• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Refleksi Halaqah Fikih Peradaban di Pesantren Sukamiskin Bandung

Refleksi Halaqah Fikih Peradaban di Pesantren Sukamiskin Bandung
Dari kiri ke kanan: KH Wahyu Afif Al-Ghafiqi, Dr. KH A Ginanjar Sya'ban, Kiai Yayan Bunyamin, dan Prof Bambang Q Anees dalam Halaqah Fikih Peradaban di Pesantren Sukamiskin Bandung (23/11/2022)
Dari kiri ke kanan: KH Wahyu Afif Al-Ghafiqi, Dr. KH A Ginanjar Sya'ban, Kiai Yayan Bunyamin, dan Prof Bambang Q Anees dalam Halaqah Fikih Peradaban di Pesantren Sukamiskin Bandung (23/11/2022)

Tiga bulan terakhir di tahun 2022, di antara program kerja Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan KH. Yahya Cholil Staquf adalah menyelenggarakan Halaqoh Fiqih Peradaban di 250 titik, yang tersebar di berbagai pesantren  se-Indonesia. Untuk wilayah Kota Bandung, acara Halaqoh Fiqih Peradaban ini dihelat bertepatan dengan tanggal cantik, yaitu Selasa 22-11-2022, bertempat di sebuah pesantren yang sarat akan nilai historis, yaitu Pesantren Sukamiskin.


Pesantren yang didirikan oleh KH Muhammad Alqo sejak tahun 1881 ini, memang di kemudian hari memiliki irisan historis dengan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.


Berdasarkan dokumen catatan singkat Kongres IV-X NU, salah seorang pimpinan Pesantren Sukamiskin, yaitu KH RA Dimyati alias Mama Gedong, sudah terlibat dalam aktivitas ke-NU-an sejak Kongres NU keempat di Semarang tahun 1929. Pada kongres tersebut ia hadir bersama beberapa ulama Jawa Barat lainnya, seperti KH. Abbas dan KH. Annas dari Buntet Cirebon, yang mana mereka ini kemudian diamanahi untuk mengembangkan NU cabang Cirebon dan Bandung.


Sepeninggal KH. RA. Dimyati, Pesantren Sukamiskin dipimpin para oleh keturunannya, seperti KH. Haedar Dimyati dan KH. Sofwan. Generasi berikutnya, sejak tahun 1967 Pesantren Sukamiskin dipimpin oleh KH. Imam Sonhaji, dan hingga berikutnya kepemimpinan KH. Abdul Aziz Haedar, sampai saat ini. Tokoh-tokoh tersebut dipandang memiliki kedekatan emosional dengan NU. Tidak heran jika pesantren ini dipilih untuk menjadi tuan rumah, kemudian menjadi saksi akan antusiasme para peserta halaqah, serta menjadi panggung bagi para narasumber yang mengupas tuntas tema bahasan “Fiqih Siyasah dan Negara Bangsa.”


Di antara narasumber yang hadir adalah KH Bambang Q Anees, guru besar bidang ilmu kebijakan pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dalam pemaparannya di sesi kedua, ia menekankan bahwa kegiatan-kegiatan semacam Halaqoh Fiqih Peradaban ini penting untuk menghasilkan rumusan-rumusan fiqih yang solutif bagi ragam persoalan manusia, yang bukan hanya peroblematika tingkat lokal, namun juga tingkat internasional. Sebagai mana dulu, salah satu tujuan NU didirikan pada tahun 1926, adalah untuk merespon kondisi perubahan geopolitik di Timur Tengah, seperti runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani dan penguasaan Tanah Hejaz oleh Bani Sa’ud bersama kelompok keagamaan yang berfaham Wahabiyah.


Kang Beqi, begitu sapaan pemateri pertama ini, berpandangan bahwa jika saja sejak awal berdirinya NU sudah memikirkan kondisi umat Islam di tingkat internasional, maka adalah hal yang  wajar apabila KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU periode sekarang memiliki visi internasional, dan terlibat aktif dalam upaya pemecahan problematika kemanusiaan. Contoh, ketika dunia terancam oleh krisis pangan dan ekologi, hal sederhana yang bisa dilakukan para kyai dan kalangan pesantren adalah misalnya dengan merumuskan fiqih lingkungan, penyediaan tanah atau lahan garapan, dan sejenisnya. Dari sini, rumusan hasil ijtihad fiqih kontemporer mutlak diperlukan sebagai solusi bagi problematika baru, yang mungkin sama sekali berbeda dengan persoalan kehidupan di masa lalu.


