• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF BAMBANG

Muqaddimah Qanun Asasi Menolak Logika Linear

Muqaddimah Qanun Asasi Menolak Logika Linear
Ilustrasi Qanun Asasi NU (Desain: M. Iqbal)
Ilustrasi Qanun Asasi NU (Desain: M. Iqbal)

Konon di dunia ini ada dua cara berpikir, reaktif dan proaktif. Reaktif itu memantulkan apa yang terjadi di sekitarnya. Orang sekarang menyebutnya sumbu pendek. Begitu ada stimulus langsung direspon. Seperti gerak refleks. Aksi langsung dipantulkan dengan aksi serupa. Jenis berpikir cepat seperti ini tidak salah, bahkan dibutuhkan. Kalau kita lapar, tentu harus makan. Itu keputusan yg benar, namun makanan apa yang dikonsumsi seharusnya dipikirkan agak matang.
Sementara cara berpikir proaktif tidak langsung bereaksi, namun menyaring terlebih dahulu, menimbang-nimbang, menganalisa masalah, mencari cara dan waktu yang tepat, barulah memberikan jawaban.  Cara berpikir proaktif terlihat lamban dan bahkan jawabannya seperti tidak langsung menyelesaikan masalah, namun setelah sekian lama barulah terasa kebenaran dari jawabannya itu. 


Dua cara berpikir ini berbasis pada cara pandangnya pada dunia, cara pandanganya mengenai “apa itu realitas?” Ada yang menganggap realitas adalah apa yang tampak sehingga solusi diberikan untuk menanggapinya secara segera. Namun ada yang menganggap realitas itu merupakan jaringan kait-kelindan antara pelbagai unsur, yang tampak cuma permukaan dari pelbagai unsur penyusunnya. Penyelesaian atas masalah, karenanya, tidak bisa hanya mengandalkan pada yang tampak. Masalah baru dipahami dan diatasi dengan terlebih dahulu membongkar susunan apa yang tampak itu. 


Situasi Indonesia dan Dunia tahun 1920-an
Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi pada tahun 1920-an di Indonesia. Saat itu, pemerintahan Kolonial Belanda sedang menjalankan Politik Etis. Sekolah-sekolah dibuka untuk masyarakan pribumi, beberapa lulusannya membuat organisasi pergerakan bangsa.  Pemberontakan fisik sudah mereda, beberapa letupan pasti ada. Pada sisi lain, dunia internasional sedang bergejolak. Ada perang Dunia I, Turki Utsmani sedang bergejolak, beberapa negara di jazirah Arab ingin melepaskan diri dari Turki, beberapa pemikir meratapi kemalangan ummat Islam yang porak-poranda oleh modernisme Eropa, dan lain sebagainya. 


“Pada tahun 1922 Kekaisaran Ottoman (Ustmaniyah) yang telah bertahan lebih dari 600 tahun berakhir. Dua tahun kemudian pemerintah Republik Turki yang baru dibentuk menghapuskan sistem kekhalifahan Ottoman. Pada tahun 1924, ketika berita tentang penghapusan khalifah itu tersebar, seluruh dunia tersentak. Untuk pertama kalinya dalam 1.300 tahun, umat Islam Sunni tidak memiliki khalifah. Peristiwa ini merupakan salah satu konsekuensi terpenting yang terjadi akibat Perang Dunia I.” (Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 288)


Dunia memang sedang berubah. Kesertaan Turki Utsmani pada blok Sentral (Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, Bulgaria, dan lain-lain) pihak Perang Dunia I berujung kekalahan. Sebagai pihak yang kalah ia harus tunduk pada perjanjian Perjanjian Sevres pada Agustus 1920.Perjanjian ini mewajibkan Kekaisaran Ottoman melepas wilayah kekuasaannya di seluruh tanah Arab, Asia, dan Afrika Utara. Perjanjian itu juga memberikan kemerdekaan bagi Armenia, wilayah Kurdistan yang otonom, dan beberapa wilayah yang dikembalikan kepada Yunani. Tak hanya, Konstantinopel dan wilayah-wilayah di sekitar selat Bosporus harus didemiliterisasi dan kendali atas wilayah tersebut diserahkan kepada otoritas internasional. Simpelnya, jika perjanjian itu dilaksanakan Anatolia yang menjadi jantung negara Turki akan terpecah belah, hanya tersisa wilayah yang kecil


