Kuluwung

Kisah Haji Arni

Ahad, 18 Juli 2021 | 12:00 WIB

Kisah Haji Arni

Ilustrasi: Kompasiana

Oleh Abdullah Alawi

Di desa Hanjuang orang yang bergelar haji terbilang banyak. Tidak hanya  ajengan , pejabat, dan orang kaya saja yang pernah pergi ke tanah suci, dari kalangan masyarakat biasa pun tak mau ketinggalan. Apalagi jika para TKI yang bekerja di Arab Saudi masuk dalam hitungan.

Entah siapa yang memulainya, desa Hanjuang kemudian terkenal dengan desa haji. Orang desa luar sampai pejabat pemerintah pun menyebut demikian. Menjadi kesepakatan tak resmi. Nama Hanjuang sendiri jarang disebut-sebut, kecuali dalam urusan pencatatan di pemerintahan. 

Sebenarnya desa Hanjuang bukan desa kaya. Hasil buminya hanya dari pertanian dan perkebunan. Tapi pergi haji seolah menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Seorang Muslim harus melengkapi rukun Islam kelima, sekurangnya sekali seumur hidup. Begitu keyakinan mereka. Untuk memenuhinya, mereka rela menjual sawah, kebun, atau kerbau. Bahkan ada yang menjual rumah tanpa memperhitungkan keluarga yang ditinggalkan.

Ada suatu kepercayaan yang berkembang di masyarakat, pergi haji bukan sekadar ibadah atau tuntutan syariat. Tapi karena kebiasaan dan panggilan leluhur mereka yang bernama Ki Jabog yang kemudian terkenal dengan panggilan Mama Haji. Dialah yang mendirikan kampung Hanjuang dan kemudian menyebarkan agama Islam untuk pertama kali. Konon, suatu ketika, leluhur kampung Hanjuang itu menunaikan ibadah haji. Ketika di Masjid Nabawi, dia berdebat tentang suatu masalah agama dengan seorang syekh Arab Saudi. Keduanya tidak ada yang kalah karena dalil yang dikemukakan sama-sama kuat. Syekh itu mengakui kecerdasannya. Kemudian mereka bersahabat. 

Untuk mempererat persahabatan itu, syekh ingin berkunjung ke kampung halaman sahabat barunya. Dia berkenan menginjak tanah Hanjuang. Sesampai di Hanjuang, dia mengumpulkan seluruh warga. Kemudian berdoa supaya warga Hanjuang dan keturunannya bisa pergi ke tanah suci seperti mereka pergi ke pemandian. Ketika kembali lagi ke tanah suci, syekh membawa segenggam tanah. Entah untuk apa. Orang-orang di kemudian hari menganggap doa dan tanah itulah yang menjadi panggilan tanah suci. 

Pada tahun berikutnya, Ki Jabog pergi lagi ke tanah suci. Dia menetap beberapa lama di rumah sahabatnya. Tetapi di sana dia dipanggil ke hadirat-Nya. Ia meninggal. Kemudian dimakamkan di tempat syekh. Sejak itu, panggilan berhaji semakin kuat untuk orang-orang Hanjuang. Mereka mengatakan bahwa  menunaikan ibadah haji adalah memenuhi panggilan Ki Jabog alias Mama Haji.

Dari tahu ke tahun yang berhaji terus bertambah. Gelar haji menjadi sesuatu yang lumrah. Doa syekh begitu mujarab. Biasanya, jika seseorang sudah berhaji, dia akan mengubah nama aslinya dengan nama kearab-araban. Mengganti nama seolah menjadi rukun berhaji. Nama lokal dianggap kurang afdol jika disandingkan dengan gelar haji. Mereka menganggap Arab adalah Islam dan Islam adalah Arab. Dua nama satu pengertian. Maka banyaklah di kampung Hanjuang nama-nama yang dimulai dengan Abdul atau Dul, Muhammad atau Mad. Tapi satu hal yang kontradiktif meski haji terus bertambah, tapi ibadah yang lain biasa-biasa saja.

