• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

KOLOM PROF ALI

Panggung Citra Politik

Panggung Citra Politik
Sisa-sisa kemegahan Theatre of Dionysus (Foto: iStock/CrackerClips)
Sisa-sisa kemegahan Theatre of Dionysus (Foto: iStock/CrackerClips)

Politik itu soal panggung. Panggung milik siapa untuk siapa. Tidak mesti yang ‘manggung’ adalah yang punya panggung. Bisa dipanggungkan orang lain. Terkadang ada yang manggung sendiri. Bikin panggung sendiri. Lebih banyak yang diberi panggung oleh orang lain. Bagai pengantin. Tidak bikin panggung sendiri.


Ada juru rias biar panggung terlihat anggun. Yang mau manggung bayar kepada juru rias. Ada yang profesional ada yang amatiran. Tergantung besar kecilnya panggung. Mewah sederhananya panggung semakin mewah panggung semakin besar bayarannya. Semakin banyak yang menanggungnya. Pengantin bisa urunan bahkan yang bukan pengantin pun banyak yang nyumbang. Apalagi pengantin politik.


Panggung ini sudah lama ada. Bahkan nun jauh di sana. Di Athena, kota lahirnya demokrasi. Berabad-abad yang lalu. Konon katanya, eklesia atau pemungutan suara dewan di Yunani bagaikan panggung. Mulanya diselenggarakan di Agora. Pindah ke panggung Theatre of Dionysus. Terus ke Pnyx. Disini, semua penduduk laki-laki Athena, dibebaskan untuk bicara. Untuk beropini. Mengekspresikan pendapat sebebas-bebasnya. Itulah panggung awal demokrasi.


Panggung adalah citra. Tepatnya untuk membuat citra bagi sang mempelai. Biar dilihat atau terlihat wah. Bukan hanya oleh yang sengaja diundang. Tapi juga orang yang kebetulan lewat. Juga para pedagang yang ikut memeriahkan di seputar panggung. Panggung adalah magnet bagi siapapun yang berkepentingan. Bukan hanya bagi sang aktor utama tapi tim hore juga.


Karena tempat membangun citra. Tepatnya pencitraan jangan tertipu oleh panggung. Panggung sifatnya instan. Terutama panggung konvensional. Ingat panggung citra, ingat Erving Goffman. Bagi Goffman, dalam diri setiap orang selalu ada pertentangan antara spontanitas dan tuntutan sosial. Nantinya melahirkan interaksi simbolik, oleh Blumer. Citra diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, kata Blumer, dipengaruhi tiga premis: meaning, language dan thought. Goffman sendiri terkenal dengan teorinya dramaturgi. Panggung depan, panggung belakang. Jangan terkecoh oleh panggung depan. Kadang-kadang hanya simbol, tempat membangun citra.


Panggung milenial lebih luas dan tidak konvensional. Bukan terbuat dari kayu dan bukan tembok. Tanpa batas area, tanpa batas waktu, tidak lagi instan. Digital stage, namanya. Panggung digital. Tidak dibangun satu hari, besok dibongkar. Ada jejak digital yang lebih permanen. Lebih berpengaruh lama.


Bagi politisi sekarang. Harus lebih berhati-hati menggunakan panggung itu. Panggung digital. Selain tidak instan, mudah dipersepsi orang. Ketika sang politisi tidak bermaksud menjadikannya sebagai panggung, orang melihatnya lain. Disangka panggung, bisa dijadikan senjata oleh lawan politik. Meskipun ketika dia ‘pentas’ tidak disengaja dan sudah lama. Juga bukan dalam momen politik. Tapi bisa digunakan kapan saja ketika sang aktor, terjun ke politik. Itulah yang disebut jejak digital. Tak bisa dihapus.


Sedang ramai di media akhir-akhir ini soal penundaan pemilu 2024. Ada yang setuju, banyak juga yang menolak dengan argument masing-masing. Pemilu 2024 janganlah ditunda. Bukankah sudah disepakati antara DPR dan pemerintah? Tanggal 14 Februari 2024 waktu pemilu serentak itu. Saya tidak tahu, apakah ramai-ramai di media ini juga berhubungan dengan panggung? Panggung citra, atau panggung yang real. Atau benar-benar panggung?.


Apakah memang ada yang butuh panggung? Misalkan panggung antara. Panggung antara bagi pengantinnya menuju 2024. Atau panggung citra sekarang. Citra empati dan simpati. Mungkin banyak panggung dalam diskusi penundaan pemilu itu. Bisa juga kepentingan menghilangkan panggung. Oh panggung, oh dunia. Dunia ini memang panggung sandiwara, kata Nicky Astria. Tetapi mengapa kita bersandiwara, lanjutnya. Sekali lagi gara-gara panggung.


Mari kita lihat pertarungan di atas panggung. Kita lihat front stage-nya saja. Jangan kepo mau lihat back stage-nya. Cukup panggung depan yang kita nikmati. Jangan menebak-nebak rahasia apa di panggung belakang. Bukan tugas kita, itu tugas politisi. Selamat menonton apa yang ada di panggung. Jangan ikut berjoget di atas panggung. Karena di panggung, ceritanya mudah berubah. Bagai kisah Mahabarata dan tragedi Yunani.


Ahmad Ali Nurdin, Guru Besar Ilmu Politik Islam, Dekan FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Opini Terbaru