Situasi yang rumit ini meahirkan melahirkan Gerakan Turki Muda  di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasya. Turki Muda ini menyerukan nasionalisme Turki (Turki untuk Turki) dan melakukan Perang Kemerdekaan (1919–22). Gerakan Nasionalisme Turki ini memanangkan peperangan itu, berhasil menguasai Negara. Mereka lalu membubarkan kesultanan Turki pada tanggal 1 November 1922. Turki Utsmani yang semula kesultanan diubah menjadi Turki baru yang modern, berasas republik. Namun Attaturk masih menyisakan kekhalifahan, itu artinya Turki menjadi Negara Modern dipimpin oleh Presiden namun Sultan terakhir menjadi khalifah bagi ummat Islam sedunia. Turki 


Kemampuan Turki untuk mereformasi diri menjadi modern sekaligus masih menggunakan symbol islam, yakni kekhalifahan, disambut ummat Islam secara sukacita. Kongres Al-Islam pertama yang digagas Sarekat Islam dan dihadiri pelbagai organisasi—seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan perwakilan ulama tradisionalis (seperti Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Asnawi)-- sepakat mengirim ucapan selamat kepada Ataturk melalui telegram. Kongres yang dihelat di Cirebon pada 31 Oktober hingga 2 November 1922 mendukung modernisasi negara sambil tetap tak menghilangkan nilai Islam. 


Euforia terhadap reformasi Turki terus berlangsung pada tahun berikutnya. Pada Januari 1923 muncul sejumlah berita yang memuji Kemal Pasha Attaturk, misalnya ‘Moestafa Kemal Pasja Pahlawan Islam’ (Koran Doenia Islam ( 2, 12 January 1923, pp. 7–8); ‘Moestafa Kemal Pahlawan Islam’, (Oetoesan Hindia, 17, 2, 25 January 1923). Berita-berita ini memuat pujian terhadap  kemenangan Mustafa Kemal melawan Yunani dan pendirian Republik Turki tapi tetap mempertahankan kekhalifahan. Kemal Attaturk begitu mengesankan para intelektual Indonesia, sehingga pada tahun 1923 surat kabar di Indonesiaa memuji dia sebagai senopati (“Pimpinan: Moestafa Kemal Pasja’,  Doenia Islam,  , 29 December 1922, pp. 9–10). Bintang Islam edisi 10 April 1923 bahkan menyatakannya sebagai sayf al-islam wa mujaddid al-khilafa alias pedang Islam dan pembaharu khalifah.


Turki terus bergolak, Republik Turki masih belum ajeg. Attaturk dan pemangku Rapublik Turki memiliki pemikiran lain, ia melihat kekhalifahan bakal menjadi batu sandungan di masa depan. Akhirnya kekhalifahan dibubarkan pada  tanggal 3 Maret 1924. Pemangku Khalifahnya dibuang ke luar negeri. Pada saat bersamaan, 1924,  Ibnu Said menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan kemudian Madinah. Dulu Makkah-Madinah berada di bawah kuasa Turki Utsmani, sebagai symbol yang menyatukan semua ummat Islam yang tersebar di seluruh dunia. Makkah-Madinah sebagai tempat suci yang menyatukan semua ummat Islam tidak lagi berada di bawah kausa pengaturan Khalifah. Dulu Makkah-Madinah di bawah pengaturan  Khalifah di Turki Utsmani. Saat itu khalifah tidak ada, sudah dibubarkan, Makkah-Madinah di bawah kuasa seorang Raja. 


