• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Apakah Masalah Terbesar Kita adalah Konservatisme Agama?

Apakah Masalah Terbesar Kita adalah Konservatisme Agama?
Apakah Masalah Terbesar Kita adalah Konservatisme Agama? (Ilustrasi: NUO).
Apakah Masalah Terbesar Kita adalah Konservatisme Agama? (Ilustrasi: NUO).

Menurut kaum sekuler, jawabannya pasti dan jelas: iya! Tidak hanya konservatisme agama, bahkan agama itu sendiri adalah masalah terbesar kita. Momok terbesar mereka adalah agama. Oleh karena itu, seluruh perjuangan sekularisme dirangkum dalam pertanyaan ini: bagaimana agar agama tetap menghuni ruang privat, jangan sampai ia muncul di ruang publik.


Pertanyaan pokok sekulerisme tersebut menyembul ke permukaan terutama sejak akhir 1980-an. Setelah rontoknya komunisme Uni Soviet, kaum sekuler sungguh khawatir: waduh bagaimana ini, kok agama muncul di ruang publik di mana-mana, bahaya! Secara lebih spesifik, orang seperti Huntington menyebut agama yang dimaksud adalah Islam. Agama yang diwartakan pertama kali oleh Nabi Muhammad di padang pasir Arab ini dipandang tidak kompatibel dengan Barat yang secara otomtis identik dengan kemoderenan. 


Kekhawatiran kaum sekuler semakin menjadi-jadi sejak tragedi 11 September 2001. Sejak itu seluruh sumber daya negara bangsa modern dikerahkan untuk menghadang dan menghancurkan apa yang diyakini sebagai Islam garis keras, Islam militan, Islam fundamentalis, Islam radikal, dan sebagainya. Jenis-jenis Islam yang disebut terakhir ini, yang bolehlah kita rangkum sebagai "konservatisme agama", dibayangkan sebagai ancaman terbesar eksistensi peradaban manusia. 
Pembayangan mengenai ancaman konservatisme agama tersebut berlangsung secara massif, termasuk di lembaga-lembaga produsen pengetahuan. Ribuan buku, jutaan artikel, dan mungkin milyaran laporan dihasilkan untuk menciptakan ketakuan akan jenis-jenis keyakinan yang tidak kompatibel dengan peradaban modern itu. Prosesnya berlangsung secara persuasif, penuh dengan argumen yang canggih, sehingga tidak terasa hegemoni terjadi dalam benak kesadaran--tidak terkecuali para pikiran para netizen media sosial. 


Akan tetapi, tentu saja kaum sekuler bukan kaum yang bodoh. Kalangan liberalnya cukup kritis dengan agenda-agenda tersebut. Mereka melihat, misalnya, proyek-proyek anti-Islam radikal sering berdampak buruk bagi hak asasi manusia. Sementara itu, kalangan sosialis atau Marxistnya konsisten menyuarakan bahwa akar masalahnya bukan agama, melainkan eksplotasi kapitalisme (meksi kalangan ini tetap sulit menangkis kesan mengenai Marx yang anti-agama). 


Masalahnya, sebagian besar kaum sekuler adalah juga kaum ultranasionalis. Konservatisme agama dianggap masalah terbesar bukan hanya bagi kebebasan kita sebagai individu, tetapi juga bagi NKRI harga mati. Ekspresi agama di ruang publik, apalagi yang memang jelas ngaco, akan segera ditimpuk tuduhan yang mengerikan: mengancam integrasi sosial dan keamanan nasional.


Dua mantra kaum sekuler ultransionalis ini akan melumat anasir-anasir konservatisme agama yang mencoba bermain-main mencari tempat di ruang publik.


Dalam bayang-bayang narasi mengenai konservatisme agama sebagai masalah terbesar kita itu, pengalaman tentang sulitnya rakyat kecil dalam mencari sesuap nasi hanya akan dilihat sebagai masalah pribadi--sehingga penyelesaiannya adalah dengan cara bekerja lebih keras lagi dan lagi. Curangnya, aspek agama yang permisif, seperti teruslah berdoa dan bersabar, justru dipakai untuk melegitimasi pandangan ini. Sialnya, sebagian kaum agama juga gampang dibodohi kaum sekuler, seperti bisa kita lihat dalam momen-momen pilkada atau pilpres.


Kaum agama ribut gontok-gontokan di bawah, sementara segelintir elit ongkang-ongkang menikmati harta yang dibangun di atas tatanan kapitalisme oligarkis yang tidak pernah dipermasalahkan oleh sekularisme itu.


Amin Mudzakkir, peneliti BRIN


Opini Terbaru