• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (5) Sebagai Kabuyutan Sunda

Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (5) Sebagai Kabuyutan Sunda
Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (5) Sebagai Kabuyutan Sunda. (Foto: Rudi Sirojudin Abas).
Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (5) Sebagai Kabuyutan Sunda. (Foto: Rudi Sirojudin Abas).

Sebagai tempat penziarahan yang ramai dikunjungi oleh masyarakat, ada banyak akses masuk menuju kawasan makam Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut. Paling tidak ada tiga akses masuk menuju kawasan makam Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut. 


Pertama, sesampai di jalan raya Wanaraja dari arah kota Garut, peziarah dapat mengambil arah Sadang (Ponpes Riyadul Alfiyah Garut) di sebelah kiri jalan raya menyusuri jalan Tunggilis yang kemudian akan sampai di kawasan mata air Cimora. Kawasan mata air Cimora ini letaknya tidak jauh dari situs makam Pangeran Papak. Kawasan mata air Cimora juga merupakan tempat yang menjadi persinggahan pertama peziarah sebelum masuk ke kawasan makam Pangeran Papak. 


Bagi peziarah, mata air Cimora menjadi tempat yang sangat penting karena termasuk pada rangkaian tahapan ziarah. Sebelum singgah ke makam Pangeran Papak, mereka yang akan berziarah biasanya singgah dahulu di mata air Cimora sekedar untuk mengambil air, wudhu, mandi, atau sejenisnya. Peziarah dan masyarakat setempat meyakini bahwa mata air Cimora mempunyai berkah tersendiri karena menurut informasi dibuat oleh Pangeran Papak sendiri.


Terlebih hingga saat ini, mata air Cimora terlihat tetap jernih meskipun di apit oleh dua sungai yang ada, yaitu sungai Cisangkan dan sungai Cimalaka seolah menambah keyakinan peziarah akan berkahnya mata air Cimora.


Kedua, untuk sampai ke makam Pangeran Papak, peziarah juga dapat mengambil akses menuju pasar Wanaraja. Sesampai di pasar Wanaraja, untuk peziarah yang datang dari arah Cibatu-Sukawening, dapat belok ke sebelah kanan menuju jalan Cinunuk-Banyuresmi yang kemudian akan sampai ke mata air Cimora juga. Sementara bagi peziarah yang datang dari arah kota Garut, ketika sampai di pasar Wanaraja, tinggal belok ke sebelah kiri menuju mata air Cimora.


Ketiga, peziarah juga dapat mengambil akses dari arah barat, yaitu dari arah Banyuresmi-Leuwigoong (Jalan H. Hasan Arif), di kawasan Situ Bagendit yang kemudian belok ke sebelah kiri menyusuri jalan Sindangheula menuju kawasan makam Pangeran Papak setelah melintasi sungai kali Cimanuk.


Menarik ketika mengamati letak makam Pangeran Papak berada. Letak makam Pangeran Papak berada di antara tiga sungai, yaitu sungai Cimanuk, sungai Cimalaka, dan sungai Cisangkan. Terlebih ketika keberadaan mata air Cimora terletak di sebelah pertemuan antara sungai Cimalaka dan sungai Cisangkan, hal ini menjadi menarik untuk diungkap. Apalagi ketika aliran air sungai dari pertemuan sungai Cimalaka dan sungai Cisangkan bermuara ke sungai Cimanuk.


Penulis menduga, kawasan makam Pangeran Papak dulunya adalah hunian kosong, yang tidak sembarang orang dapat memasukinya. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan sungai-sungai yang ada yang sekarang dibuat jembatan sebagai akses jalan menuju kawasan makam Pangeran Papak.


Melihat kenyataan situs makam Pangeran Papak seperti dijelaskan di atas, penulis berpendapat bahwa situs makam Pangeran Papak teridentifikasi sebagai tempat yang masuk kategori kabuyutan Sunda. 


Menurut Jakob Sumardjo (2019:106), kabuyutan diambil dari kata “buyut” yang artinya “tabu” atau tempat terlarang (bagi umum). Selanjutnya, kata “buyut” sering disebut sebagai kata ganti untuk menyebut “nenek moyang”. Dalam masyarakat adat Sunda (Baduy) “buyut” sering disebut dengan “telapak” atau “mandala”. “Buyut”, “telapak”, atau “mandala” artinya sama, yaitu tempat terpencil yang tidak boleh sembarang orang memasukinya. Orang yang dapat memasukinya hanyalah kepala kampung dan stafnya, atau dahulu adalah keluarga raja. Untuk masa sekarang, yang dapat memasuki kawasan itu dan yang memperbolehkan tidaknya untuk dikunjungi adalah kuncen.


Ada beberapa syarat tempat dikatakan sebagai kabuyutan, yaitu: 1). Kabuyutan selalu dibangun di tempat terpencil yang jauh dari perkampungan. Biasanya tetap terjaga sebagai tempat berhutan; 2). Kabuyutan harus diapit oleh dua sungai yang saling bertemu (patimuan/leuwi) atau berada di antara tengah-tengah aliran sungai/dermaga (pulo); 3). Kabuyutan harus merupakan daerah berhutan yang subur; dan 4) Dalam kabuyutan harus hadir simbol Sanghyang Hurip (Tuhan) yang terdiri tiga sifat Sanghyang Hurip yaitu Nu Ngersakeun (Tekad, Kehendak); Nu Kawasa (Lampah); dan Nu Ngabuktikeun (Ucap, Pikiran). Kesatuan sifat Tuhan, Tekad-Ucap-Lampah harus dibaca dari kehendak-Nya dan dari tindakan-Nya melalui simbol alam semesta.


Alam semesta ini terdiri dari langit, bumi, serta manusia dan makhluk lainnya. Maka hubungannya dapat dibaca langit sebagai Tekad, bumi sebagai Lampah, dan manusia yang ada di antara bumi dan langit sebagai Ucap. Langit sebagai Dunia Atas, Manusia sebagai Dunia Tengah, sedangkan Bumi sebagai Dunia Bawah.


Agar Sanghyang Hurip hadir di suatu tempat Kabuyutan, maka harus dicari tempat yang memiliki simbol Ucap-Tekad-Lampah (Atas-Tengah-Bawah/Langit-Manusia-Bumi). Tempat itu biasanya berupa tempat yang ada mata air, sungai, dermaga, atau yang sejenisnya sebagai simbol Langit-Atas. Juga harus ada hutan atau pohon-pohon besar yang merupakan simbol Bumi-Bawah (menumbuhkan segala tanaman), dan harus ada susunan batu-batu besar (megalitikum) sebagai simbol Manusia-Tengah. 


Jika merujuk pada penjelasan tentang kabuyutan di atas, maka kawasan Situs Makam Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut masuk dalam kategori kabuyutan, atau menurut orang Sunda yaitu sebagai tempat keramat yang menghasilkan berkah. 


Apabila diamati, syarat kabuyutan di Situs Makam Pangeran Papak terpenuhi. Yakni ada mata air Cimora, tempatnya diapit atau berada di antara sungai-sungai, terdapatnya juru kunci (kuncen), adanya batu-batu lama disekitar makam, di sekitar makam terdiri pohon-pohon besar, dan terpenuhinya simbol kehadiran Sanghyang Hurip (ucap-tekad-lampah) atau langit-manusia-bumi.


Rudi Sirojudin Abas, Penulis adalah Warga NU, Peneliti Makam Keramat.


Opini Terbaru