• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Santri sebagai Teladan dan Cerminan Jati Diri Bangsa 

Santri sebagai Teladan dan Cerminan Jati Diri Bangsa 
Santri sebagai Teladan dan Cerminan Jati Diri Bangsa (Foto: NUJO)
Santri sebagai Teladan dan Cerminan Jati Diri Bangsa (Foto: NUJO)

Oleh Herdi As’ari
Sejak dilantiknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun 2014 silam, salah satu hal penting yang menarik perhatian saya adalah tentang Gerakan Revolusi Mental (GNR). Gerakan Revolusi Mental bermula dari ajakan Presiden Jokowi untuk mengangkat kembali karakter bangsa yang telah mengalami kemerosotan secara cepat dan berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Kemerosotan karakter dan jati diri bangsa dipengaruhi oleh kompetisi global dalam bidang teknologi dan budaya. Yang pada gilirannya melahirkan krisis multi-dimensi yang sangat sulit diurai. Oleh karenanya, Gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden benar-benar dipertanyakan vitalitasnya.

Meskipun gerakan tersebut sangat bagus dari sisi konsepsi, namun dalam tataran implementasi tidak demikian. Gerakan Revolusi Mental nampaknya masih berkutat menjadi wacana, belum sampai pada aksi nyata dan tata-laksana. Bahkan menginjak akhir masa jabatan Presiden yang ke-2 ini, isu revolusi mental hilang entah kemana.

Tercerabutnya jati diri bangsa dan mandulnya Gerakan Revolusi Mental tampak di layar kaca maupun di lingkungan sekitar kita. Bagaimana berita-berita tanpa henti mempertontonkan hal-hal yang tak mengenakan. Misalnya saja, masih banyaknya kasus kriminal dan pelanggaran hukum; pencurian dan pembunuhan; tawuran antar pelajar; penyalahgunaan narkoba; aborsi; dan kasus asusila lainnya.

Zaman seolah terbalik-balik. Tak sulit rasanya kita menyaksikan juga di negeri ini ada hakim yang diadili; ada jaksa yang dituntut; atau ada polisi yang malah di sidik. Ironisnya, pelanggaran-pelanggaran itu menegaskan bahwa pelakunya bukanlah “orang bodoh”, melainkan mereka yang terpelajar. Bahkan yang paling menusuk dada, ada oknum pejabat publik yang meskipun sudah ber-rompi orange, tetapi masih dapat berdadah-dadah di depan kamera sambil tersenyum renyah. Ajaib!

Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah terciptanya tatanan sosial masyarakat yang tak produktif dan semakin tertinggal. Hal tersebut bertolak belakang dengan visi besar pemerintah hari ini untuk mewujudkan Generasi Indonesia Emas di tahun 2045. Lain daripada itu, tentunya akan menghambat proses pembangunan yang sedang berlangsung, serta kondisi tak ideal bagi tumbuh-kembang proses demokrasi.

Krisis figur

Dalam kondisi yang demikian, sejatinya bangsa Indonesia tak sekadar membutuhkan sistem, teori, atau aturan semata, melainkan aksi nyata dan keteladanan. Nampak sekali bahwa masyarakat kita hari ini bingung dan mengalami krisis kepercayaan. Bingung karena “mabok” informasi dan  krisis kepercayaan terhadap ketokohan, baik tokoh pemerintahan, tokoh masyarakat, maupun tokoh keagamaan.

Reduksi kontestasi politik pun menjadi penyebab berikutnya. Sebagian masyarakat menjadi sebebal-bebalnya manusia saat berbicara hajat politik. Politik seolah berbicara hidup dan mati, neraka dan surga, halal dan haram. Pembelahan di tengah masyarakat kian mengkristal.