Gagasan dari pemateri pertama ini kemudian diperkuat oleh pemateri kedua, yaitu KH Yayan Bunyamin, seorang kiai muda NU asal Tasikmalaya. Menurutnya, para santri dan para kiai di era sekarang, sangat perlu meniru KH Wahab Hasbullah dalam hal memiliki dua kompetensi penting, yaitu grass root understanding yang bisa menghadirkan solusi permasalahan rakyat tingkat bawah, sekaligus memilki world class kompetensi, yang tidak abai pada isu-isu dunia internasional.


Seumpamanya, KH Wahab Hasbullah sangat responsif menyikapi perubahan tatanan dunia, dari negara-negara tradisional menjadi negara-negara berbentuk Nation State. Terkait ramainya gagasan negara bangsa pada abad awal ke-20 tersebut, KH. Wahab Hasbullah turut menghadirkan konsep kebangsaan dengan perpfektif khas pesantren, yang tertuang dalam syair “Syubbanul Wathon”, tentang kecintaan kepada tanah air.


Menurut Mubaligh kondang yang terkenal dengan jargon “Salam Sugih”-nya ini, kecintaan terhadap tanah air ini sangatlah penting. Karena, untuk membangun peradaban dan merespon persoalan-persoalan global, pijakan pertama yang harus diperhatikan adalah ketersediaan “wadah” tempat menyemai benih-benih peradaban itu sendiri. Wadah yang dimaksud adalah Tanah Air. Itulah mengapa, sepuluh tahun sebelum NU sebagai sarana membangun peradaban didirkan, KH. Wahab Hasbullah terlebih dahulu membentuk Nahdlatul Wathon, atau kebangkitan Tanah Air. Kecintaan kepada tanah air ini juga bukan sesuatu yang tidak berdasar. Pada pemaparannya, Kang yayan menyampaikan setumpuk argumentasi dalil, termasuk bagaimana Rasulullah sangat mencintai Makkah sebagai negeri kelahirannya dan negeri Madinah tempat rasulullah berjuang membangun perdaban.


Sebagai bentuk ittiba’ atas apa yang dicontohkon Rasulullah, bangsa Indonesia harus mencintai negerinya, pula. Perlu ada kesadaran bahwa tanah Indonesia inilah tempat kita bersujud, dan dengan air Indonesia inilah kita bersuci, sebelum mengabdi pada illahi. Menjaga tanah air adalah modal utama merealisasikan semua cita-cita, termasuk realisasi dan ekspresi keimanan dan keislaman. Secara spiritual, salah satu bentuk dari cinta tanah air ini adalah dengan mendoakan Indonesia agar damai, tentram, dan aman. Pada permulaan masa berdakwah, Rasulullah rela hijrah meninggalkan Makkah, menempuh jarak ratusan kilometer meski jauh dijugjug anggang diteang, menuju Yatsrib/Madinah yang lebih bisa memberikan jaminan keamanan untuk menjalankan keimanan. Inilah makna dari “Hubbul Wathon Minal Iman.”


Hal lain yang diperlukan dalam upaya membangun peradaban adalah perlunya progresifitas, dan fleksibilitas pemikiran. Ini berkaitan dengan kontekstualisasi produk-produk hasil ijtihad fiqih. Pada persoalan ini, narasumber ketiga, seorang intelektual muda NU, yang juga ahli filologi, menyajikan fakta-fakta historis tentang dinamisasi serta progresifitas pemikiran para ulama-ulama Nusantara. Adalah Dr. Kyai Ahmad Ginajar Syaban, M.Hum, atau lebih dikenal dengan sebutan Ajengan Aceng, mengemukakan bahwa Fiqhul Hadloroh atau fiqih peradaban ini adalah pengejawantahan dari sifat fiqih itu sendiri. Sebagaimana qaidah ushul fiqih mengatakan “al ahkam al fiqhiyyah tataghoyyaru ma’a taghoyuril azminah wal amqinah”, di mana hukum fiqih itu memang fleksibel, bisa berubah sesuai dengan konteks spasial dan temporalnya.