Semua  orang terkejut, limbung seperti berdiri tanpa  pijakan atau seperti anak yang disapih sebelum waktunya. Apa yang harus dilakukan? 


Di India sejumlah kaum muslim membentuk Gerakan Khilafat (1919-24) yang ini menuntut pemerintah kolonial Inggris untuk memulihkan kembali ‘Khilafah Usmaniyah’, di Mesir Rashid Rida mulai menyerukan perlunya mengembalikan Khilafah. Sedangkan di Indonesia kalangan kaum Muslimin yang diwakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kiyai-kiyai dari pesantren membentuk ‘Komite Khilafat’, 4 Oktober 1924 di Surabaya. Komite it uterus berlangsung sampai mengirimkan tiga orang delegasi Indonesia ke Makkah (Hendrik Kramer dalam Islam Assembled: The Advent of Muslim Congresses,1986).Ujung dari tanggapan sigap atau reaksi saat itu adalah kekecewaan. Ihwal pendirian ulang khilafah terjadi rebutan antara Arab Saudi dan Mesir. Arab Saudi mengundang seluruh ummat Islam dunia untuk merumuskan pengganti kekhalifahan, skenarionya Raja Arab Saudi karena menguasai Makkah-Madinah menjadi Khalifah; Mesir juga membuat acara yang membicarakan nasib kekhilafahan. Kedua kongres itu gagal merumuskan pengganti kekhilafahan, bahkan muncul wacana baru bahwa Negara dan agama merupakan hal terpisah sehingga kekhilafahan tak perlu lagi untuk dihidupkan lagi. 

 

Tanggapan-Tanggapan Atas Persoalan  
Semua tanggapan itu sebut saja sebagai cara tanggapan linear logis. Pemikiran linier dicirikan sebagai "A mengarah ke B, yang menghasilkan C." Ini sepertinya cara berpikir yang logis, dan kita menyukainya karena membuat dunia terlihat sangat sederhana. Metode linier ini dirancang untuk menjaga keteraturan. 
Tetapi pendekatan linear ini bermasalah, yakni menafikan bahwa kehidupan ini  kompleks,  tidak berdiri sendiri melainkan saling berhubungan. Kehidupan ini, apa yang terjadi dalam kehidupan ini berkelindan. Tidak ada yang terpisah di alam raya ini. Antar bagian saling terhubung satu dengan lainnya. Keterpisahan hanya fatamorgana, nyatanya semuanya saling terhubung.  Terhadap sifat dasar kehidupan yang kompleks ini cara reaktif akan menghasilkan solusi sementara: terlihat menjawab saat peristiwa terjadi, namun gagal  di masa depan. Solusi jangka panjang dibutuhkan, karena itu ketenangan dibutuhkan. Mungkin itulah yang menjadi dasar Hadratusy Syaikh dalam Muqaddimah Qanun Asasi: 


“Sesungguhnya perkumpulan (al-ijtima’) dan saling mengenal (at-ta’aruf), persatuan (al-ittihad)  dan kekompakan berdasarkan cinta  (at-ta-alluf) merupakan hal yang tak seorangpun tak mengenali manfaatnya” 


Inilah pernyataan pertama dalam Muqaddimah Qanun Asasi setelah “amma ba’du”. Pernyataan ini seperti tidak menjawab persoalan. Saat itu sebut saja dua masalah yang sedang dihadapi: (1) Kolonial Belanda mulai mengawasi Pendidikan Liar dan guru tanpa lisensi (guru agama diantaranya banyak yang tak memiliki lisensi), (2) di dunia Islam semua pemikir sedang masygul memikirkan nasib ummat Islam tanpa kekhilafahan. Alih-alih ikut menggelorakan «pemberantasan bidah», rasionalisasi cara berpikir,  dan mendirikan negara Islam, pernyataan Hadratus Syaikh ini justru mendirikan organisasi Kebangkitan Ulama (NU). 
Ini tidak linear. Tapi apakah menjawab persoalan?


