Opini

Saatnya Ulama Berperan: Menghadapi Tantangan Politik dengan Hikmah dan Keteguhan 

Rabu, 19 Maret 2025 | 05:01 WIB

Saatnya Ulama Berperan: Menghadapi Tantangan Politik dengan Hikmah dan Keteguhan 

Abdullah Nawawi Mdz, Ketua Umum PB Aliansi Dewan Masjid Indonesia. (Foto: NU Online Jabar)

Meluruskan Pandangan: "Ulama Hanya Mengurusi Akhirat, Tidak Perlu Terlibat dalam Politik". Di tengah dinamika politik yang terus berkembang, masih ada anggapan bahwa ulama, kiai, dan santri cukup fokus pada urusan ibadah dan tidak perlu terlibat dalam politik serta kebijakan negara. 

 

Namun, jika ulama benar-benar menjauh dari politik, siapa yang akan memastikan kebijakan negara berpihak kepada umat? Siapa yang akan membela hak-hak pesantren, santri, dan pendidikan Islam? 

 

Dengan jumlah 4,3 juta santri di Indonesia, suara mereka seharusnya menjadi bagian dari pengambilan kebijakan. Sayangnya, karena ulama dan santri sering dijauhkan dari arena politik, kepentingan mereka kerap terabaikan. 

 

1. Ulama dan Santri Tidak Harus di Parlemen, tapi Harus Siap Mengisi Jabatan Publik 

Banyak yang menganggap bahwa keterlibatan ulama dan santri dalam politik hanya berarti masuk ke dunia parlemen. Padahal, jabatan strategis di pemerintahan, kementerian, dan lembaga negara juga membutuhkan peran mereka. 

 

Bayangkan jika: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berasal dari kalangan yang memahami nilai-nilai Islam dan pesantren. Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pemahaman mendalam tentang keadilan dalam Islam. Pejabat di Kementerian Agama memiliki latar belakang pesantren yang kuat.

 

Semua posisi ini memiliki dampak besar terhadap kebijakan yang mengatur kehidupan umat. Jika ulama dan santri tidak masuk ke dalamnya, maka yang mengatur adalah mereka yang belum tentu memahami kepentingan umat Islam. 

 

2. Santri dan Kiai Harus Menempuh Pendidikan Formal 

Agar bisa menduduki jabatan publik strategis, santri dan kiai tidak cukup hanya memiliki keilmuan agama, tetapi juga harus menempuh pendidikan formal yang diakui oleh negara. 

 

Sejarah mencatat bahwa banyak ulama besar yang tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga memiliki pendidikan akademik yang kuat: 


KH. Wahid Hasyim belajar di Universitas Islam Al-Azhar dan aktif dalam perumusan dasar negara. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar dan Universitas Baghdad sebelum menjadi Presiden RI. KH. Ma'ruf Amin memiliki latar belakang pesantren yang kuat dan juga menduduki jabatan strategis sebagai Wakil Presiden RI.

 

Pendidikan formal adalah kunci agar santri dan kiai bisa masuk dalam sistem pemerintahan dan mengambil peran penting dalam kebijakan publik. 

 

3. Mengapa Ulama dan Santri Harus Terlibat dalam Kepemimpinan? 

a) Islam Mengatur Kehidupan Dunia dan Akhirat 

Islam adalah agama yang menyeluruh (kaffah), tidak membatasi ajarannya hanya pada ibadah ritual, tetapi juga mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Allah ﷻ berfirman: 

 

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا 

 

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia..." (QS. Al-Qashash: 77) 

 

Jika ulama dan santri hanya berfokus pada akhirat tanpa memikirkan sistem pemerintahan dan kebijakan publik, maka umat akan kehilangan bimbingan dalam kehidupan duniawi mereka. 

 

b) Politik Itu Kotor? Justru Ulama Harus Membersihkannya! 

Sebagian orang menganggap politik penuh dengan intrik dan kepentingan duniawi. Namun, jika ulama dan santri menjauhi politik, siapa yang akan memastikan bahwa nilai-nilai Islam tetap hadir dalam kebijakan negara? Allah ﷻ berfirman: 

 

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ 

 

"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kalian menetapkan dengan adil..." (QS. An-Nisa: 58) 

 

Jika politik kotor, maka justru ulama dan santri yang harus masuk untuk membersihkannya! 

 

c) Sejarah Ulama yang Berperan dalam Kepemimpinan 

Sejarah Indonesia mencatat bahwa ulama selalu berperan dalam perjuangan politik dan kebangsaan: KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama dan mengeluarkan Resolusi Jihad untuk melawan penjajahan. KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan memperjuangkan pendidikan Islam modern. KH. Wahid Hasyim aktif dalam perumusan dasar negara agar nilai Islam tetap dijaga.


Jika ulama terdahulu berperan dalam politik dan kebijakan negara, maka ulama dan santri hari ini tidak boleh hanya berdiam diri. 

 

4. Apa yang Harus Dilakukan Ulama dan Santri? 

a) Menempuh Pendidikan Tinggi dan Profesional 

Agar bisa masuk ke dalam sistem pemerintahan, santri dan ulama harus memiliki pendidikan tinggi di berbagai bidang seperti hukum, ekonomi, sosial, dan administrasi negara. 

 

Selain belajar kitab kuning, santri harus didorong untuk kuliah di universitas, baik dalam negeri maupun luar negeri, agar bisa menduduki jabatan strategis di pemerintahan. 

 

b) Berperan dalam Kebijakan Publik 

Ulama dan santri harus mulai terlibat dalam: Dewan Pendidikan dan Kebudayaan agar pendidikan Islam tetap kuat. Kementerian dan Lembaga Negara untuk memastikan kebijakan berpihak pada umat. Organisasi Sosial dan Keagamaan agar tetap mengawal kebijakan pemerintah. 

 

c) Menyiapkan Generasi Santri yang Siap Memimpin 

Pondok pesantren tidak boleh hanya mencetak ahli agama, tetapi juga pemimpin yang siap masuk ke dalam sistem pemerintahan dan kebijakan publik. 

 

Kesimpulan: Ulama, Santri, dan Kiai Harus Siap Memimpin! 

Menjauhkan ulama dan santri dari kepemimpinan adalah kesalahan besar. Jika umat Islam ingin melihat kebijakan yang berpihak pada pesantren, pendidikan Islam, dan kesejahteraan umat, maka ulama dan santri harus masuk ke dalam sistem pemerintahan dan jabatan publik. 

 

Tidak harus menjadi anggota parlemen, tetapi harus siap mengisi jabatan strategis di pemerintahan dengan bekal pendidikan formal dan keilmuan agama yang kuat. Saatnya ulama, kiai, dan santri bangkit dan mengambil peran dalam kepemimpinan bangsa!  Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Abdullah Nawawi Mdz, Ketua Umum PB Aliansi Dewan Masjid Indonesia