• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Keislaman

Menimbang Halal Bi Halal melalui Pendekatan Ushul Fiqih

Menimbang Halal Bi Halal melalui Pendekatan Ushul Fiqih
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)

Halal bil Halal adalah tradisi yang melekat dalam kehidupan keagamaan masyarakat Muslim Indonesia. Tradisi ini rutin digelar di setiap momen Idul Fitri. Kegiatan ini sering dijadikan ajang silaturahmi, temu kangen, dan saling memohon maaf sesama saudara Muslim.


Di internal umat Islam sendiri terdapat perbedaan dalam memandang kebiasaan ini. Ada yang rutin menyelenggarakan, ada juga yang tidak, karena alasan syar'i.


Jika ditelaah secara metodologis, perbedaan ini berawal dari perbedaan metode analisis yang yang digunakan. Perbedaan yang kerap kali mewarnai keragaman pandangan fiqih.


Yang tidak setuju dengan kegiatan ini melandaskan pendapatnya pada apa yang dikerjakan nabi (fi'lun Nabi) dan yang ditinggalkan nabi (tarkun Nabi). Apa yang dikerjakan Nabi pasti baik, dan apa yang tidak dikerjakan nabi pasti tidak baik. Karena jika itu baik, niscaya sudah dikerjakan Nabi dan para pendahulu kita dari kalangan salaf.


Jika ditarik ke masa Rasulullah Saw dan tiga generasi awal, tidak ditemukan tradisi seperti yang berlaku di Indonesia. Tidak contohkan nabi, tidak pula oleh para salaf. Kira-kira itulah argumen kuat yang dibangun kaum muslim yang tidak setuju secara syar'i.


Adapun pandangan kedua, yang mengizinkan acara halal bi halal, mereka tidak berpegang kepada yang dikerjakan nabi saja, namun juga kepada kepada tuturan (qoul) dan diamnya Nabi (taqrir), karena sunah sendiri berisi qoul, af'al dan taqrir, seperti disebutkan dalam banyak literatur ushul fiqih.


Pandangan kedua ini berupaya memadukan semua dimensi sunah, baik pekerjaan nabi (sunnah fi'liyah), tuturan Nabi (sunnah qouliyah), maupun sunnah taqririyyah.


Bagi mereka, apa yang tidak dikerjakan nabi tidak lantas menjadikannya terlarang, selama didukung dalil, baik dengan perkataan Nabi, taqrir Nabi, terlebih lagi dalil Al-Qur'an.


Menurut argumen ini, membatasi sunah hanya pada fi'li atau tarku nabi bukan saja dianggap sempit, namun juga atomis dan reduksionis. Dianggap sempit karena keluasan jangkauan syariat ada pada generalitas atau keumuman dalil ('aam), baik sunah maupun Al-Qur'an.


Sedangkan generalitas hanya didapatkan pada perkataan nabi (sunnah qouliyah), tidak pada pekerjaan nabi, sejalan dengan kaidah yang sering didengungkan para ushuli.


العموم من عوارض الألفاظ
 

Dianggap reduksionis karena mereduksi sunah hanya pada tindakan nabi, padahal qoul Nabi dan taqrir Nabi bagian dari dimensi sunah. Ekses dari cara ini, metode hisab menjadi absah digunakan dalam penentuan awal bulan, meski hisab tidak pernah dicontohkan Nabi SAW.


Dari dua model pembacaan di atas, manakah hukum yang tepat atas Halal bi Halal?

Dengan menggunakan teori mushowwibah, kedua temuan ijtihad di atas sama benarnya. Hukum Allah hadir di setiap produk ijtihad. Sedangkan menurut teori mukhothi’ah, yang showab atau benar hanya satu, yang lainnya khoto’ atau keliru.


Di sini tidak sedang menyeragamkan pandangan, hanya berupaya membantu memahami posisi masing-masing dan mereka yang berbeda.  Setiap orang berhak bertahan dengan pandangannya, sebagaimana mereka berhak merevisinya. Yang mesti dirawat bersama adalah bagaimana sesama umat Islam saling memahami pandangan berbeda.


Kegagalan demi kegagalan memahami saudara Muslim yang berbeda, secara tidak langsung ikut berkontribusi melanggengkan kondisi umat Islam hari ini. Kemunduran peradaban, keterbelakangan mental, keterjajahan pemikiran, dan juga kemiskinan masih menyelimuti kondisi kaum Muslim hari ini. Wallahu a'lam

A Deni Muharamdani, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) MWCNU Karangpawitan Garut


Keislaman Terbaru