Mari kita kembali pada cara berpikir sistem. Hidup dan permasalahannya itu kompleks, tak setiap yang tampak bermasalah adalah masalah sesungguhnya. Di bawah masalah yang tampak itu ada pemicunya, ada penyebabnya. Karena itu penyelesaiannya bukan  terfokus pada apa yang tampak, melainkan pada pemicu yang tak tampak yang bisa saja sangat rumit.


Misalnya, seseorang (A) mengalami serangan panik; ia mengunjungi dokter (B), dan dokter memberinya obat untuk mengatasi masalah (C). Ini adalah proses linier. Namun seringkali, pil tidak memperbaiki akar penyebab masalah. Mungkin orang ini mengalami masalah kesehatan mental karena menghadapi kesulitan di tempat kerja. Mungkin masalah mentalnya itu disebabkan pernikahan yang berantakan, dan membuatnya susah tidur. Alasan-alasan ini mungkin membuat orang itu kewalahan sampai-sampai ia tidak dapat mengatasinya dan kemudian mengalami serangan panik. Dokter cenderung mengisolasi masalah kesehatan. Jika seseorang mengalami serangan panik atau kecemasan parah, dokter akan memberinya obat penenang. Setelah itu, pasien tadi mungkin akan kembali lagi di klinik dengan serangan panik lainnya. Masalah yang diidapknya terus berlangsung, lalu dokter menyatakan perlu perawatan lagi dan lagi.


Masalah yang dihadapi Hadratusy Syaikh saat itu tentulah kompleks, teramat kompleks. Jawaban-jawaban sudah diberikan oleh tokoh sezamannya, beberapa terlihat kegagalannya dalam menyelesaikan masalah. Hadratusy Syaikh tentu pernah membaca pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, atau Jamaluddin al-Afghani saat ia belajar di Makkah.  Ia juga saat di Makkah merasakan gelombang pengaruh pemikiran Wahabi. Ia juga mencermati munculnya organisasi-organisasi di tanah air, serta mendapat laporan dari Kyai Wahab ihwal rumitnya Komite Khilafah dalam kongres Ummat Islam. Semuanya menunjukkan jawaban-jawaban parsial yang ternyata tak bisa diandalkan. Itu berarti  masalah kompleks harus mendapatkan solusi yang tidak parsial. 


Saat itu mungkin Hadratusy Syaikh mendapatkan isyarat tongkat dan Surat Thaha 17-23 dari Kyai Kholil Madura. Saat itu ia menerima isyarat bahwa solusi untuk masalah saat itu haruslah seperti tongkat Nabi Musa yang memiliki multifungsi. Tongkat dapat menjadi tempat bertumpu, penuntun bagi yang buta, untuk merontokkan daun-daun yang menjadi makanan bagi kambing-kambing gembalaan, menjadi senjata, dan lainnya (QS. Thaha: 18). Tongkat bahkan dapat menjadi saluran bagi kuasa Tuhan dalam menghancurkan musuh-musuhNya (QS Thaha 20). Solusi harus bersifat multifungsi, begitu kira-kira kesimpulannya. Jikapun harus mendirikan organisasi sebagaimana yang sudah didesakkan oleh ulama-ulama muda seperti Kyai Wahab Hasbullah, organisasi itu harus multifungsi sekaligus menjadi saluran bagi Kuasa Allah dalam menegakkan kebenaran. 


“Baiklah,” mungkin begitu Hdratusy Syaikh berpikir dalam dirinya, “Kita akan dirikan organisasi, namun harus melammpaui organisasi biasa” Mungkin itulah sebabnya, Hadratus Syaikh tidak menulis “Innal ijtima’a huwa al-amru alladzi lam tajhal manfa’atan” (sesungguhnya organisasi adalah satu urusan yang takada satupun yang tak tahu manfaatnya)”. 


