Ngalogat

Kenangan Tak Terlupakan Gus Dur dengan Ajengan Musa Sukanagara

Kamis, 17 Desember 2020 | 18:00 WIB

Kenangan Tak Terlupakan Gus Dur dengan Ajengan Musa Sukanagara

Gus Dur muda dan jejak Masjid Pesantren Al-Basyariyah Cikiruh, Sukanagara, Cianjur. (Foto: Istimewa/Desain: M Iqbal)

Oleh Iip Yahya
Tak banyak yang diingat Gus Dur dari ayahnya, KH A Wachid Hasyim. Sebagai anak sulung, seharusnya dialah yang paling lama bercengkerama dengan sang ayah. Mengapa bisa begitu?
“Ayah saya meninggal ketika saya berumur 13 tahun. Pengalaman bersama ayah sedikit karena setelah usia 14 tahun, saya sudah “lepas” tidak lagi hidup sehari-hari dengan orang tua, karena saya sekolah dan mondok. Bahkan waktu ada ramai-ramai dengan PKI di Indonesia, saya tengah ada di Mesir. Jadi, durasi masa muda saya berkumpul dengan orang tua itu sangat sedikit.”

Demkian pengakuan Gus Dur, sebagaimana ditulis dalam buku Ibuku Inspirasiku, susunan Tim Pustaka Tebuireng, Cetakan Ketiga, 2018.

Tapi di antara yang sedikit itu, ternyata ada yang ingin terus diingat Gus Dur dari pengalamannya bersama ayahnya.

“Yang paling ingin saya kenang terus dengan ayah saya adalah ketika saya diajak pergi ke Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat. Di sana kami menemui Ajengan Musa, seorang ulama yang disegani. Setelah salaman semua, Ajengan Musa bilang sama ayah saya dalam bahasa Sunda, ‘Kamu siap-siap saja nanti, karena kamu akan mendapat musibah di tengah hujan deras.’ Lalu dua bulan berikutnya, ayah saya kecelakaan mobil di tengah hujan deras dan meninggal tepat seperti yang dibilang oleh ajengan itu. Hanya saja waktu kecelakaan itu saya betul-betul lupa. Cuma yang saya tahu waktu itu beliau pergi membawa uang sebanyak Rp. 500.000 untuk bantuan mendirikan sekolah di Sumedang. Itu yang saya selamatkan.”

Siapakah Ajengan Musa itu? Ren Muhammad dalam Jejak Tasawuf dalam Kepemimpinan Bung Karno menjelaskan bahwa sebelum kemerdekaan RI, Bung Karno menemui empat ulama ahli mukasyafah. Syeikh Musa dari Sukanagara, Cianjur, KH Abdul Mu'thi dari Madiun, Raden Mas Panji Sosrokartono di Bandung, dan Hadratusysyekh Muhammad Hasyim Asy'ari, Jombang (pendiri Nahdlatul Ulama). Menurut penelusuran Ren, Syaikh Musa itu adalah KH Achmad Basyari, pendiri pesantren Al-Bsyariyah Cikiruh, Sukanagara.

Baca juga: Gus Dur, Iwan Fals, dan Kuburan

Kesimpulan dari para ulama itu adalah akan ada ‘Rahmat Allah yang besar turun di Indonesia, pada Jumat legi, 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Bila meleset, harus menunggu tiga abad lagi.’ Dan rahmat besar itu adalah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Terkait ramalan Ajengan Musa itu, mengingatkan kita pada ‘ramalan’ sejenis dari Syaikhona Cholil. Alkisah, Nyai Nafiqah, istri KH Hasyim Asy’ari, sowan ke Bangkalan. Saat tiba di komplek pesantren, hujan turun cukup deras. Syaikhona Cholil tidak segera membukakan pintu, melainkan membiarkan Nyai Nafiqah basah kuyup kehujanan. Padahal saat itu ia tengah hamil besar. Setelah bayinya lahir dan diberi nama Abdul Wachid Hasyim, maka diramalkan bahwa akan terjadi peristiwa besar atas bayi tersebut di saat hujan.

Baca juga: Gus Dur dan Hantu

Begitulah rupanya jalan hidup tokoh besar Kiai A Wachid Hasyim. Sejak dalam kandungan, peristiwa besar yang akan dilaluinya, telah diperlihatkan oleh kiasan Syaikhona Cholil. Begitu pula dua bulan menjelang kejadian, ia diingatkan pula oleh ahli kasyaf Ajengan Musa. Dan peristiwa besar itu pun terjadi. Sabtu, 18 April 1953, Kiai Wachid mengalami kecelakaan di Cimindi Cimahi, dalam perjalannya menuju Sumedang. Gus Dur dan sopir, selamat. Kiai Wachid dan Argo Sutjipo, wafat sehari kemudian setelah dirawat di rumah sakit Boromeus Bandung.

Peristiwa itu tentu sangat membekas dalam benak Gus Dur. Bagaimana anak berusia 13 tahun mendengar langsung ‘ramalan kematian’ yang akan terjadi pada ayahnya. Dua bulan kemudian ia mengalami sendiri peristiwa itu. Batas kematian dan kehidupan menjadi sangat tipis baginya. Mungkin dari sanalah dorongan Gus Dur untuk menjelajah makam para aulia, berkarib dengan para ahli mukasyafah, dan menyambangi para ulama tersembunyi. Kelak setelah ia wafat, 30 Desember 2009, warga nahdliyyin menyakininya sebagai waliyullah.

Penulis adalah penganggit buku Gus Dur Berbeda itu Asyik.