Oleh Bambang Q Anees
[5] Fanatisme atau ta’asshub ialah kepercayaan membabi buta terhadap suatu ajaran, dan menolak segala pendapat lain daripada yang dianut. Kita seringkali mendengar anjuran orang, janganlah fanatik, artinya janganlah memegang kepercayaan sendiri dengan cara membabi buta.
Kerap kali kita dengar orang salah mengartikan ta’asshub itu. Dikiranya ialah memegang teguh pendirian dengan pengertian. Pendirian yang teguh dengan pengertian bukanlah fanatisme, tetapi yang demikian itu adalah perasaan tanggung jawab yang penuh. [Fanatisme dan Fanatisme, Gempita, Tahun ke I, 15 April 1955)
SULUH N.U.Agustus 1941, Th. I No. 5
ABDULLAH OEBAYD SEBAGAI PENDIDIK
(Oleh A. W. Hs.)
MIMBAR AGAMA TAHUN I
No. 5-6, 17 Nop.-17 Des. 1950.
PENDIDIKAN KETUHANAN
Bismillahi’rrahmani’rrahiem
Mengenai persoalan pendidikan ini, Manusia-Indonesia-Baru dalam garis besarnya terbagi antara dua golongan, yang kedua-duanya tidak sehat. Segolongan ialah orang yang maghrur (arrogant), menyangkakan dirinia Maha Tahu; golongan ini tidak terbatas pada yang belajar menurut cara Barat, tetapi juga pada mereka yang mendapat pelajaran menurut cara Timur. Mereka dinamakan maghrur atau arrogant, oleh karena mereka tidak tahu-menahu tentang filsafat lawannya ; hanya menetapkan dengan cara membeo pada orang lain, bahwa pendiriannya adalah lebih baik dari pada pendirian lawannya . Segolongan dari orang yang maqhur (inferieor), merasai dirinya kurang dari pada orang lain. Ghuruur (arrogasi) dan syu'ur bil-qahri (inferioriteit) adalah akibat dari pada pengertian yang kurang dalam. Yang pertama membawa kesudahan bekeria tidak beraturan dan secara serampangan dan yang kedua membawa kesudahan diam dan tidak berani bertindak, atau bertindak tetapi dengan ragu-ragu. Kedua-duanya adalah akibat kemalasan yang sangat jelek, bukan malas bekerja, tetapi malas yang lebih dalam lagi, yaitu malas berpikir, suatu hal yang terdapat pada kebanya kan bangsa kita yang harus diubah dan ditinggalkan.
Perasaan kecewa memang baik, sebab itu adalah tanda hidup. Kalau orang tidak mau kecewa di dunia ini, baiklah pergi kekuburan saja. Akan tetapi keadaan yang mengecewakan tidak boleh dibiarkan saja. Sebab jika kekecewaan sebagai alamat atau tanda hidup itu dibiarkan, ia akan memusnahkan pada hidup itu sendiri. Suatu jalan untuk menghilangkan kekecewaan ialah adanya suatu planning (rencana) yang didasarkan pada pengertian; dan sesuatu rencana baru akan berguna, jika disertai petunjuk-petunjuk dan jalan-jalan yang harus dikerjakan dengan lengkap. Sesuatu “rencana" dengan aanhalingsteken belum berarti rencana apabila baru merupai garis-garis besar, dengan tidak ada petunjuk-petunjuk dan keterangan-keterangan cara melaksanakannya ; la baru merupai teori semata-mata. {“Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, Tahun I, No 5-6, 17 Nopember-17 Desember 1950)
Pidato diucapkan pada pembukaan dan penjerahan P.T.A.I.N.(Perguruan Tinggi Islam Negeri) di Jogjakarta
Pada tanggal 26 September 1951.
(Mimbar Agama November 1951).
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
Dalam pada itu dapat dikemukakan pandangan Islam, bahwa ilmu pengetahuan, tidaklah dianggap sebagai satu syarat hidup yang dapat berdiri sendiri. Di samping pengetahuan, diletakkan syarat lain yaitu taqwa; dan taqwa sering kali ditafsirkan dengan arti: takut pada Allah, juga taqwa ditafsirkan: menjaga diri dari kesalahan. Dua syarat hidup tadi, ilmu pengetahuan dan taqwa dalam pandangan Islam tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup lengkap. Bahkan Islam memandang lebih condong pada taqwa dari pada kepada ilmu.
Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan taqwa sebagal isi hati. Ini tampaknya soal remeh, terutama jika ditinjau daripada kacamata abad sekarang, yang sudah jauh dari ukuran-ukuran logika yang biasa. Akan tetapi bagi riwayat perkembangan kemanusiaan, ternyata sekali perlunya keseimbangan antara isi hati (taqwa) dan isi otak (ilmu).
Riwayatnya kemajuan otak manusia selama hampir dua ribu tahun ini menunjukkan naiknya kecerdasan, bukan saja di dalam menjalankan kejahatan-kejahatan dan kerusakan-kerusakan, akan tetapi juga di dalam menyembunyikan kejahatan-kejahatannya itu baik dengan cara-caranya yang licin, maupun dengan memakai alasan-alasan yang reasonable (ma'qul) atau masuk akal guna membenarkan kejahatan-kejahatannya tadi.
Kemajuan otak yang tidak disertai dengan kemajuan (atau naiknya) budi pekerti atau taqwa, telah menyebabkan nilai dan pandangan manusia jadi berubah banyak, bukannya ke atas, tetapi ke bawah, hingga sesuatu kejahatan kecil seperti merusakkan jiwa/nyawa seseorang, dianggap perbuatan jahat, tetapi merusakkan jiwa/nyawa satu bangsa seluruh negeri, tidaklah dianggap kejahatan, bahkan orang yang memperbuatnya mendapat penghormatan dan nama.
Seorang penyair mengatakan: Qatlu'mri'in fi ghaabatin, jarimatun laa tughatafar; wa-qatlu syabin aaminin, buthuulatum dzaatu khathar (artinya : pembunuhan pada seorang di suatu hutan, dianggap sebagai kejahatan yang tidak dapat diampuni; tetapi tindakan mematikan suatu bangsa yang bersikap damai dianggap sebagai kepahlawanan yang berharga).
Pada ketika umat Islam dahulu menundukkan politik pada ilmu pengetahuan, disertai taqwa, maka kemajuan kecerdasan otak diimbangi oleh suburnya perkembangan kemanusiaan. Akan tetapi pada suatu ketika, syarat hidup yang kedua yang taqwa mulai kendor. Dan mulai pula hawa nafsu mengalahkan ilmu pengetahuan, karena dorongan politik, ialah disebabkan keinginan mau menang yang bersarang pada hati beberapa orang pemuka. Untuk mencapai kemenangan itu, orang lalu menggunakan ilmu guna melaksanakan keinginan atau hawa nafsu.
Termuat sebagai kata sambutan dalam kitab Terjemah Hadis Shahih Buchari, diterbitkan oleh Fa. Wijaja, Jakarta, 1953
Pentingnya Terjemah Hadits pada Masa Pembangunan
Pertama, salah memahamkan antara orang yang taat beragama dan orang yang berpengetahuan agama; sebagaimana orang yang bersikap taat pada undang-undang negeri, tidak usah ia menjadi, ahli hukum negeri sebagai rechtskundig, juga orang yang bersikap taat pada agama, tidak usah ia menjadí ahli agama. Orang yang bersikap taat pada undang-undang negeri cukuplah mendengar, bahwa sesuatu hal adalah larangan undang-undang, dan dengan demikian ia lalu menjauhi larangan tadi. Demikian juga yang bersikap taat pada agama, cukuplah mendengar, bahwa (Allah) mewajibkan ini dan melarang itu, dan dengan demikian ia lalu menaati kewajiban tadi (menjalankannya ) dan menghentikan cegahan tersebut (meninggalkannya).
Kedua, salah memahami antara ilmu agama yang merupakan isi dan bahasa yang mengandung (memuat) ilmu tadi; dan oleh karena kesalahan faham demikian, ia lalu mendahulukan belajar bahasa asing yang memuatnya, tidak mendahulukan isinya; dan setelah waktu (usia) yang dipakai untuk mempelajari bahasa itu, habis, serta dorongan untuk lekas terjun ke dalam hidup berumahtangga dan bekerja mencari nafkah telah tiba, maka terhentilah kesempatannya belajar di tengah jalan; akhirnya ia lalu menjadi orang terapung-apung setengah matang.
