• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Ngalogat

Pondok Pesantren Miniatur Islam Nusantara

Pondok Pesantren Miniatur Islam Nusantara
Santri yang sedang belajar di pondok pesantren (Foto: NU Online Jabar/M Salim)
Santri yang sedang belajar di pondok pesantren (Foto: NU Online Jabar/M Salim)

Sejak masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7, Islam belum berkembang begitu pesat, menurut J.C. Van Leur adanya perkampungan Islam di daerah pantai Barat Sumatera (Islam ASWAJA, 2016:3). Namun, setelah pondok pesantren menjadi pusat kajian Islam sejak abad ke-14 Masehi, pesantren mulai bermunculan di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa sehingga Islam mulai mengalami perkembangan secara signifikan.

Pesantren merupakan lembaga juga sebagai sistem yang mampu memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang Islam secara holistik sehingga Islam mudah menyebar pada masyarakat. 

Ulama pesantren memiliki metode pembelajaran dengan mengakulturasi terhadap budaya Indonesia dulu masih memegang teguh adat leluhur yang bersifat mistik, yaitu dengan merubah secara perlahan isi dari budaya tersebut, yang tadinya memuji dewa dan roh karena dianggap oleh masyarakat adalah agung/sakral, menjadi puji-pujian dan doa-doa kepada Allah SWT. Dari sanalah Islam dengan cepat menyebar dan menjadi agama yang mayoritas di bumi pertiwi seperti sekarang ini.

Pesantren menawarkan kajian Islam secara teks dan konteks, karena pemahaman Islam secara tekstual saja tidak cukup, belum lagi dengan perubahan-perubahan budaya dalam berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, budaya, politik dan lainnya sehingga para ulama perlu mengkaji hal tersebut melalui bahtsul masail (ijmak) untuk mendapatkan solusi alternatif untuk menjawab persoalan masyarakat tersebut yang sudah menjadi budaya pesantren.

Selain itu, pesantren juga merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan dalam hal humaniora, karena pesantren selain menjadi pusat kajian Islam Nusantara, juga menjadi pusat kreatifitas masyarakat melalui hubungan kiai-santri, tradisi pesantren masuk ke pedesaan (Kuntowijoyo, 1999:43).

Pendidikan humaniora tersebut masuk secara tidak langsung karena termuat dalam kurikulum pesantren itu sendiri, seperti fiqih, usul fiqih, hadits, sastra Arab, tafsir, tauhid, tarikh, tasawuf, dan akhlak. 

Pesantren di masa sekarang juga diadopsi oleh kurikulum sekolah modern seperti boarding school, karena pesantren merupakan laboratorium santri untuk menjadikan setiap insan di dalamnya menjadi orang yang lebih baik.

Pesantren memiliki kurikulum untuk merekayasa karakter setiap santrinya agar mampu berprilaku sesuai dengan harapan pondok pesantren itu sendiri, metode pesantren yang paling efektif untuk merubah prilaku hal tersebut yaitu dengan memberikan contoh etika yang baik (uswatun hasanah) sesuai dengan ajaran nabi, baik oleh kiai/ajengan maupun oleh santri senior di pesantren tersebut. Terutama etika ketika sedang belajar di pondok dan menghadapi kiai/ajengan.

Salah satu contoh di mana seorang kiai mengharapkan santrinya untuk bangun subuh, maka kiai tersebut membangunkan santri itu sendiri atau dibangunkan oleh “Patrol” (sebutan bagi sejumlah santri yang sedang mengemban tugas teknis di pesantren/piket harian). 

Selain itu, contoh etika yang ditularkan secara turun temurun yaitu ketika bertemu dengan ajengan, seperti etika di Pondok Pesantren Fauzan-Garut, di mana saat santri bertemu dengan ajengan walaupun baru terlihat pada jarak 20-50 meter, santri senior akan menundukkan kepala dan ketika mulai mendekat, mereka akan “rengkuh” (rengkuh= badan agak membungkuk tapi tidak seperti ruku) atau duduk Jongkok sebagai tanda takzim kepada ajengan/kiai di pesantren tersebut. 

