisik, tetapi juga cara penyampaian pesan pada audiens

Ketiga, mempunyai perspektif keadilan hakiki bagi perempuan. Sebab keberadaan perempuan juga memiliki peran strategis. Selain komoditas sasaran dakwah melalui Fatayat dan Muslimat NU, di mana fungsi ketahanan keluarga di mulai sebagai awal memperkuat nilai-nilai ke-NU-an. Harapannya agar perempuan mampu melakukan pertahanan diri di keluarga, sebagai tindakan preventif munculnya benih radikalisme.

Keempat, penguasaan teknologi digital, sumber daya manusia dan modal. Karena untuk membangun jaringan digital yang berkualitas dan mampu menjangkau akses yang lebih luas, dibutuhkan santri yang paham betul tentang strateginya. 

Untuk menjawab hal  tersebut saya kira perlu sinergi semua pihak. Tidak hanya NU hanya secara struktural tetapi juga kultural, misalnya untuk mendakwahkan bersama tentang Islam Nusantara yang rahmatal lil ‘alamien melalui media digital, yang tidak hanya sekedar jargon dan pemanis belaka. Namun benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang artinya “Memelihara hal-hal lama yang bagus, dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus.

Maka penting bagi santri untuk berdiaspora, berbagi peran sesuai dengan kapasitas masing-masing untuk melakukan dakwah Islam Aswaja an-nahdliyah, yang memiliki sikap moderat (tawasuth) yang tidak ekstrem kiri maupun kanan, tidak berlebih-lebihan. Tawazun, yakni menggunakan pertimbangan berbagai sudut dalil naqli dan aqli, kepentingan pribadi-umum, kewajiban dan hak.  Selain itu, i’tidal yaitu integritas, konsisiten, tegak lurus, ajeg, istiqamah dalam kemaslahatan, baik dalam sepi maupun ramai, di kehidupan pribadi, keluarga maupun sosial. 

Kemudian toleran (tasamuh), arif dan positif menyikapi perbedaan sehingga santri mampu memandang persamaan sebagai perekat dan keragaman sebagai rahmat yang memperkuat, serta sensitif terhadap kebutuhan mereka yang berbeda. Musyawarah (tasyawur), keluarga santri menjadi madrasah dan budaya mendengar serta merumuskan kemaslahatan dalam beragam sudut pandang serta kepentingan bersama. Sehingga nanti bagaimana mengimplementasikan lima prinsip Aswaja itu dalam dakwah santri milenial untuk menghadapi persaingan global.

Penulis adalah Ketua PC LKKNU Kabupaten Indramayu
 


Opini Terbaru