• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Muludan Primordial dan Milenial

Muludan Primordial dan Milenial
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Oleh: Rudi Sirojudin Abas
Di tengah arus perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat, kegiatan muludan atau memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW terasa begitu unik dan meriah. Jika dahulu muludan hanya dapat disaksikan dan dinikmati oleh masyarakat yang menggelar muludannya saja, kini perayaannya dapat disaksikan oleh masyarakat dari seluruh penjuru dunia. Misalnya, melalui media informasi semacam WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dsb, acara Muludan dapat terinformasikan dengan cepat ke seluruh penjuru dunia. 

Melihat fenomena yang berkembang saat ini, maka kegiatan muludan tidak hanya menjadi milik suatu komunitas kelompok masyarakat satu negara saja. Akan tetapi, muludan telah menjadi identitas pemersatu masyarakat muslim di seluruh negara di dunia.

Ada banyak ragam cara masyarakat dalam merefleksikan rasa cintanya untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, baik di dalam maupun di luar negeri. Di Indonesia misalnya ada perayaan Panjang Jimat di Cirebon, Nyangku di Panjalu (Ciamis), Ngalungsur Pusaka di Makam Prabu Kian Santang (Garut), Grebeg Mulud dan Sekaten di Keraton Solo dan Yogyakarta, dan yang lainnya. Inti dari semua kegiatan di atas adalah untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. 

Pada masyarakat tradisional Indonesia, kegiatan Muludan ini biasa diisi dengan menziarahi makam serta pembasuhan benda-benda pusaka para penyebar agama Islam setempat. Misalnya di Panjalu Ciamis dan di Makam Prabu Kian Santang Garut, puncak kegiatan Muludannya yaitu diisi dengan membasuh pusaka (keris, dll) yang dipercaya sebagai alat yang digunakan dalam menyebarkan agama Islam. Sementara di Kraton Solo dan di Yogyakarta, peringatan upacara kelahiran Nabi Muhammad SAW diisi dengan upacara sekaten, yaitu sejenis upacara dan ritual penabuhan gamelan Kiai Sekati yang dipercaya sebagai tabuhan yang digunakan para wali songo dalam menyebarkan agama Islam melalui pendekatan budaya dengan menggunakan gamelan dan wayang.

Lain halnya lagi dengan masyarakat modern (sebut saja masyarakat milenial) Indonesia. Misalnya, di pertengahan tahun 1970-an, group vokal Bimbo sempat mempopulerkan lagu-lagu bernuansa pop Islami bertemakan Muludan dengan lagu andalannya yaitu “Rindu Kami Padamu Ya Rasul” yang kemudian didaur ulang pada tahun 2000-an oleh kelompok musik Gigi dengan nuansa musik rocknya. Sementara, lagu “Nabi Muhammad Mataharinya Dunia” yang dipopulerkan oleh group kasidah Nasida Ria pada tahun 1990-an sempat menjadi hiburan trend di setiap perayaan-perayaan hari-hari keagamaan, termasuk perayaan Muludan. Tak ketinggalan pula penyanyi Haddad Alwi yang mempopulerkan lagu “Cinta Rasul” pada tahun 1999 seolah menambah suasana meriah peringatan Muludan. 

Sementara di belahan benua Asia, Afrika, Australia, dan Eropa, kegiatan Muludan dapat kita saksikan melalui tembang-tembang lagu bernuansa syair al-Barjanzi maupun kasidah Burdah. Misalnya penyanyi Mesut Curtis dari Macedonia dengan album populernya Tabassam, Maher Zain dari Swedia dengan lagu andalannya “Ya Nabi Salam Alaika”, Mishary Rashid Alafasy seorang qiroah dari Kuwait yang menyanyikan lagu “Tholaal Badru ‘Alaina”, Artis cilik Ayisha Abdul Basith berdarah India yang menyanyikan lagu “Muhammad Nabina”, serta penyanyi-penyanyi yang lainnya seolah menjadi bukti akan pentingnya mencintai Nabi Muhammad SAW.

Semua kegiatan, upacara, maupun ekspresi dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW mengandung kenangan akan perjuangan Nabi SAW dalam menegakkan syiar rahmatan lil ‘alamin. Inti dari semua itu adalah bentuk keimanan dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana diserukan Allah SWT dalam firmannya “Adapun orang-orang yang beriman kepadanya (kepada Muhammad), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS al- A’raf [7]: 157).

Selain itu yang paling penting yaitu untuk menteladaninya, memuliakannya yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku di kehidupan sehari-hari, baik pribadi, keluarga, maupun sosial kemasyarakatan. Sebab pada diri Nabi SAW terdapat suri teladan yang baik bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah SWT (QS al-Ahzab [33]: 21).

Dengan demikian semboyan “ar-rasul qudwatuna” (Rasul teladan kita dalam segala amal perbuatan) harus mampu dibuktikan pada setiap saat. Bukan saja pada saat memperingati hari kelahirannya saja. Oleh karenanya, Muludan primordial (tradisional) dan milenial (modern) menjadi urgensi dalam menjawab tuntutan itu. Semoga!

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut.


Opini Terbaru