Pemahaman yang demikian ini, sudah sering dipraktekkan oleh para ulama Nusantara sejak dahulu. Misalnya, pada tahun 1650, di Aceh, ulama sekaliber Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (1615-1693 M), , menghasilkan ijtihad fiqih tentang kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin. Ketika di kesultanan lain tidak ada wanita yang jadi sultan, dan dalam pemahaman fiqih pada umunya syarat nasbul imam itu harus laki-laki, di Kesultanan Aceh saat itu sudah ada pemimpin perempuan, yaitu Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam (1612-1675 M). Dan Syaikh Abdurrauf Singkili ini bukanlah ulama biasa, dia salah satu maha guru para ulama di masanya. Di anatra muridnya yang termasyhur adalah Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (wafat 1730 M), salah seorang penyebar Islam di Jawa Barat. Syaikh Abdurrauf menulis kitab Turjumanul Mustafid, tafsir Al qur’an terlengkap pertama di Nusantara, serta penulis kitab fiqih muamalah Mir’atul at-Tulab fi al-Mauamalah bi-Syariatillahil Malikil Wahhab, kompilasi dan adaptasi dari kitab Fathul Wahhab yang dikarang Syaikhul Islam Zakaria al-Anshori (1420-1520 M).


Kemudian, pada tahun 1700-an, ada ulama sekaliber Syaikh Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dari Kalimantan Selatan, penulis kitab fiqih Sabilul Muhtadin fi Tafaqquh bi al-Amri al-Din. Salah satu ijtihadnya, yang tidak ada di kitab-kitab klasik karya ulama Timur Tengah, adalah perihal pembagian waris bagi perempuan yang bekerja. Pada saat itu, di nusantara banyak wanita yang bekerja membantu suami, dan hasil kerjanya sering digabungkan dengan harta suami. Maka apabila suaminya meninggal,  harta itu tidak boleh langsung dibagikan sebagai warisan, tetapi harus dipisah dan dibagikan dulu atas hak istrinya, sejumlah yang didapatkan ketika si istri bekerja.


Berikutnya, contoh lain datang dari ulama Nusantara abad ke-19, Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M). Ia bersama seorang kawannya, yaitu Mufti Syafi’iyyah di Hejaz, bernama Sayyid Abdullah bin Muhammad al-Zawawi, merumuskan fatwa tentang zakat bagi penduduk di wilayah Indonesia Timur. Dalam madzhab Syafi’i zakat harus dikeluarkan sesuai makanan pokok penduduk negeri setempat. Lalu bagaimana apabila ada penduduk negeri yang makanan pokoknya bukan gandum bukan pula nasi/beras? Semisal di wilayah Indonesia Timur yang makanan pokoknya adalah sagu. Apakah zakatnya bisa dari sagu? Kalau dari sagu takarannya seperti apa? Apakah dari pohonnya, apakah dari hasil perahannya, atau tepungnya? Ataukah zakatnya mengikuti masyarakat Indonesia wilayah Barat yang berupa nasi/beras? Dari persoalan ini, kedua ulama tersebut memutuskan ijitihad fiqih bahwa zakatnya tetap pakai sagu. Itulah di antara sekian contoh hukum fiqih yang lahir sebagai respon terhadap fenomena-fenomena yang mungkin hanya ada di Nusantara.


Jadi sejak proses Islamisasi, di Nusantara ini pada setiap abadnya selalu memiliki syaikhul masyaikh (maha guru para ulama). Seperti misalnya pada abad ke-17 ada Syaikh Abdurrauf Singkili dan Syaikh Yusuf al-Makassari (1626-1699 M), abad ke-18 ada Syaikh Arsyad al-Banjari dan Syaikh Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1789 M), abad ke-19 ada ulama sekaliber Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M), memasuki abad ke-20 ada ulama seperti Syaikh Soleh Darat (1820-1903 M), Syaikh Mahfud at-Termasi (1868-1920 M), Syaikh Kholil Bangkalan (1835-1925 M), dan lain-lain. Rata-rata para ulama tersebut sejak dulu sudah dan selalu responsif pada persoalan jaman. Mereka selalu memandang dan menempatkan fiqih dengan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai perubahan, semacam proses kontekstualisasi.


Akhir kata, dari ragam uraian yang disampaikan ketiga pemateri tersebut, terdapat refleksi akan sebuah pemahaman bahwa di antara ikhtiar untuk membangun peradaban adalah dengan cara responsif pada persoalan-persoalan global, berpijak pada nilai-nilai cinta tanah air dan nasionalisme, serta pemikiran yang progresif kontekstual.


Agung Purnama, staf pengajar UIN SGD Bandung.


Opini Terbaru