Opini

Gus Wahid: Pemikir dan Penggerak Yang Terlupakan IV

Jumat, 25 April 2025 | 07:00 WIB

Gus Wahid: Pemikir dan Penggerak Yang Terlupakan IV

KH Wahid Hasyim dan Ibu Solechah. (Foto: Istimewa)

Oleh Bambang Q Anees
[5] Fanatisme atau ta’asshub ialah kepercayaan membabi buta terhadap suatu ajaran, dan menolak segala pendapat lain daripada yang  dianut. Kita seringkali mendengar anjuran orang, janganlah fanatik, artinya janganlah memegang kepercayaan  sendiri dengan cara membabi buta.


Kerap kali kita dengar orang salah mengartikan ta’asshub itu. Dikiranya  ialah memegang teguh pendirian dengan pengertian. Pendirian yang  teguh dengan pengertian bukanlah fanatisme, tetapi yang  demikian itu adalah perasaan tanggung jawab yang  penuh. [Fanatisme dan Fanatisme, Gempita, Tahun ke I, 15 April 1955)


SULUH N.U.

Agustus 1941, Th. I No. 5

ABDULLAH OEBAYD SEBAGAI PENDIDIK

(Oleh A. W. Hs.)

MIMBAR AGAMA TAHUN I

No. 5-6, 17 Nop.-17 Des. 1950.

PENDIDIKAN KETUHANAN

Bismillahi’rrahmani’rrahiem

Mengenai persoalan pendidikan ini, Manusia-Indonesia-Baru dalam garis besarnya  terbagi antara dua golongan, yang kedua-duanya  tidak sehat. Segolongan ialah orang yang  maghrur (arrogant), menyangkakan dirinia Maha Tahu; golongan ini tidak terbatas pada yang  belajar menurut cara Barat, tetapi juga pada mereka yang  mendapat pelajaran menurut cara Timur. Mereka dinamakan maghrur atau arrogant, oleh karena mereka tidak tahu-menahu tentang filsafat lawannya ; hanya  menetapkan dengan cara membeo pada orang lain, bahwa pendiriannya  adalah lebih baik dari pada pendirian lawannya . Segolongan dari orang yang  maqhur (inferieor), merasai dirinya  kurang dari pada orang lain. Ghuruur (arrogasi) dan syu'ur bil-qahri (inferioriteit) adalah akibat dari pada pengertian yang  kurang dalam. Yang  pertama membawa kesudahan bekeria tidak beraturan dan secara serampangan dan yang  kedua membawa kesudahan diam dan tidak berani bertindak, atau bertindak tetapi dengan ragu-ragu. Kedua-duanya  adalah akibat kemalasan yang  sangat jelek, bukan malas bekerja, tetapi malas yang  lebih dalam lagi, yaitu  malas berpikir, suatu hal yang  terdapat pada kebanya kan bangsa kita yang  harus diubah dan ditinggalkan.


Perasaan kecewa memang baik, sebab itu adalah tanda hidup. Kalau orang tidak mau kecewa di dunia ini, baiklah pergi kekuburan saja. Akan tetapi keadaan yang  mengecewakan tidak boleh dibiarkan saja. Sebab jika kekecewaan sebagai alamat atau tanda hidup itu dibiarkan, ia akan memusnahkan pada hidup itu sendiri. Suatu jalan untuk menghilangkan kekecewaan ialah adanya  suatu planning (rencana) yang  didasarkan pada pengertian; dan sesuatu rencana baru akan berguna, jika disertai petunjuk-petunjuk dan jalan-jalan yang  harus dikerjakan dengan lengkap. Sesuatu “rencana" dengan aanhalingsteken belum berarti rencana apabila baru merupai garis-garis besar, dengan tidak ada petunjuk-petunjuk dan keterangan-keterangan cara melaksanakannya ; la baru merupai teori semata-mata. {“Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, Tahun I, No 5-6, 17 Nopember-17 Desember 1950)


Pidato diucapkan pada pembukaan dan penjerahan P.T.A.I.N.

(Perguruan Tinggi Islam Negeri) di Jogjakarta

Pada tanggal 26 September 1951.

(Mimbar Agama November 1951).