Namun ia menulis, “Innal ijtima’, wa at-ta’aruf, wa al-ittihad, wa at-ta-alluf, huwa al-amru  alladzi lam tajhal manfa’atan”. Hadratusy Syaikh sedang memimpikan satu organisasi yang tak sekadar kumpulan orang-orang yang bersepakat untuk mencapai tujuan yang sama –sebagaimana lazimnya organisasi biasa. Ia tak menginginkan sekadar ijtima’. Ia menginginkan organisasi yang di dalamnya diisi oleh actor-aktor yang tak sekadar menjadi anggota, namun terlibat lebih dalam lagi. Ia ingin organisasi yang dapat menyelesaikan masalah-masalah duniawi, namun juga menjadi saluran Allah untuk menunjukkan Kebenaran. Ia ingin organisasi yang tidak sekadar tempat berkumpul orang per orang, melainkan melibatkan anggotanya saling at-ta’aruf, al-ittihad, dan at-ta-alluf.

 

Al-ta’aruf berarti saling mengenali atau menjadikan perbedaan sebagai cara untuk mengenali  kekurangan diri, kelebihan yang lain, seraya menghasilkan kearifan mengenai hakikat kebenaran (ma’rifat). Al-ittihad adalah persatuan dua pihak yang berbeda dan terpisah dalam kesatupaduan yang menghilangkan identitas masing-masing,  sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi dengan katakata: “Hai Aku”. Sementara at-ta’lluf adalah kesatuan didasarkan cinta  kepada Allah, fa allafa bayna qulubikum fa asbahtum bina’matihi ikhwana --lalu Allah mempersatukan hati kalian dan menjadikan kalian orang-orang yang bersaudara karena nikmat-Nya.” (QS. Ali ‘Imraan: 103). Persatuan dalam kerangka ta’alluf ini digambarkan al-Quran (QS Al-Anfaal 63) sebagai karunia Allah yang tak bisa dilakukan oleh manusia, “law anfaqta ma fil ardli jami’a ma allafta bayna qulubihim, walakinnallah allafa baynahum (Walaupun kamu menginfakkan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka).


Organisasi yang dibayangkan Hadratusy Syaikh bukanlah Leviathan seperti yang dibayangkan Hobbes (1651). Leviathan adalah  pihak yang menerima penyerahan kebebasan banyak individu seraya membuat pengaturan bahkan kekerasan untuk mengatur indidividu-individu itu. Organisasi yang dibayangkan adalah ruang bersukacita karena di dalamnya semua orang dapat mengaktualkan dirinya secara bahagia. 


Udkhuluha bil mahabbati wal widaadi wal ulfati wal ittihadi wa al-ittishali bi arwaahin wa ajsaadin. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan seluruh jiwa raga. Individu-individu yang diseru memasuki organisasi ini harus didasari cinta (mahabbah), kasih sayang (al-widad), rukun (ulfah), dan persatuan (ittihad). Individu-individu yang diseru itu adalah para Ulama yang menjadi pusat pengetahuan dan amal shaleh ummat. Ulama-ulama inilah yang akan menentukan perlu tidaknya pemikiran rasional, ulama-ulama inilah sumber hukum bagi perilaku pengikutnya. 

 

Hadratusy Syaikh tidak membicarakan pembaharuan pemikiran dan sistem negara,  ia mencari solusi bagi ummat Islam Indonesia yang kompleks. Baginya, jawabannya adalah kebangkitan ulama dalam gerak bersama ijtima’, at-ta’aruf, al-ittihad, dan at-ta-alluf . Jika ulamanya bangkit bersama, masalah ummat Islam akan selesai; begitu kira-kira keyakinan di belakang kalimat pertama Muqaddimah Qanun Asasi ini. 

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Bandung dan Ketua Lakpedam PWNU Jabar


Editor:

Opini Terbaru