• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Penerjemahan, Pijakan Awal Santri Jadi Ilmuwan

Penerjemahan, Pijakan Awal Santri Jadi Ilmuwan
Santri yang sedang ngalogat atau menerjemahkan (Foto: NU Online)
Santri yang sedang ngalogat atau menerjemahkan (Foto: NU Online)

Oleh Syakdillah 

Pondok pesantren salaf (bukan ideologi Salafi) mengenal tradisi menghafal, mengaji bandongan, dan sorogan. Tiga macam proses belajar yang masih bertahan hingga kini.

Sepintas lalu, tiga proses tersebut tidak memiliki banyak arti, karena hanya memberi pemahaman dalam menghadapi/membaca teks-teks keagamaan seperti Al-Qur'an, hadis, kalam, fiqh, dan tasawuf. Alumni pesantren salaf yang telah menyelesaikan tiga proses tersebut biasanya langsung pulang kampung untuk menjadi kiai "kampung", wirausaha muda, atau melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. 

Di perguruan tinggi, mereka belajar metodologi ilmiah. Namun, belum menjamin akan produktif menjadi ilmuwan. Bisa saja setelah selesai kuliah malah sibuk pada urusan birokrasi dan sertifikasi. Sehingga produktivitas untuk menjadi ilmuwan tidak pernah terbayangkan. Menuntut ilmu hanya sekadar menyelesaikan proses: pernah belajar.

Ada resep mudah untuk menjadi kreator. Bahasa kreator digunakan di sini untuk generalisasi produktif bagi penggiat kreativitas, baik seni, keterampilan, maupun ilmuwan.

Menjadi penerjemah (translator) bisa jadi merupakan salah satu syarat untuk menjadi seorang kreatif/ilmuwan. Seorang santri salaf harus bisa menerjemahkan satu buah kitab karya ulama-ulama terdahulu sesuai pilihan yang diminati. Modal menghafal syair-syair nadhoman, bandongan, dan sorogan sudah lebih dari cukup untuk menjadi ulama-ilmuwan. Tentu, diikuti dengan konsistensi, kesabaran, ketawakalan, dan keinginan (ghirah).

Kenapa menerjemah? Ya, karena pada proses itu, seorang santri salaf akan mengenal madah (materi-materi kajian), idiom-idiom (diksi kata dalam bidang tertentu), metode penulisan, dan landasan teori. Pada proses ini, seorang santri salaf akan serius mengenal tarkib, sighat, makna kamus dan istilah, serta upaya menyusun kalimat. Semakin banyak kitab-kitab yang diterjemahkan, semakin kaya metode dan materi semakin besar peluang kemungkinan menjadi ilmuwan. Syukur-syukur bisa menguasai bahasa lebih banyak, seperti Jawa, Sunda, Arab, Indonesia, Inggris, dan lain-lain. Semakin banyak bahasa semakin luas pengetahuan ilmu dan budaya yang didapat.

Memang, proses ini membosankan. Dan, tidak semua orang meminatinya. Mental block untuk menjadi ilmuwan sering menghadang terlebih dahulu dengan bayang ketakutan akan kritik-kritik yang datang. Dan, sering, seorang translator menjadikan penerjemahan sebagai sebuah profesi, meski tidak sepenuhnya salah. Kendati hasil terjemahan juga cukup untuk koleksi pribadi.

Dengan demikian, bekal untuk menjadi ilmuwan dan/atau kreator sudah terbuka lebar. Tinggal menuangkan ke dalam bentuk gagasan karya. Karya-karya bisa beragam sesuai minat, hobi, dan keinginan. Dari sini, setidaknya, sudah menang satu langkah.

Langkah kedua setelah menjadi translator, sebaiknya seorang santri salaf coba membuat karya, bisa tulisan berupa buku atau bentuk lainnya. Meskipun dengan referensi seadanya. Sebuah karya akan dinilai dan dibaca oleh orang banyak. Dari situ, kritik dan masukan akan semakin menyempurnakan sebuah karya. Dengan menghasilkan sebuah karya akan tumbuh kepercayaan diri dan keberanian. Dan, selesai menghasilkan sebuah karya. Ada adagium "sebaik-baik sebuah karya adalah karya yang selesai". Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan yang selesai. Pekerjaan yang tidak pernah selesai hanya akan menjadi beban mental menjalani hidup. Apalagi sekolah yang tidak selesai.

Langkah ketiga adalah membuat sebuah resume atau ringkasan, pun sebuah resensi. Sebuah sajian resensi yang padat berisi dan mudah dipahami bukan pekerjaan mudah, karena harus banyak membuka wawasan. Menyederhanakan teori yang besar ke dalam sebuah rumusan sederhana bukan pekerjaan mudah. Memerlukan keseriusan.

Jika dua atau tiga proses tersebut (translate, berkarya, dan meresensi) berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin dapat menjadi seorang ilmuwan atau kreator.

Pada awalnya, KH Abdurrahman Wahid Gus Dur mengajar santri-santri senior untuk menerjemahkan sebuah novel berbahasa asing dan mengajari adiknya KH Hasyim Wahid (Gus Im) belajar meresensi buku-buku.

Penulis adalah Nahdliyin yang meminati seni budaya dan pemikiran


Editor:

Opini Terbaru