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri

Dalam pada itu dapat dikemukakan pandangan Islam, bahwa ilmu pengetahuan, tidaklah dianggap sebagai satu syarat hidup yang  dapat berdiri sendiri. Di samping pengetahuan, diletakkan syarat lain yaitu  taqwa; dan taqwa sering kali ditafsirkan dengan arti: takut pada Allah, juga taqwa ditafsirkan: menjaga diri dari kesalahan. Dua syarat hidup tadi, ilmu pengetahuan dan taqwa dalam pandangan Islam tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup  lengkap. Bahkan Islam memandang lebih condong pada taqwa dari pada kepada ilmu.


Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan taqwa sebagal isi hati. Ini tampaknya  soal remeh, terutama jika ditinjau daripada kacamata abad sekarang, yang  sudah jauh dari ukuran-ukuran logika yang  biasa. Akan tetapi bagi riwayat perkembangan kemanusiaan, ternyata sekali perlunya  keseimbangan antara isi hati (taqwa) dan isi otak (ilmu).


Riwayatnya  kemajuan otak manusia selama hampir dua ribu tahun ini menunjukkan naiknya  kecerdasan, bukan saja  di dalam  menjalankan kejahatan-kejahatan dan kerusakan-kerusakan, akan tetapi juga di dalam  menyembunyikan kejahatan-kejahatannya  itu baik dengan cara-caranya  yang  licin, maupun dengan memakai alasan-alasan yang reasonable (ma'qul) atau masuk akal  guna membenarkan kejahatan-kejahatannya  tadi.


Kemajuan otak yang  tidak disertai dengan kemajuan (atau naiknya) budi pekerti atau taqwa, telah menyebabkan nilai dan pandangan manusia jadi berubah banyak, bukannya  ke atas, tetapi ke bawah, hingga sesuatu kejahatan kecil seperti merusakkan jiwa/nyawa seseorang, dianggap perbuatan jahat, tetapi merusakkan jiwa/nyawa satu bangsa seluruh negeri, tidaklah dianggap kejahatan, bahkan orang yang  memperbuatnya  mendapat penghormatan dan nama.


Seorang penyair mengatakan: Qatlu'mri'in fi ghaabatin, jarimatun laa tughatafar; wa-qatlu syabin aaminin, buthuulatum dzaatu khathar (artinya : pembunuhan pada seorang di suatu hutan, dianggap sebagai kejahatan yang  tidak dapat diampuni; tetapi tindakan mematikan suatu bangsa yang  bersikap damai dianggap sebagai kepahlawanan yang  berharga).


Pada ketika umat Islam dahulu menundukkan politik pada ilmu pengetahuan, disertai taqwa, maka kemajuan kecerdasan otak diimbangi oleh suburnya  perkembangan kemanusiaan. Akan tetapi pada suatu ketika, syarat hidup yang  kedua yang  taqwa mulai kendor. Dan mulai pula hawa nafsu mengalahkan ilmu pengetahuan, karena dorongan politik, ialah disebabkan keinginan mau menang yang  bersarang pada hati beberapa orang pemuka. Untuk mencapai kemenangan itu, orang lalu menggunakan ilmu guna melaksanakan keinginan atau hawa nafsu.


Termuat sebagai kata sambutan dalam kitab Terjemah Hadis Shahih Buchari, diterbitkan oleh Fa. Wijaja, Jakarta, 1953


Pentingnya Terjemah Hadits pada Masa Pembangunan

Pertama, salah memahamkan antara orang yang  taat beragama dan orang yang  berpengetahuan agama; sebagaimana orang yang  bersikap taat pada undang-undang negeri, tidak usah ia menjadi, ahli hukum negeri sebagai rechtskundig, juga orang yang  bersikap taat pada agama, tidak usah ia menjadí ahli agama. Orang yang  bersikap taat pada undang-undang negeri cukuplah mendengar, bahwa sesuatu hal adalah larangan undang-undang, dan dengan demikian ia lalu menjauhi larangan tadi. Demikian juga yang  bersikap taat pada agama, cukuplah mendengar, bahwa (Allah) mewajibkan ini dan melarang itu, dan dengan demikian ia lalu menaati kewajiban tadi (menjalankannya ) dan menghentikan cegahan tersebut (meninggalkannya).


