• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Ngalogat

Pertanyaan untuk yang Suka Bertanya Mana Dalilnya 

Pertanyaan untuk yang Suka Bertanya Mana Dalilnya 
Ilustrasi: NUO.
Ilustrasi: NUO.

Sungguh saya tidak habis pikir kepada sekelompok orang yang dalam beragama sangat bersemangat mengkampanyekan slogan kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah, padahal tidak setiap orang mampu (memenuhi banyak syarat) untuk mempraktekkan slogan itu dengan benar, padahal tidak semua masalah yang kita hadapi secara tegas ada dalilnya, termasuk kepada mereka yang mengklaim mampu melakukan tarjih. Bagaimana cara men-tarjih dua pendapat berbeda dalam berbagai madzhab fikih untuk satu kasus hukum yang sama? 


Saya kemukakan contoh kasus dengan pertanyaan dan cobalah langsung jawab dengan ayat al-Qur'an, jika benar anda orang yang pintar merujuk kepada dalil berupa ayat al-Qur'an atau al-Sunnah. "Apakah mantan suami wajib memberi nafkah kepada mantan isterinya yang ditalak bain, sedangkan isterinya tidak dalam kondisi hamil?" 


Masihkah terasa sulit untuk menjawabnya, meski anda sudah hapal al-Qur'an 30 Juz di luar kepala? Oleh sebab itu, rasanya tidak perlu dan kurang patut bertanya kepada orang awam, "mana dalilnya??"


Atau jika anda mengklaim pandai melakukan tarjih, cobalah jawab pertanyaan mana lebih kuat dari dua pendapat dalam madzhab fikih berikut: 
 

 
  1. Jumhur berpendapat, bahwa suami tidak berkewajiban menanggung nafkah wanita yang ditalak bain yang selama masa 'iddah tidak dalam kondisi hamil, dan 
  2. Al-Hanafiyyah berpendapat, bahwa suami berkewajiban menanggung nafkahnya, baik perempuan yang ditalak bain itu dalam kondisi hamil atau tidak.


Contoh kasus yang saya kemukakan di atas adalah masalah yang sama sekali berbeda dari apa yang telah mujma' 'alaih sebagaimana dikemukakan oleh para ahli fikih (para mujtahid), bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah selama masa 'iddah kepada perempuan (isteri) yang ditalak bain itu, yakni bila ia dalam keadaan hamil. Mantan suaminya tetap wajib menafkahi hingga isterinya yang ditalak bain itu melahirkan.


Kasus hukum yang saya tanyakan terkait perempuan yang ditalak bain selama masa 'iddah tidak dalam kondisi hamil itu tidak secara tegas dibicarakan dalam al-Qur'an, sehingga wajar bilamana para ahli fikih (mujtahidin) lintas madzhab itu berbeda pendapat. Kepada yang merasa sebagai pakar tarjih, saya betul-betul--sekali lagi ingin bertanya--pendapat mana dari dua pendapat di atas yang lebih kuat untuk kita diikuti, tentu saya ingin mengetahui bagaimana metode anda men-tarjih, dan tentu bagaimana anda mengargumentasikannya menurut Ilmu Ushul al-Fiqh yang tentu telah anda kuasai?


KH Ahmad Ishomuddin, salah seorang jajaran PBNU 2016-2021


Ngalogat Terbaru