Sayyidina Ali RA berkata “saya ini hamba sahaya bagi yang mengajarkan saya, walaupun hanya satu kata saja”. dari pernyataan sayidina Ali RA tersebut sudah jelas, bagi siapa saja yang mencari ilmu maka kita hendaknya menganggap diri kita sebagai hamba sahaya bagi orang yang mendidik kita.

Kemudian diperkuat lagi pernyataan KH. Hasyim Asyari “Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak akan berguna, kecuali ia menaruh hormat pada guru yang mengajarkannya” (Miftahudin, 2017:55).

Pesantren juga menjadi kekuatan politik bagi masyarakat dan pemerintah, karena pesantren memiliki peran dalam kemasyarakatan untuk membina dan mengayomi masyarakat serta memberi rekomendasi bagi pemerintah untuk berperan aktif dalam menjaga kondusiftas masyarakat dan kesejahteraan bagi masyarakat tersebut. 

Pesantren merupakan miniatur kehidupan sosial bagi bangsa Indonesia, di mana pesantren mendidik santrinya untuk menerima perbedaan suku, bahasa, adat, ras dan lainnya sehingga para santri bisa hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan tersebut. Karena setiap santri memiliki hak yang sama dalam menerima pendidikan di pesantren, tidak ada kata santri Sunda atau santri Jawa lebih dihormati ketimbang yang lain, si kaya dan si miskin, tidak ada juga istilah antara santri anak pejabat dan petani, mereka mendapatkan hak pendidikan yang sama dan perlakuan yang sama jika melakukan kesalahan.

Para santri juga belajar saling mengenal berbagai bahasa daerah masing-masing, adat/ kebiasaan, budaya, cara bergaul, nilai-nilai dan segala sesuatu yang berasal dari daerah masing-masing. Dari hal tersebut santri sudah tidak asing lagi dengan namanya perbedaan karena sudah menjadi hal yang biasa bagi santri itu sendiri. 

Santri pun tidak akan gehgeran jika melihat perbedaan, jangankan perbedaan agama, ras, suku, dan budaya, perbedaan dalam tata cara ibadah pun santri akan legowo karena sudah terbiasa dengan perbedaan pemahaman dalam ilmu fiqih karena termasuk ke dalam furu’iah. Dan yang pasti, santri dituntut untuk menuntun umat dengan cara memberikan suri tauladan yang baik (akhlakul karimah) karena keberkahan dalam kehidupan manusia berada pada akhlak yang baik.

Walaupun dahulu stigma pemerintah dan masyarakat yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga kuno, tertinggal bahkan dianggap kaum yang bodoh. Namun, para alumni membuktikan bahwa santri memiliki peran sentral dalam mencetak dan melahirkan guru-guru bangsa sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara terjaga sejak dulu, sekarang sampai masa yang akan datang.
 
Tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy ‘ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Wahab Hasbullah, KH. Saifuddin Juhri, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Anwar Musaddad, KH. Ma'ruf Amin dan kiai-kiai lainnya, merupakan tokoh-tokoh asli dari pesantren yang memiliki peran baik di kancah nasional maupun internasional atas kealimannya dan juga kepribadiannya yang luhur karena selalu mengedepankan akhlakul karimah.

Oleh karena itu, mondok di pesantren sama dengan mempelajari tentang konsep keislaman dan keindonesiaan secara kaffah/komprehensif sehingga setiap santri terbentuk karakter pribadi Muslim yang nasionalis. Bahkan Muslim Indonesia di mata dunia merupakan pribadi yang ramah bukan yang suka marah-marah.

Penulis: M Salim 
Editor: Agung Gumelar 


Ngalogat Terbaru