Saking banyaknya haji, di Hanjuang ada semacam kategorisasi haji. Bukan haji dari istilah syariat, melainkan istilah haji khas masyarakat setempat. Kategori itu adalah haji dulkahpi, haji arni dan haji soleh.

Sebab-sebab terjadinya haji dulkahpi adalah demikian. Ada seorang yang mengaku pergi haji. Dia menghilang selama hampir satu bulan dengan menjual harta orang tuanya. Suatu hari dia datang kembali ke Hanjuang dengan memakai peci putih. Tangannya memegang tasbih. Membawa buah kurma dan sebotol air. Keluarganya menyambut dengan suka cita. Pada malam harinya mereka mengadakan kenduri dengan mengundang ajengan dan tetangga. Pada saat itulah dia memperkenalkan nama barunya. 

“Saya sekarang bernama Haji Dulkahpi. Saudara-saudara bisa memanggil saya Haji Dul atau Haji Kahpi.”

Tapi pada suatu hari ke kampung Hanjuang ada seorang perempuan muda ditemani seorang lelaki tua.

“Apa betul ini desa Hanjuang yang terkenal banyak hajinya?” tanya perempuan itu pada seseorang yang duduk di beranda rumahnya.

“Iya. Tepat sekali. Ada yang bisa saya bantu?”

“Kenal sama orang yang bernama Sukarta?

“Sukarta..., Sukarta...,” kata orang itu bergumam sambil tertunduk seperti sedang mengaduk nama-nama yang dikenalnya. Kemudian ia mengangkat wajahnya.

“Oh…haji Dulkahpi. Jelas saya tahu, dong. Rumahnya tidak jauh dari sini. Belum lama pergi haji. Saya bersedia mengantar sampai halaman rumahnya.”

Kedua orang itu tertegun sebentar. Kemudian yang perempuan muda bertanya lagi, “Dia sudah berhaji?” 

“Iya, belum lama dia pulang dari tanah suci. Kira-kira dua minggu yang lalu.”

“Apa?” kedua orang berteriak hampir berbarengan, tersentak kaget seperti disengat tawon.

“Memangnya ada apa? Di Hanjuang pergi haji bukan hal aneh.”

“Saya tahu itu. Tapi dia baru dua minggu yang lalu meninggalkan saya. Saya ini isterinya. Setahun ini saya menikah dengannya. Kemudian dia pergi tanpa meninggalkan pesan.”

Orang itu hanya terbengong-bengong mendengar penjelasan itu. Kemudian dua orang itu melabrak haji Dulkahpi.

Sejak itulah Haji Dulkahpi dipelesetkan oleh orang-orang Hanjuang menjadi haji ngawadul ka Mekah teu nepi*. 

Ada pula yang disebut haji Arni. Haji ini adalah orang yang meski sudah berhaji tapi sifatnya kedekut, koret, cap jahe, buntut kasiran.  Asal-usulnya seperti ini. Ada orang yang bernama Arni. Orang terkaya di Hanjuang. Kerbaunya banyak. Kebun dan sawahnya berhektar-hektar. Satu hal yang jadi wataknya adalah pelit. Jangankan memberi pada orang lain, pada sanak keluarganya pun dia pelit. Makanan dan minuman dari pada diberikan kepada tetangganya lebih baik basi. Dia malas mengeluarkan zakat mal. Kalau tidak malu pada yang lain, zakat fitrah pun sebenarnya enggan. Buat apa zakat, wong ini harta saya. Hasil kerja keras saya. Begitu pikirnya. Yang menjadi pergunjingan masyarakat, orang kaya satu ini belum pergi haji. Padahal kalau dilihat dari kemampuannya, dia sudah nisab. Karena itulah ajengan sering menyindir dalam pengajian rutin malam Jumat. 

“Kapan nih Kang Arni memenuhi panggilan Mama Haji?”

