• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Opini

KOLOM PROF DIDIN

Pesantren, Ulama dan Politik

Pesantren, Ulama dan Politik
KH Idham Chalid (kiri) dan KH Ali Maksum dalam sebuah perhelatan pada Desember 1984, dua tokoh utama yang ikut menentukan hubungan NU dan Politik Praktis (Dok. Keluarga Kiai Syatibi Sumedang)
KH Idham Chalid (kiri) dan KH Ali Maksum dalam sebuah perhelatan pada Desember 1984, dua tokoh utama yang ikut menentukan hubungan NU dan Politik Praktis (Dok. Keluarga Kiai Syatibi Sumedang)

Dalam tradisi kepemiluan kita baik bupati, gubernur, presiden hingga legislatif, para kontestan mengagendakan khusus untuk bersilaturahmi ke pesantren dan atau ulama. Tujuan yang telah menjadi klise diucapkan oleh para kontestan adalah memohon do’a dan restu. Tentu saja dalam konteks politik, memperoleh dukungan atau paling tidak memperoleh citra yang friendly dengan dunia pesantren atau ulama menjadi tujuan utamanya karena ketika pemilu berakhir biasanya juga pesantren dan rumah ulama kembali sepi dari kunjungan para tokoh politik itu dan kalaupun datang lebih karena acara formal yang memang diselenggarakan di pesantren atau rumah ulama. 

 

Mengapa pesantren dan rumah ulama menjadi bagian penting dalam setiap drama politik, padahal bukan bagian dari lembaga politik? Ya tentunya tidak lepas dari realitas bahwa pesantren dan ulama memiliki pengaruh bagi ummat yang genuine. Jutaan orang tinggal dan berkunjung setiap harinya ke pesantren dan rumah ulama yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Bahkan jika menghitung alumni dan jemaahnya, jumlah itu bisa berlipat-lipat lagi. Sementara itu, sistem politik kita menggunakan sistem one man one vote. Oleh karena itu para kontestan mengharapkan memperoleh efek domino dari citra dan pengaruh yang sangat kuat yang dimiliki oleh pesantren dan para ulama terhadap citra, popularitas dan elektabilitas mereka.    

 


Pesantren sebagai Gerakan Politik
Secara historis dalam pandangan Martin van Bruinessen, seorang Indonesianis Belanda, pesantren memang lahir sebagai gerakan politik perlawanan terhadap intervensi VOC dan pemerintah Kolonial Belanda ke dalam ranah internal pusat politik Islam di pulau Jawa khususnya dan Hindia Belanda pada umumnya pada abad ke 18 and 19. Di Cirebon, cikal bakal pesantren yang kita kenal saat ini seperti Pesantren Buntet, Ciwaringin, Balerante, Gedongan dan Benda Kerep lahir sebagai protes terhadap intervensi VOC dan pemerintah kolonial Belanda atas Keraton-keraton yang ada di Cirebon. 


Mbah Muqoyyim yang merupakan seorang qodi pada Keraton Kanoman memilih untuk keluar dari Keraton dan membangun pesantren di wilayah yang jauh dari pusat karamaian Keraton yang nanti dikenal dengan nama Buntet. Di pesantren inilah Mbah Muqoyyim mendidik anak-anak muda Muslim menjadi sosok-sosok yang militan yang selalu siap melakukan perlawanan terhadap penguasa kafir Belanda. Gerakan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang dipimpin oleh para ulama dan didukung oleh`para santri dan masyarakat begitu menonjol selama abad ke 19. Hal itu sebagaimana dicatat oleh Sartono Kartodirdjo, salah seorang sejarahwan Indonesia terkemuka. 

