• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Hikmah

Karomah KH Syaikhuna Badruzzaman Garut

Karomah KH Syaikhuna Badruzzaman Garut
KH Syaikhuna Badruzzaman (Foto: NUJO)
KH Syaikhuna Badruzzaman (Foto: NUJO)

Oleh Andri Nurjaman 
KH Syaikhuna Badruzzaman hidup dalam rentang waktu 1900 sampai 1972, artinya beliau hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan masa Republik Indonesia. Oleh karena itu sosok KH Badruzzaman adalah sosok ulama yang mempunyai peran besar dalam melawan kedzaliman penjajah baik Belanda maupun Jepang melalui pasukan Hizbullah yang dibentuknya, artinya beliau turut berjuang merebut dan mempertahakan kemerdekaan Indonesia melalui taktik khalwat dan hijrah.


Sanad keilmuan KH Syaikhuna Badruzzaman dimulai dari mengaji kepada ayahnya sendiri yaitu KH Faqih bin KH Adza’I (Amma Biru-Pondok Pesantren Al-falah Biru), lalu beliau juga pernah mengaji kepada paman dari pihak ibunya yaitu KH. Raden Qurtubi di Pesantren Pangkalan Tarogong, lalu mengaji ke pondok kakak beliau yaitu KH Bunyamin atau Syaikhuna Iming di Ciparay Bandung, selanjutnya mengaji di Pesantren Cilenga Tasikmalaya dan Pesantren Balerante Cirebon.


Pengelanaan ilmu dan pendakian spiritual KH Badriuzzaman tidak hanya sampai disitu, pada tahun 1920 beliau dengan kakanya yaitu Syaikhuna Iming berangkat ke Mekah untuk mendalami dan memantapkan ilmu keislaman selama 3 tahun. Lalu pada tahun 1926 beliau ke Mekah kembali yang kedua kalinya dan bermukim selama 7 tahun.


Selama di Mekah beliau berguru kepada Syekh Alawi Al-Maliki yang merupakan mufti Mekah dari mazhab Maliki, Syekh Sayyid Yamani yang merupakan mufti Mekah dari mazhab Syafi’i. Jadi beliau belajar dan mendalami  fan fiqih dua mazhab yaitu Syafi’i dan Maliki. Selama di Mekah juga beliau mempunyai teman diskusi yaitu KH Kholil Bangkalan Madura.


Setelah menimnba ilmu dari tanah suci Mekah, pada tahun 1933 KH Badruzzaman pulang ke tanah air dan langsung memimpin ponndok pesantren Al-falah biru di Garut dengan kakaknya yaitu KH Bunyamin. Adapun nasab keturunan KH Badruzzaman adalah keturunan dari Sunan Gunung Djati.


Pada masa revolusi fisik, beliau turut berjuang melalui pasukan hizbullah. Beliau juga aktif di beberapa organisasi diantaranya al-Muwafaqoh, sebuah organisasi penyalur aspirasi umat Islam pada saat itu. Lalu pada tahun 1942 beliau dengan KH Ahmad Sanusi dari Sukabumi mendirikan Persatuan Ulama untuk mengikat ulama dalam satu wadah, yang pada masa selanjutnya organisasi ini menjadi Persyarikatan Umat Islam di Majalengka dan akhirnya menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI). Pasca kemerdekaan KH Badruzzaman bergabung dengan Masyumi, lalu aktif di PSII, selanjutnya pada tahun 1967 KH Badruzzaman masuk partai PERTI (Persatiuan Tarbiyyah Islamiyyah).


KH Syaikhuna Badruzzaman selain sosok ulama yang tinggi akan ilmunya dan sosok yang kharismatik serta tokoh pejuang, beliau juga adalah muqodam tarekat Tijaniyyah, beliau turut mengembangkan tarekat Tijaniyyah di Garut yang diterimanya melalui Syekh Ali at-Thayyib.


Mengenai karomah dan kejadian luar biasa yang terjadi pada diri KH Syaikhuna Badruzzaman mengutip pada tulisan Mumuh Muhsin menyebutkan bahwa ketika kelahiran KH Badruzzaman muncul sinar cahaya yang sangat besar di rumah tempat beliau dilahirkan. Keistimewaan lainnya adalah ketika KH Syaikhuna Badruzzaman waktu mengaji Bahasa Arab dan Fiqih kepada pamannya yaitu KH Rd. Qurtubi, adalah apabila beliau sedang mengaji bersama teman-temannya beliau sering kelihatan tertidur, namun apabila disuruh membaca atau ditanya oleh gurunya beliau akan langsung membaca dan menjawab dengan benar. Tidak hanya itu suatu ketika pada malam hari di pesantren Pangkalan santri sedang mengaji dan tiba-tiba lampu yang berada dalam ruangan padam, seketika semua santri kaget datang cahaya dari tubuh KH Badruzzaman dan semua santri mengerumuninya.