“Nanti sajalah. Sekarang belum niat.”

Karena sering disindir dan didorong oleh seluruh keluarganya, akhirnya dia pun memaksakan diri untuk berhaji. Tak perlu menjual sawah, kebun atau kerbau karena uang simpanannya cukup banyak.
Sepulang dari tanah suci, dia mengundang tetangga dan ajengan untuk mengadakan tasyakuran. Tidak ada kurma dan air zamzam pada kenduri itu. Makanan dan minuman pun cuma seadanya. Pada waktu itu, dia menahbiskan namanya menjadi haji Barokah.

Haji Arni yang sekarang bergelar haji Barokah sifatnya tak berubah. Pelitnya semakin bertambah. Dia sekarang mulai melarang anak-anak tetangga yang biasa memetik buah jambu biji yang ada di halaman rumahnya. Jika malam hari terdengar benda jatuh dari kebun belakang rumahnya, maka dia akan terbangun kemudian keluar membawa obor. 

Suatu ketika, terjadi hujan lebat di tengah malam. Di kebunnya yang dikelilingi pagar kokoh itu terdengar suara benda jatuh. Tak lama kemudian muncullah Haji Arni dengan membawa tudung dan obor. Dia menelisik kebunnya tanpa menghiraukan hujan. Setiap inci per inci tanah tak lepas dari pandangannya. Dia seperti tentara yang mendeteksi ranjau. Tapi dia hanya menemukan batu sebesar kepala anak-anak. Dari seberang pagar terdengar suara tawa terbahak-bahak. Tahulah bahwa dia sedang dikerjai. Dan masih banyak cerita-cerita yang berhubungan dengan kepelitannya. Orang-orang umumnya hafal cerita itu. Oleh karena itulah namanya setelah naik haji tidak terkenal. Orang-orang  lebih senang menyebutnya Haji Arni. Bukan Haji Barokah. 

Setelah peristiwa di malam itu, haji Arni mengalami sakit parah. Tak lama kemudian dia meninggal. Setelah itulah haji arni menjadi istilah. Sering dipakai untuk memanggil haji atau orang yang pelit. Jika seseorang dipanggil haji dulkahfi, tidak terlalu bermasalah. Tapi kalau disebut Haji Arni ia akan mencak-mencak. Demikianlah haji Arni menjadi legenda. Namanya tetap hidup. Kisahya dijadikan cerita turun-temurun pada saat anak-anak sebelum tidur.  Mereka sangat membencinya.

Sedangkan haji Soleh adalah haji yang benar-benar taat pada ajaran agama, senang berderma, dan ramah. Haji seperti ini bisa dihitung jari di Hanjuang. Kebanyakan haji yang tak bergelar. Mereka hidup biasa-biasa saja. 

Pada tahun 65 orang-orang kampung Hanjuang tidak ada yang pergi haji. Waktu itu situasi tidak menentu. Tiba-tiba saja kategori haji bertambah. Ada haji komunis! Entah siapa yang memulainya. Jika ada haji yang termasuk kategori ini, maka hilanglah pamornya di mata masyarakat. Dan biasanya dia dibunuh tanpa diketahui sebab-sebabnya. Banyak haji yang dibunuh. Orang-orang lebih takut dipanggil hají komunis dari pada hají arni atau gelar haji yang mana pun. 

Tapi setelah tahun 65 berlalu, warga Hanjuang mulai pergi haji lagi, memenuhi panggilan Mama Haji. Istilah-istilah haji yang ada di masyarakat masih sering digunakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi mereka akan merinding apabila mendengar haji komunis. Kata komunis itu sendiri sebenarnya mereka tidak paham. Kata yang penuh darah dalam ingatan kolektif mereka.                                                                            
Ciputat, April 2006

Penulis adalah penikmat sastra. Lahir di Sukabumi, tingggal di Kabupaten Bandung.  

*Haji berbohong, tak sampai ke Makkah