 

Ulama sebagai pemimpin ummat
Dalam struktur masyarakat Islam, ulama memiliki kedudukan dan peran khusus sekaligus unik. Mereka adalah pewaris para nabi sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW sendiri. Bahkan dalam Al-Qur’an, ulama ini digambarkan sebagai sosok-sosok utama yang harus menjadi rujukan bagi umat Islam setelah Nabi SAW. Otoritas dan legitimasi yang disandang para ulama secara hakiki berasal dari keilmuan yang mereka kuasai sehingga menjadi tumpuan umat dalam menjawab berbagai persoalan kehidupan, utamanya yang ada kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan agama. Mereka adalah orang-orang yang dalam hidupnya telah dan terus bersungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan ajaran agama. Itulah sosok-sosok ideal yang dipandang sebagai ulama. 
Meskipun demikian, dalam realitas sosiologisnya, mereka yang menyandang gelar ulama selain karena faktor nasib sebagaimana digambarkan di atas, juga karena faktor nasab dimana mereka adalah anak keturunan atau pewaris derajat keulamaan dan pesantren dari para pendahulunya. Namun demikian hal itu tidak serta menjadi faktor turunnya kedudukan dan kharisma yang dimiliki, karena banyak juga para pewaris itu jauh lebih menonjol citra keilmuan dan pengaruhnya. Intinya apapun jalur dan prosesnya, para ulama tetaplah sosok-sosok yang menjadi rujukan bagi umat dalam menjawab berbagai hal terkait dengan kehidupan termasuk pada urusan-urusan yang profan seperti ekonomi, sosial budaya hingga preferensi politik. 

 

Ulama dalam Kontestasi Politik
Melihat sejarah dan realitas pesantren serta kedudukan, peran dan otoritas ulama yang begitu menonjol dihadapan umat, para ulama dalam kontestasi politik di Indonesia adalah salah satu aktor yang menentukan. Para politsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim tentu saja memiliki ketergantungan pada fatwa dan keputusan bahkan pernyataan para ulama. Hanya berphoto bersama dengan ulama, terutama ulama yang memiliki popularitas dan kharisma yang luar biasa, sudah merupakan bagian dari investasi politik yang cukup signifikan untuk menaikkan citra dan elektabilitasnya dihadapan publik.


Modernisasi dengan titik pangkalnya positivisme dan empirisme boleh saja berkembang dan mewarnai pikiran publik tapi hal itu tetap saja tidak banyak berpengaruh terhadap kedudukan, peran, otorotas dan kharisma para ulama, terlebih ulama yang memiliki pesantren dengan santri yang jumlahnya sangat banyak. Mereka akan terus menjadi subyek sekaligus obyek politik pada setiap kontestasi politik di tanah air. 


Pertanyaannya apakah para ulama baik dalam kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat maupun warga memiliki ruang bagi pemihakan secara politis pada salah satu kontestan. Tentu saja tidak ada halangan sama sekali dan tentu pula dengan alasan dan pertimbangan subyektifnya. Mereka memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya selama sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat juga harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi para ulama dalam menentukan pilihan politiknya, behkan termasuk terjun secara langsung dalam gelanggang panggung politik. Jika di masyarakat sudah biasa berbeda pilihan, hal yang sama juga seharusnya berlaku bagi para ulama. Adalah hal yang wajar dan lumrah jika pada setiap kontestasi politik, para ulama memiliki pilihan politik yang berbeda dan itu idealnya tidak mempengaruhi pandangan umat terhadap kedudukan dan peran keulamaannya. 

 

Pertanyaan lanjutannya apakah boleh dinyatakan atau paling tidak ditunjukkan secara terbuka? Jawabannya tentu saja mengapa tidak. Di ruang publik yang semakin terbuka ini, siapapun termasuk para ulama memiliki hak konstitusional untuk menyatakan pilihan politik secara terbuka. Atas dasar ini semua, stop untuk saling menghakimi pilihan politik yang berbeda termasuk beda pilihan para ulama, apalagi diiringi oleh upaya menjatuhkan marwah dan atau mengadudombakan antara para ulama. Sebaliknya yang harus dibangun adalah budaya dialogis dan saling menghormati pilihan masing-masing karena pada dasarnya kontestasi politik ini hanyalah media kita masing-masing berijtihad untuk menentukan masa depan yang lebih baik sesuai dengan visi dan perspektifnya. Lebih dari itu, kontestasi politik ini bukanlah kegiatan rutin tapi hanya diselenggarakan lima tahun sekali. Akhirnya, jangan sampai agenda lima tahunan merusak tatanan kehdupan kita sehari-hari. Wallahu ‘alam.

 

Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally, Wakil Rais Syuriah PCNU Kuningan, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon.


Editor:

Opini Terbaru