• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Ngalogat

Pembaratan di Dunia Santri

Pembaratan di Dunia Santri
Pembaratan di Dunia Santri (foto: Gus Abe)
Pembaratan di Dunia Santri (foto: Gus Abe)

Sambil menyantap sarapan pagi ini, saya berpikir ini: pembaratan di dunia santri berjalan sangat massif sedemikian sehingga menimbulkan trauma yang jarang sekali diungkap. Saya sendiri merasakannya. Saya merasa banyak hal yang sifatnya konfliktual antara katakanlah Barat dan Islam bisa diuraikan dengan cara ini. 


Mungkin sejak tahun 1970-an kaum santri di Indonesia tidak bisa lagi mengisolasi diri dari pendidikan modern. Karena tuntutan zaman, demikian istilahnya, para orang tua santri mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah modern--biar bisa bekerja di kantor-kantor pemerintahan dan perusahaan. Di dekade berikutnya, anak-anak santri itu telah membentuk sebuah lapisan sosial yang lumayan mapan tetapi sekaligus rawan.


Apa yang terjadi sesungguhnya adalah pembaratan. Anak-anak santri yang bersongkok hitam dan bersarung itu harus menerima nilai-nilai Barat yang diajarkan di sekolah-sekolah mereka. Mereka harus mengerti sains, harus menguasai bahasa Inggris, dan harus memahami filsafat Barat--hal-hal yang sejatinya asing dan dalam beberapa hal bertentangan dengan norma-norma yang diterimanya di pengajian-pengajian keagamaan. 


Memasuki abad ke-21, pembaratan berjalan secara lebih politis. Kaum santri diminta untuk menampakkan diri mereka sebagai subjek yang terbuka terhadap keberagaman kultural. Mereka diharapkan menerima keberadaan orang-orang yang berbeda agama, etnis, bahkan orientasi seksual di sekitarnya. Jika menolak, mereka akan dicap konservatif, fundamentalis, Islam kanan, bahkan radikal--pokoknya citra serdadu Abad Pertengahan. 


Jarang diungkap bahwa proses menjadi Barat tersebut baik yang dilakukan secara sukarela maupun terpaksa menimbulkan trauma. Bagaimanapun, mau diakui atau tidak, menjadi Barat berarti mencabut mereka dari akar-akar tradisinya. Ini sulit dipahami oleh kalangan yang sejak lahir telah memeluk nilai-nilai abangan-sekuler. 


Dengan kata lain, pembaratan di dunia santri menciptakan semacam skizofrenia etis dan politis yang parah. Pikiran mereka telah mampu menalar nilai-nilai pluralisme, tetapi sebagian hatinya tetap menolak. Misalnya soal LGBTQ. Saya bayangkan jika seorang santri mau mendapatkan beasiswa di kampus di Barat, lalu ditanya oleh pengujinya apa pendapatmu tentang LGBTQ, maka jawabannya mungkin akan menerima itu. Namun, saya cukup yakin masalahnya tidak sesederhana itu. Yang terjadi lebih pada negosiasi daripada penerimaan sepenuh hati. 


Masalahnya, sementara kaum santri berusaha sekuat tenaga menjadi Barat (perhatikan mereka yang kursus bahasa Inggris bertahun-tahun hanya untuk mendapatkan skor IELTS 6,5), dunia Barat tampak tidak sungguh-sungguh berusaha memahami dunia santri. Kecuali para sarjana profesional di bidang studi Islam, jarang sekali orang Barat yang mau belajar mengenai Islam--bahasanya, kulturnya, pengalamannya politisnya di bawah pemerintahan nasionalis sekuler, dan seterusnya. Pada dasarnya Barat menganggap diri mereka sebagai pusat dan orang lain harus menerima itu--semacam "agama sekuler" yang telah dibuat tonggaknya sejak Perjanjian Westphalia 1648.


Cara pandang Barat yang universalistik tersebut adalah hegemoni yang masih dan terus berjalan hingga kini. Dari sinilah wacana pengetahuan--melalui peran kampus, konferensi ilmiah, jurnal akademik, narasi populer di media sosial, hingga kebijakan publik--direproduksi. Kaum santri dikondisikan agar menjadi Barat, menjadi kaum "Muslim moderat" sebagaimana diinginkan oleh mereka, tanpa peduli apakah hal itu menimbulkan trauma--yang tetap harus disembunyikan sedemikian sehingga hanya boleh dibicarakan di bilik-bilik privat saja. 

 

Amin Mudzakkir, Peneliti BRIN


Ngalogat Terbaru