Hikmah

Merayakan Kematian dalam Konsep Cinta Jalaluddin Rumi

Jumat, 28 Januari 2022 | 12:00 WIB

Merayakan Kematian dalam Konsep Cinta Jalaluddin Rumi

(Ilustrasi: NUO).

Oleh: Hari Susanto
Kematian merupakan suatu fenomena yang mutlak akan terjadi kepada tiap-tiap makhluk yang bernyawa, khususnya pada makhluk yang bernama manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

 

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ 

 

Artinya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: Ayat 57)

 

Kematian juga bisa disebut sebagai kiamat atau akhir dari segala cerita kehidupan seseorang di dunia ini. Bagi kebanyakan manusia, kematian menjadi hal yang begitu menyedihkan, menakutkan, dan suatu hal yang berujung dengan irama isak tangis bagi orang yang ditinggalkannya.

 

Berbalik 180 derajat, kematian menjadi suatu hal yang menjadi dambaan bagi orang-orang yang saleh, bagi mereka yang selalu mengharapkan cinta-Nya dalam setiap hela nafas di kehidupannya sehari-hari. Jalaluddin Rumi menggambarkan kematian sebagai jembatan penghubung antara orang yang dicintai dengan yang mencintainya (kemesraan seorang hamba pada Rabb-Nya). Seperti dalam bait syairnya: 

 

"Di malam sebelumnya aku bermimpi
Melihat seorang syekh di pelataran rindu,
Ia menudingkan tangannya padaku dan berkata: 
“Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku.” (Fihi Ma Fihi)

 

Di malam itu adalah gubahan syair terakhir yang Rumi senandungkan sebelum dirinya meninggal dunia. Diceritakan di dalam Fihi Ma Fihi; “Beliau terkena demam yang amat begitu parah. Namun tak sedikitpun terlihat di wajahnya ada tanda-tanda sakaratul maut. Bahkan beliau juga masih sempat menyenandungkan lagu-lagu ghazal (bentuk puisi tertua) semisal syair di atas seraya menampakkan kebahagiaan di atas permukaan wajahnya. Rumi juga melarang para shahabatnya untuk bersedih atas kepergiannya menuju sang kekasih sejati (Allah Swt.)”.

 

Jalaluddin Rumi sendiri adalah seorang penyair sufi terkemuka yang berasal dari Balkha, Persia Raya (30 September 1207- wafat pada 17 Desember 1273 M). Ia begitu masyhur akan ketinggian rasa cintanya (mahabbah) kepada Allah Swt. sehingga beliau (Rumi) mengejawantahkan kematian menjadi suatu hal yang sangat manis sebagai jalan menuju keabadian cinta bersama Sang Maha Pencinta (Allah Jalla Jalaluhu). 

 

Di antara syair-syair yang indah tentang merayakan kematian dalam konsep cinta Jalaluddin Rumi, yaitu sebagai berikut:

 

[1]

Saat aku mati: saat kerandaku mulai dibawa keluar,
“Jangan pernah kau berfikir bahwa aku merindukan dunia ini.”
Janganlah meneteskan air mata, jangan meratapi, atau menyesaliku. Aku tidak akan jatuh ke dalam sarang makhluk yang mengerikan.
Ketika melihat jenazahku diusung,
Janganlah menangis karena kepergianku.
“Aku bukan pergi: Aku telah sampai kepada Cinta Yang Abadi.”
Ketika engkau meninggalkanku di dalam kuburan, janganlah mengucapkan selamat tinggal.
“Ingatlah, kuburan hanya bagi Surga yang berada di baliknya, engkau hanya akan melihatku (seperti yang) diturunkan ke kuburan, sekarang, lihatlah aku bangkit.”
Bagaimana bisa ada akhir? Saat matahari terbenam atau bulan tenggelam, ini terlihat seperti akhir,
Ini terlihat seperti matahari yang terbenam, tetapi sebenarnya, ini adalah fajar.
Saat kuburan mengurungmu, saat itulah jiwamu terbebaskan.
Melihat benih yang jatuh ke bumi tidak menumbuhkan kehidupan baru?
Mengapa mempertanyakan bangkitnya benih yang bernama manusia?
Ketika, untuk terakhir kalinya, engkau menutup mulutmu,
Kata-kata dan jiwamu akan menjadi milik dunia yang tanpa ruang, tanpa waktu.

 

[2]

 

Kematian terburuk adalah tanpa Cinta
Kenapa kerang menggigil? Demi mutiara! 
Setiap dada tanpa Sang Kekasih adalah badan tanpa kepala.

 

[3]

 

“Mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis. 
Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri.” (Rumi 1207-1273 M)

 

Kematian bukanlah menjadi suatu hal yang mesti kita takuti. Cepat atau lambat, dalam siang atau pun malam, kematian akan mutlak menghampiri kita tanpa batas ruang dan waktu. 
Maulana Jalaluddin Rumi telah menyulap sebuah narasi kematian yang begitu amat mengerikan menjelma sebagai kemanisan yang menggelora dalam ruang kalbu. Kematian adalah satu gerbang untuk menuju kemerdekaan cinta yang sejati, abadi, berjumpa Sang Kekasih (Allah Swt.) adalah dambaan bagi segala hati yang sedang dilanda kedahsyatan aroma rindu. 

 

Sehingga merayakan kematian dalam konsep cinta Jalaluddin Rumi adalah salah satu cara kita untuk menempuh jalan cinta Sang Maha Pencinta (Allah Jalla Jalaluhu).