Kristalisasi pembelahan itu sekurang-kurangnya terjadi lepas pilpres 2014, dan berlanjut hingga 2019 lalu. Selain melahirkan pemimpin, nyatanya pesta demokrasi tersebut telah melahirkan banalitas satwa (baca: cebong & kampret) sebagai identitas kubu dan poros dukungan. Bahkan simbol politik satwa itu hidup hingga saat ini, membawa Indonesia pada peradaban politik yang “menjijikan” dan jauh dari esensi politik yang sebenarnya, serta membekukan kehangatan berwarga-negara.

Iklim pragmatis pun menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari dinamika politik hari ini. Batas-batas ideologis dan idealisme kepartaian kian bias. Bagi para pendukung yang memiliki militansi yang tinggi, tak jarang malah menuai kekecewaan oleh karena yang didukungnya tak bisa memuaskannya.

Apa yang terjadi pada tokoh masyarakat, tokoh keagamaan, maupun para akademisi pun sama. Banyak diantara mereka hanya mengejar popularitas semata. Bahkan sebagiannya, terjun membangun poros dukungan dan menjadi korlap-korlap pilkada. Citra politik yang kadung “kotor” di tengah masyarakat, berkelindan pada sikap ketak-percayaan publik terhadap mereka.

Dengan demikian, Indonesia tak hanya dilanda krisis ekonomi dan krisis jati diri, tetapi juga krisis figur keteladanan. Dengan lain kata, hari ini Indonesia bukan kekurangan orang pintar, melainkan sedikitnya orang benar.

Vitalitas santri

Islam sebagai doktrin ajaran maupun sebagai sekumpulan sistem perilaku sosial merupakan pondasi nilai dan moral yang murni. Membentuk jati diri masyarakat ketika ajaran agama tersebut berasimilasi dengan nilai kebudayaan setempat.

Pesantren sebagai basis awal peradaban Islam di Indonesia memiliki modal historis dan strategis-implementatif yang menjanjikan dalam normalisasi jati diri bangsa. Institusi yang merepresentasikan kiprah kiai dan santri tersebut, memiliki vitalitas untuk menggawangi moral dari hantaman budaya yang lain. 

Vitalitas santri terletak pada penguasaan ilmu dan keluhuran budi pekerti, bukan pada wacana kekuasaan. Sebab, santri memiliki garis ontologi yang “sejajar” dengan rasul, yaitu sama-sama menyampaikan risalah kebaikan: Uswatun hasanah. Dengan demikian, eksistensi pesantren (dan santri) akan tetap terjaga kendati ganti rezim ke rezim.

Santri merupakan seseorang yang dalam sikap kesehariannya mencerminkan pola perilaku yang diajarkan dan dibiasakan oleh kiainya. Dalam tradisi pesantren sering dinamakan khidmat dan takdzim. Relasi kiai-santri ini mensyaratkan “pertautan hati” yang dinafasi nilai keikhlasan satu sama lain. Relasi ini pula yang akan terus dijunjung santri kapan pun dan dimana saja ia berada. 

Sikap ramah-tamah, pemalu, sederhana, suka bergotong-royong, mandiri, toleran, dan tidak ekstrim dalam beragama, melekat dalam keseharian santri. Karakter yang sama sebagai jati diri bangsa yang telah dicontohkan oleh para leluhur kita. Sikap yang bertransformasi menjadi identitas santri itu, menjadi teladan yang baik bagi masyarakat yang mengalami krisis figur keteladanan.

Kita tak ragu lagi akan peran santri untuk negeri. Sejarah Resolusi Jihad yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai doktrin perjuangan melawan penjajah, merupakan sikap kepahlawanan yang disumbangkan santri. Perjuangan yang tak kecil.

Hari ini –di masa pandemi– santri pun hadir merepresentasikan sikap optimisme di tengah kecemasan dunia akan wabah. Santri mampu mengadumaniskan hukum hakikat, syariat, dan sebab-akibat, sehingga bijak dalam memandang sesuatu. Jaga iman dan jaga imun adalah ungkapan moderat dalam menyikapi musibah hari ini. Selamat Hari Santri: Santri Siaga Jiwa Raga!

Penulis adalah Mahasiswa Jenjang Magister Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Opini Terbaru