Karomah lain terjadi pada masa mencari ilmu di Mekah, Pada suatu ketika KH Badruzzaman diperintah oleh gurunya untuk berpuasa selama 40 hari dan beliaupun melaksanakannya. Selama masa puasa terjadi hal yang aneh yaitu setiap datang waktu berbuka puasa selalu tiba-tiba didatangi seseorang yang meminta makanan yang hendak beliau makan dan beliau pun memberikan makanan tersebut, dan hal tersebut terjadi berulang-ulang dan orang yang datang itu adalah orang yang sama. Setelah selesai melaksanakan puasa selama 40 hari, ia menghadap gurunya untuk mendiskusikan kajadian yang dialaminya selama berpuasa. Ketika sedang berdialog dengan gurunya, tiba-tiba datang seseorang yang sudah dikenalnya, di mana orang tersebut adalah orang yang biasa datang meminta makanan ketika ia akan berbuka puasa. Kemudian ia menceritakan tentang ihwal orang tersebut kepada gurunya. Kemudian gurunya menjelaskan inilah Hidhir. Selanjutnya ia membaca takbir, tasbih dan tahmid, kemudian mereka bertiga saling berpelukan, sampai akhimya Hidhir menghilang.


Kejadian aneh lain ketika di Mekah adalah ketika setiap pergi dari pemondokan untuk berangkat ke pengajian beliau selalu berangkat paling akhir setelah teman-temanya, namun ketika teman-temannya baru sampai ke halaqoh pengajian, KH Badruzzaman sudah hadir terlebih dahulu.  


Telah disinggung di awal bahwa KH Syaikhuna Badruzzaman merupakan seorang tokoh pergerakan dan perjuangan melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan. Taktik yang dilakukan oleh KH Badruzzaman adalah khalwat dan hijrah. Gerakah khalwat ini dilakukan melalui riyadhah atau latihan ruhani dalam upaya penetapan dan pemantapan tauhid. Gerakan khalwat ini dilakukan sebelum pasukan hizbullah yang merupakan pengikut tarekat tijaniyah diterjunkan ke meden pertempuran fisik. Pesantren Al-falah biru adalah maskar dari perjuangan KH Badruzzaman tersebut beserta para pengikutnya. Oleh karena itu juga pesantren Al-falah biru menjadi sasaran serangan penjajah Belanda. Maka KH Badruzzaman melakukan taktik hijrah yaitu gerakan mengungsi, menghindari kepungan tentara Belanda untuk menyusun kekuatan baru dan menyusun kekuatan barisan rakyat dari satu tempat ke tempat lain, dengan menempuh perjalanan panjang, dari beberapa wilayah yang saling berjauhan.


Gerakan hijrah KH Badruzzaman beserta santri-santrinya dilakukan karena kecurigaan pemerintah kolonial Belanda. Gerakan hijrah ini dimulai ke daerah Cikalong, Padalarang, Bandung dilakukan untuk menyusun kekuatan dalam rangka menentang koloni Belanda dan menyebarkan tarekat Tijaniyyah.


Hal yang luar biasa dalam hijrah ini adalah di setiap tempat yang disinggahi apabila akan diserang oleh pasukan Belanda, maka beberapa jam bahkan beberapa menit sebelum serangan datang KH. Badruzzaman dan murid-muridnya telah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu. Perjuangan dalam gerakan hijrah tampaknya justru membawa dampak positif, yakni semakin bertambahnya masyarakat di daerah-daerah tempat hijrah itu yang kemudian turut bergabung dengan K.H. Syaikhuna Badruzzaman dan mengikuti Thariqat Tijaniyah.


Karomah lain dari KH Syaikhuna Badruzzaman yang ditulis oleh Mumuh Muhsin dalam bukunya yang berjudul Perjuangan KH Syaikhuna Badruzzaman dalam Merebut, Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan (1900-1972) adalah ketika pertempuran di Surabaya, banyak ulama beserta para pengikutnya dari Garut berangkat ke sana untuk membantu menghadang tentara Sekutu. Di antara ulama itu adalah K.H Musthofa Kamil dan K.H. Syaikhuna Badruzzaman. Bahkan, K.H. Musthofa Kamil gugur di Surabaya sebagai syuhada. Berdasarkan sumber lisan, K.H. Syaikhuna Badruzzaman memiliki peran tersendiri dalam pertempuran Surabaya itu, melalui karomahnya, K.H. Syaikhuna Badruzzaman dengan menggunakan senjata sorbannya banyak merontokkan senjata dan kendaraan musuh. Bahkan ada sumber lisan yang menyebutkan bahwa terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby yang merupakan pemimpin tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 dilakukan oleh K.H. Syaikhuna Badruzzaman. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.


Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Hikmah Terbaru