• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Kota Bandung

Putusan LBMNU Jabar Terkait Hukum Serangga Karmin sebagai Pewarna Makanan dan Kosmetik

Putusan LBMNU Jabar Terkait Hukum Serangga Karmin sebagai Pewarna Makanan dan Kosmetik
Serangga Karmin ( cochineal) (Foto: AM)
Serangga Karmin ( cochineal) (Foto: AM)

Bandung, NU Online Jabar
Karmin, bahan pewarna merah alami yang kini dikenal luas, berasal dari serangga bernama cochineal yang menetap di tanaman kaktus Opuntia ficus-indica. Untuk menghasilkan karmin, serangga ini dikeringkan dan dihancurkan, lalu pigmen merahnya diekstraksi.
 

Seiring berjalannya waktu, karmin telah menjadi pewarna yang umum digunakan dalam produk makanan dan minuman selama berabad-abad. Produk-produk seperti yoghurt, permen, es krim, saus, dan minuman ringan seringkali mengandung karmin. Selain itu, karmin juga menjadi komponen umum dalam produk kosmetik, termasuk lipstik, bedak, dan pewarna rambut.
 

Dalam perjalanannya, karmin telah digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman selama berabad-abad. Saat ini, karmin banyak digunakan dalam berbagai produk makanan dan minuman, seperti yoghurt, permen, es krim, saus, dan minuman ringan. Karmin juga digunakan dalam produk kosmetik, seperti lipstik, bedak, dan pewarna rambut.


Namun, meskipun karmin memiliki sejarah penggunaan yang panjang, muncul pertanyaan tentang legalitas produk makanan dan kosmetik yang berasal dari ekstraksi serangga ini. Bagaimana pandangan hukum terhadap penggunaan karmin yang dihasilkan dari proses ekstraksi serangga tersebut?


Menurut putusan Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Barat, produk makanan dan kosmetik yang menggunakan karmin sebagai bahan pewarna alami ada dua fokus bahasan.
 

Pertama, mengkonsumsi bahan olahan makanan dan minuman yang mengandung karmin. Menurut jumhur ulama adalah haram karena najis sedangkan menurut sebagian malikiyah diperbolehkan karena suci dan halal dikonsumsi tanpa disembelih.


Kedua, menggunakan karmin di selain makanan/ minuman. Menurut jumhurul ulama syafiiyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis, sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Hanafi diperbolehkan karena dihukumi suci dan tidak membahayakan.


Dari dua bahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan karmin sebagai produk makanan atau kosmetik haram sebagaimana pendapat jumhur ulama, karena proses pengolahan serangga cochineal menjadi bahan pewarna karmin tidak dapat disebut istihalah (perubahan hakikat benda ) karena proses pengolahan sebatas merubah bentuk fisik serangga menjadi serbuk tanpa merupah hakikatnya.


Bagi umat muslim yang berhati-hati terkait hukum fiqih maka perlu menghindarinya. Namun jika ada keterpaksaan atau satu dua hal lainnya maka bisa menggunakan fatwa yang lain.


Rekomendasi untuk pemerintah
Pemerintah harus mengatur regulasi agar semua produsen menggunkan pewarna makanan, minuman, kosmetik, dan lain-lain dari bahan suci yang disepakati jumhurul ulama.


Dokumen lengkap hasil putusan LBMNU Jawa Barat unduh di sini
*Asilah terkait hukum penggunaan pewarna dari serangga karmin terdapat pada halaman 13


Kota Bandung Terbaru