• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Kuluwung

Mengapa Orang Sunda Sulit Jadi Presiden?

Mengapa Orang Sunda Sulit Jadi Presiden?
Mengapa Orang Sunda Sulit Jadi Presiden?. (Ilustrasi: NUO).
Mengapa Orang Sunda Sulit Jadi Presiden?. (Ilustrasi: NUO).

Surat kabar Pikiran Rakyat, Senin (20/6/2022) menurunkan berita bahwa dalam waktu dekat sejumlah tokoh dan elemen masyarakat Jawa Barat akan melaksanakan Kongres Sunda 2022 yang rencananya akan digelar di Kota Bandung pada 27-28 Oktober 2022 nanti. Sama halnya seperti pada pertemuan-pertemuan skala besar lainnya, inti permasalahannya yaitu menyoal kepemimpinan Sunda di kancah nasional. Belum adanya tokoh Sunda menjadi orang nomor 1 di Indonesia, menjadi perhatian dan keprihatinan serius bagi seluruh warga masyarakat Jawa Barat. 


Padahal, dalam setiap kontestasi pemilihan presiden, masyarakat Jawa Barat tercatat sebagai penyumbang hak pilih terbanyak bersama provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ketersediaan hak pilih terbanyak tidak serta merta menjadikan tokoh Sunda dapat berbicara lebih jauh dalam kancah perpolitikan nasional. Jika pun ada, tokoh Sunda yang berlaga di kancah nasional hanya sebatas pada posisi nomor 2. 


Sejarah mencatat, tokoh Sunda paling tinggi hanya menduduki jabatan sebagai wakil presiden atau perdana menteri. Misalnya, pada pemerintahan Soekarno (1945-1968), kepemimpinan Sunda diwakili oleh Ir Juanda yang menjabat sebagai perdana menteri Indonesia pada tahun 1957-1962. Pada masa pemerintahan Soeharto (1968-1998), kepemimpinan Sunda diwakili oleh Umar Wirahadikusumah yang menjadi wakil presiden pada tahun 1983-1988. 


Sementara, tokoh Sunda lainnya (Banten) yang berhasil menduduki wakil presiden di era reformasi (1999-sekarang) adalah KH. Ma’ruf Amin (2019-2024). Dari empat tokoh Sunda yang disebut, hanya satu orang yang dipilih secara langsung oleh rakyat yaitu KH. Ma’ruf Amin.


Senyatanya, belum adanya tokoh Sunda yang berkiprah jauh di tingkat nasional, dan kalaupun ada hanya menjadi orang nomor 2 karena dipengaruhi oleh perilaku budayanya. Bagi orang Sunda, politik itu adalah strategi untuk menghindari pertikaian. Bagi orang Sunda juga, politik itu bukan untuk bertikai, bermusuhan, dan mengalahkan. Oleh karenanya, orang Sunda seringkali mengalah, menghindari, dan berbuat apa adanya dari pada harus berkonflik dan bermusuhan. Dalam berpolitik, orang Sunda juga lebih mengedepankan falsafah mangga tipayun dari pada hayu tipayun.


Lalu apa yang mendasari bahwa orang Sunda dalam berpolitik itu lebih banyak mengalah, menghindari konflik, menghindari permusuhan dan pertikaian? 


Salah satu rujukan yang dapat diambil menyoal orang Sunda yang kurang menonjolkan diri dalam meraih kekuasaan yaitu temuan dari seorang pakar, kritikus sastra, dan pelopor kajian filsafat Indonesia Prof. Jakob Sumardjo yang banyak menganalisis cerita-cerita pantun Sunda. 


Misalnya, dalam pantun Mundinglaya Dikusumah diceritakan ia lebih mempercayakan kekuasaannya kepada dua pengawal setianya, yaitu Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam setiap pengembaraannya, Mundinglaya Dikusumah yang sebagai raja Pajajaran lebih bersifat “diam dan pasif” namun tetap dihormati dan dipatuhi atas keputusannya. Yang lebih banyak “agresif dan aktif” adalah Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Gelap Nyawang merupakan sebagai pemikir dan pengatur strategi (eksekutif), sementara Kidang Pananjung lebih banyak tampil di depan dalam menyelesaikan setiap persoalan, konflik, maupun permasalahan yang dihadapi oleh Mundinglaya Dikusumah.


Menurut Jakob Sumardjo juga (2015) masyarakat Sunda itu tidak mengenal kepemimpinan tunggal apalagi otoriter. Kekuasaan itu selalu dibagi menjadi tiga, yaitu pemilik mandat, pelaksana, dan penjaga kekuasaan. Pemilik kekuasaan itu bukan pemakai atau pelaksana kekuasaan, tetapi lebih kepada sebagai pemegang restu (izin) kekuasaan.


Kepemimpinan dalam Sunda juga bersifat komunal. Semua kekuasaan harus bersifat tunggal-flural. Pemimpin kekuasaan itu berperan sebagai “isi” dan “wadahnya” adalah pelaksana kekuasaan. Hubungan pemimpin (pemilik) dan pelaksana ibarat “cangkang reujeung eusina”.


Pemimpin dan stafnya itu satu kesatuan dari isi dan wadah. Isi kepemimpian memerlukan wadah-wadah yang sepadan dengan isi. Sebaliknya, jika isi kepemimpinan itu bersifat rendah tidak sepadan dengan wadah, maka pemimpin-pemimpin akan mudah ditinggalkan oleh wadah-wadah sebagai pengikutnya.


Dari paparan di atas jelas, bahwa orang Sunda menganggap bahwa pemimpin (isi) itu sama halnya dengan pelaksana (wadah). Bagi orang Sunda, pemilik sejati kekuasaan adalah rakyat itu sendiri. Bagi masyarakat Sunda, dapat menghantarkan seseorang (siapa saja, meskipun berbeda suku, ras, kepercayaan, dan golongan) untuk menjadi pemimpin (presiden) sama halnya dengan memiliki kekuasaan. Dan inilah kiranya sebab orang Sunda dalam berpolitik itu kurang menonjolkan diri. Berpolitik bagi orang Sunda hanya sebatas partisipan saja. Bagi orang Sunda berpartisipasi dalam politik juga sama halnya dengan memiliki suara kekuasaan. 


Melihat kenyataan di atas, jalan panjang masih harus ditempuh orang Sunda untuk menjadi pemimpin nomor 1 di Indonesia meskipun tetap dihantui oleh pola pikir kebudayaannya. 


Pertanyannya, apa mungkin untuk menjadi seorang pemimpin (dalam hal ini presiden) di Indonesia orang Sunda harus meninggalkan pola pikir kebudayaan yang telah membangunnya selama berabad-abad? Kalau berani ya mesti dicoba. 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut.


Kuluwung Terbaru