Kedua, salah memahami antara ilmu agama yang  merupakan isi dan bahasa yang  mengandung (memuat) ilmu tadi; dan oleh karena kesalahan faham demikian, ia lalu mendahulukan belajar bahasa asing yang  memuatnya, tidak mendahulukan isinya; dan setelah waktu (usia) yang  dipakai untuk mempelajari bahasa itu, habis, serta dorongan untuk lekas terjun ke dalam hidup berumahtangga dan bekerja mencari nafkah telah tiba, maka terhentilah kesempatannya  belajar di tengah jalan; akhirnya  ia lalu menjadi orang terapung-apung setengah matang.


Karena salah memahami soal yang  pertama tadi, maka orang tua-tua masa yang  lalu mengambil sikap, bahwa pendidikan anak-anaknya  harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu ahli-ahli agama', dan akibatnya  ialah kurangnya  kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk ikut berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang  bersifat modern ini.


Lain dari pada itu, seandainya  maksud orang-orang tua pada masa yang  lalu untuk menjadikan anak-anaknya  ahli-ahli agama semuanya  itu berhasil, akibatnya pun belum tentu memuaskan. Sebab jikalau seandainya  seluruh isi negeri penuh dengan ahli-ahli agama, siapakah yang  akan mengisi cabang-cabang penghidupan lain yang  beranekawarna dan Yang  luas itu?


Kesalahan memahamkan masalah yang  kedua itu membawa akibat, suatu gambaran yang  mengelirukan. Sebenarnya  keislaman dan kearaban adalah dua hal yang  berpisahan, masing-masing berdiri sendiri. Akan tetapi karena salah memahamkan soal tersebut, lalu menimbulkan pendapat yang  mencampuradukkan antara keislaman dan kearaban; suatu pendapat yang  perlu diperbaiki. Apalagi jika diingat, bahwa kearaban di dalam  hal ini, adalah kearaban di dalam  gambarannya  yang  lama; sedang kearaban yang  modern pada waktu ini masih belum dimasukkan orang ke Indonesia.


Pada akibatnya  kesalahan memahami perbedaan antara keislaman dan kearaban itu, jika dipikirkan dengan tenang dan teliti, adalah suatu langkah yang  tidak sewajarnya  (tidakkah Jepang dahulu untuk menipponkan otak serta jiwa anak-anak kita?). Ini tidaklah berarti, bahwa saya tidak menyetujui orang mempelajari ilmu-llmu agama Islam dengan menggunakan bahasa yang mengandungnya  ialah bahasa Arab. Maksud saja ialah tidak menyetujui mengarabkan angkatan (generasi) kita yang  akan datang dengan memakai bahasa dan adat istiadat Arab yang  berbeda dari pada bahasa dan adat istiadat Indonesia. Jakarta, 15 Sjawal 1370 (19 Juli 1951)

 

Sebagai penutup saya akan kutip penutup pada  artikel Gus Wahid .


Di sini patut disimpulkan dua hal: biasakanlah berpikir; hal itu dapat dimulai dengan mencoba mencari kelemahan teori-teori serta alasan-alasan yang  diterima, didengar maupun dibaca, dengan teori-teori lainnya  serta alasan-alasan yang  melemahkan alasan-alasan yang  akan dilemahkan itu.


Kedua, buatkan rencana pekerjaan yang  akan dijalankan, disertai dengan petunjuk-petunjuk dan cara-cara bekerja, walaupun pekerjaan yang  direncanakan itu akan dijalankan sendiri bukan oleh orang lain; dan salah satu gunanya , ialah dapat memberi nilai pada kemajuan kecakapan berpikir, apabila di lain waktu rencana-rencana pekerjaan itu sudah ada beberapa buah, dan di “kenang-kenangkan" di kemudian hari; serta pula dengan itu dapatlah dikontrol, sampai dimana kemajuan pekerjaan yang  dihadapi. {Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, Tahun I, No 5-6, 17 Nopember-17 Desember 1950).


"Ya Allah, kami berdo'a kepadaMu, seperti salah satu do'a Ham-baMu yang  utama, Muhammad s.a.w. pada waktu perang Badar, dengan tambahan Indonesia, Allahumma in tahlik haadzihil-fi'atu, laa tu'bad fle Indonesia". (Ummat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya tetapi Pemimpinnya tidak tahu, 22 Desember 1951).


Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Jawa Barat