• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Eksistensi Tradisi Tekstual Santri di Tengah Badai Tren Digital Visual 

Eksistensi Tradisi Tekstual Santri di Tengah Badai Tren Digital Visual 
Pen dan Buku (Ilustrasi: Freepik)
Pen dan Buku (Ilustrasi: Freepik)

Hari ini, pesantren-pesantren menjadi wahana perekrutan pemimpin muda dari golongan santri, meskipun kepemimpinan itu tindakan bukan posisi. Sebagaimana turats termasuk literatur-literatur klasik yang selalu dikaji dan dipelajari oleh para santri. 

 

Ada yang tekstual dan ada yang kontekstual dalam memahami literatur. Meskipun pada dewasa ini pesantren-pesantren bertransformasi. Modernisasi pesantren dilakukan dengan mengembangkan kurikulum pesantren dengan memasukkan mata pelajaran umum, yang selanjutnya berimplikasi terhadap diversifikasi lembaga pendidikan pesantren, sistem penjenjangan, kepemimpinan dan manajemen pendidikan pesantren. Sehingga selaras dengan perkembangan zaman. 

 

“Kemarin aku pintar, aku pun ingin mengubah dunia. Hari ini aku bijak, aku pun ingin mengubah diriku sendiri” Jalaluddin Rumi. 

 

Menghidupkan kembali tradisi tekstual santri. Tradisi-tradisi yang diterapkan di pesantren dapat membangun tentang pemahaman pluralisme. 


Pemahaman terhadap teks agama yang hanya memperhatikan aspek tekstual semata, tanpa mempertimbangkan aspek kontekstualnya akan melahirkan pemahaman yang tidak komprehensif, sehingga muncul aksi-aksi radikalisme yang menghambat terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Dalam hal ini, permasalahannya bukan terletak pada pesantren secara umum, tetapi metode yang digunakan oleh sebagian pesantren dalam memahami teks agama. 


Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia maupun dalam membangun kerukunan antar umat beragama. Melihat besarnya peranan pesantren yang mewarnai perkembangan bangsa ini, terlebih maklumat resolusi jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945, kemudian dari peristiwa besar tersebut menjadi peringatan "Hari Santri Nasional" sampai sekarang. 


Kentalnya tradisi sastra di kalangan santri dengan warisan kekayaan literatur-literaturnya telah membuat santri akrab dengan pembelajaran sastra secara umum, dan berpengaruh besar pada kemampuan santri dalam membaca teks-teks sastra. Maka jangan heran, jika pesantren telah menghasilkan banyak sastrawan. 


Mengambil hikmah dari sastrawan itu juga penting bagi generasi muda. Walaupun hikmah bisa datang dari siapa saja dan dari mana-mana. Peran sastrawan sebagai pengikat makna atas cerminan hidup dalam bingkai nilai-nilai yang universal. Serta untuk membangun budaya literasi yang kuat. 


Kaum muda hari ini, harus mau mempelajari karya dari para sastrawan Indonesia, dan perlu menata ulang pikiran mereka bahwa betapa pentingnya memahami bahasa, bisa dimulai dengan ; kemampuan beradaptasi, inisiatif, disiplin diri dan seni berpikir sehingga tumbuh rasa penasaran generasi muda terhadap nilai-nilai budaya dan bahasa. 


Boleh jadi publik pada dewasa ini, di era transformasi kultural ke transformasi digital sudah semakin cerdas dan mengerti bahwa perubahan selalu berhubungan dengan adanya pihak-pihak yang melawan, sebab transformasi perlu suasana persatuan dan kepercayaan. 


Lewat tulisan kita juga bisa merawat budaya-budaya Indonesia yang wajib dilestarikan. Aktivitas menulis melibatkan penggunaan bahasa dan simbol-simbol tertentu, untuk menyampaikan informasi, gagasan, pikiran, atau perasaan kepada pembaca. Tulisan bisa berupa karya sastra, seperti prosa atau puisi, serta tulisan nonfiksi seperti artikel, laporan, esai, atau surat. 


Karya yang ditulis santri tentu akan memperkaya khazanah sastra nusantara. Setiap santri memiliki pengetahuan dan daya cipta (ide) yang unik dan menarik untuk diceritakan dan dipublikasikan. 


Di era transformasi literasi pada dewasa ini, proses menerbitkan buku sendiri adalah impian banyak penulis, termasuk bagi kalangan penulis santri di pesantren-pesantren, dimana proses penerbitan mandiri telah menjadi lebih mudah daripada era sebelumnya. 


Adapun upaya penulis bersama Komunitas GPS (Gerakan Penulis Santri) untuk mengembangkan potensi santri dalam melakukan penguatan media literasi santri dengan membuat perpustakaan di pesantren-pesantren dengan nama Kampung Literasi Santri. "Maju pemikiran santrinya, lestari tradisi literasinya." 


Karena setiap orang/santri berhak atas bahan bacaan yang layak, serta kemudahan akses (aksesibilitas) terhadap sumber bahan bacaan di perpustakaan, sekalipun perpustakaan digital telah tersedia di ponsel mereka.
 

Abdul Majid Ramdhani, salah seorang kontributor dari Cirebon, juga alumni santri Ponpes Al-Hamidiyah Depok


Opini Terbaru