Karena salah memahami soal yang pertama tadi, maka orang tua-tua masa yang lalu mengambil sikap, bahwa pendidikan anak-anaknya harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu ahli-ahli agama', dan akibatnya ialah kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk ikut berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern ini.
Lain dari pada itu, seandainya maksud orang-orang tua pada masa yang lalu untuk menjadikan anak-anaknya ahli-ahli agama semuanya itu berhasil, akibatnya pun belum tentu memuaskan. Sebab jikalau seandainya seluruh isi negeri penuh dengan ahli-ahli agama, siapakah yang akan mengisi cabang-cabang penghidupan lain yang beranekawarna dan Yang luas itu?
Kesalahan memahamkan masalah yang kedua itu membawa akibat, suatu gambaran yang mengelirukan. Sebenarnya keislaman dan kearaban adalah dua hal yang berpisahan, masing-masing berdiri sendiri. Akan tetapi karena salah memahamkan soal tersebut, lalu menimbulkan pendapat yang mencampuradukkan antara keislaman dan kearaban; suatu pendapat yang perlu diperbaiki. Apalagi jika diingat, bahwa kearaban di dalam hal ini, adalah kearaban di dalam gambarannya yang lama; sedang kearaban yang modern pada waktu ini masih belum dimasukkan orang ke Indonesia.
Pada akibatnya kesalahan memahami perbedaan antara keislaman dan kearaban itu, jika dipikirkan dengan tenang dan teliti, adalah suatu langkah yang tidak sewajarnya (tidakkah Jepang dahulu untuk menipponkan otak serta jiwa anak-anak kita?). Ini tidaklah berarti, bahwa saya tidak menyetujui orang mempelajari ilmu-llmu agama Islam dengan menggunakan bahasa yang mengandungnya ialah bahasa Arab. Maksud saja ialah tidak menyetujui mengarabkan angkatan (generasi) kita yang akan datang dengan memakai bahasa dan adat istiadat Arab yang berbeda dari pada bahasa dan adat istiadat Indonesia. Jakarta, 15 Sjawal 1370 (19 Juli 1951)
Sebagai penutup saya akan kutip penutup pada artikel Gus Wahid .
Di sini patut disimpulkan dua hal: biasakanlah berpikir; hal itu dapat dimulai dengan mencoba mencari kelemahan teori-teori serta alasan-alasan yang diterima, didengar maupun dibaca, dengan teori-teori lainnya serta alasan-alasan yang melemahkan alasan-alasan yang akan dilemahkan itu.
Kedua, buatkan rencana pekerjaan yang akan dijalankan, disertai dengan petunjuk-petunjuk dan cara-cara bekerja, walaupun pekerjaan yang direncanakan itu akan dijalankan sendiri bukan oleh orang lain; dan salah satu gunanya , ialah dapat memberi nilai pada kemajuan kecakapan berpikir, apabila di lain waktu rencana-rencana pekerjaan itu sudah ada beberapa buah, dan di “kenang-kenangkan" di kemudian hari; serta pula dengan itu dapatlah dikontrol, sampai dimana kemajuan pekerjaan yang dihadapi. {Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, Tahun I, No 5-6, 17 Nopember-17 Desember 1950).
"Ya Allah, kami berdo'a kepadaMu, seperti salah satu do'a Ham-baMu yang utama, Muhammad s.a.w. pada waktu perang Badar, dengan tambahan Indonesia, Allahumma in tahlik haadzihil-fi'atu, laa tu'bad fle Indonesia". (Ummat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya tetapi Pemimpinnya tidak tahu, 22 Desember 1951).
Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Jawa Barat
Terpopuler
1
Nekat Berhaji Tanpa Visa Resmi, WNI Terancam Dideportasi dan Dilarang Masuk Arab Saudi 10 Tahun
2
KH Aceng Aam Sebut Anak Terbaik Adalah yang Melebihi Orang Tuanya dalam Kebaikan
3
Shalawat Haji Karangan KH M Nuh Addawami Mustasyar PBNU Asal Garut
4
Peringati Harlah ke-91, GP Ansor Kertasemaya Gelar Tasyakuran dan Halal Bihalal
5
PCNU Cianjur Bersama Kemenag dan BPN Gelar Sosialisasi Sertifikasi Tanah Wakaf
6
Penerima Beasiswa Pascasarjana Pergunu Depok Jalani Ujian Tesis di Universitas KH Abdul Chalim Mojokerto
Terkini
Lihat Semua