• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 7 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF BAMBANG

Membaca Manifesto Gus Yahya

Membaca Manifesto Gus Yahya
Ilustrasi cermin (Wikipedia)
Ilustrasi cermin (Wikipedia)

Hari ini saya berbahagia karena membaca “Manifesto” yang ditulis Gus Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU) pada 6 Juli 2014, dimuat pada halaman awal buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama. Manifesto ini membuat saya harus mereposisi orientasi hidup:

 

"Dalam dunia fana yang ganas ini, apakah engkau akan memperjuangkan sendiri nasibmu atau mendaulat orang yang janji berjuang untukmu?"

 

Manifesto bait pertama ini seperti menagih: ayo, mana pilihanmu? Mau memperjuangkan diri nasib sendiri, atau menunggu orang lain yang memperjuangkan nasibmu sendiri. Mau mengurus nasibmu sendiri, atau menunggu orang lain mengurus nasibmu? Mau merencanakan hidupmu sendiri, atau menunggu orang lain merencanakan nasibmu? 


Jika mau jujur, selama ini kayaknya kita lebih banyak menunggu ada orang lain mengurus dan memperjuangkan nasib. Diam-diam kita seperti Cinderella yang datang pada suatu pesta dan meninggalkan sepatu anehnya demi mengundang seorang pangeran yang membebaskan. Atau seperti Puteri Tidur yang melulu tidur sambil menunggu orang asing mencium dan membangunkan. Kok, dua-duanya tentang perempuan ya? Oh ya, ada yang laki-laki, Pangeran Kodok. Dia juga menunggu dicium seorang puteri agar bisa kembali ke wujud semula.


Menunggu orang lain datang, tidaklah mungkin. Karena dunia ini sangat ganas dan fana. Pilihannya adalah bangkit dan urusi nasib kita sendiri. 


"Dalam lautan polo dan pantat apakah kalian akan saling bergandeng tangan dan berbagi dalam susah-payah demi kesetiaan pada martabat atau ramai-ramai menadahkan tangan berebut sedekah dan belas kasihan?"

 

Ini manifesto bait kedua. Bangkit sendiri tentu saja baik, namun bersama-dengan-yang-lain itu lebih baik lagi. Hanya saja ada dua pilihan saat bersama bersama-dengan-yang-lain, menjadi kawanan atau umat yang satu. Sebagai kawanan kau dan aku akan ramai-ramai menadahkan tangan berebut sedekah dan belas kasihan, namun sebagai “umat yang satu” kita bergandeng tangan dan berbagi dalam susah payah demi kesetiaan dan martabat. Umat yang satu dalam persatuan cinta ini telah diserukan Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari pada tahun 1926.

 

Tentu tak mudah hidup “demi kesetiaan pada martabat” di tengah lautan polo dan pantat. Hanya bersama saling bergandeng tangan dan berbagi dalam susah-payah yang memungkinkan kita selamat dari lautan itu. Itupun jika kau dan aku masih menganggp penting “martabat hidup”. 


"Di tengah kepungan rampok, apakah kalian kuat sengsara lebih lama, berkorban lebih banyak atas nama harga diri atau lebih suka selamat ala kadarnya membiarkan rampok mengambil yang mereka suka, asal masih ada untuk kalian sisanya?"

 

Ini manifesto bait ketiga. Hidup digambarkan berada di tengah kepungan rampok. Hidup ini tak aman, lengah sedikit, semua yang kita miliki akan dirampas perampok itu. Pilihannya sama-sama rumit. Jika terus bergandengan tangan masih ada harga diri yang tersisa, jika menyerah (lebih suka selamat ala kadarnya), kita tak memiliki harga diri lagi dan hanya sisa dari kehidupan ini yang kita miliki. Sayangnya tak mudah juga jika ingin memiliki harga diri, harus kuat sengsara lebih lama dan berkorban lebih banyak. Dua pilihan ini penuh penderitaan. Tak mudah. Paling tidak, ada sesuatu yang harus dipertahankan, yakni ‘harga diri’. 


Tapi bagaimana bagi orang yang sudah lama tak punya harga diri? 

 

"Di depan cermin nanti apakah kau berani memandang wajahmu atau melengos supaya lebih nyenyak tidurmu? Apakah buyut-canggahmu nanti adalah budak-budak yang mengutukmu atau orang-orang gagah yang menangis mengenang penderitaan dan jasa-jasamu?"

 

Ini manifesto bait keempat dan paling menarik. Menifesto keempat ini memposisikan kita pada cermin sejarah, mendorong kita membayangkan wajah apa yang akan kita lihat setelah kehidupan ini berlangsung. Manifesto terakhir ini membayangkan kau dan aku akan bertemu dengan keturunan kita di masa depan, seraya menemukan anak cucu sebagai orang-orang gagah dalam sejarah peradaban karena terinspirasi oleh pilihan kita atau sebagai budak-budak yang mengutuk kita karena telah membuat fondasi kehidupan bagi para pengecut. 


"Di depan cermin nanti apakah kau berani memandang wajahmu atau melengos …?"

 

Diam-diam saya merasa bahwa akan lebih banyak yang “melengos”. Mudah-mudahan kita bisa memandang wajah dengan senyum ceria di hadapan cermin sejarah. Minimal kita bisa menghibur anak-cucu nanti bahwa kakek moyangnya, sebenarnya pernah sadar dan menulis manifesto ini.

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua Lakpesdam PWNU Jabar.


Editor:

Opini Terbaru