Keislaman

Dakwah dengan Hikmah

Senin, 4 November 2024 | 09:13 WIB

Dakwah dengan Hikmah

(Ilustrasi: NU Online).

Ud'u ilaa sabili rabbika bil hikmah (serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan perantara hikmah). Demikian penggalan ayat suci Al-Qur'an (QS an-Nahl [16]: 125) yang memerintahkan kepada setiap diri manusia untuk mengajak kepada jalan yang diridhai Tuhan dengan perantara hikmah/kebajikan. 


Hikmah sendiri adalah kebijaksanaan, sesuatu yang mengandung rasa cinta kasih sayang atau bijak bestari. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang berdakwah tanpa melakukan caci makian, tanpa menyudutkan pihak yang lain, serta tanpa mempermasalahkan persoalan yang sudah menjadi furu'iyah, maka sejatinya ia sudah berdakwah sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan semesta alam. 


Begitupun sebaliknya, jika masih ada pribadi manusia yang menyampaikan ilmu agama dengan penuh caci makian, hujatan, serta kedengkian kepada pihak lain, itu artinya ia belum masuk kepada kategori dakwah sebagaimana QS an-Nahl di atas sebutkan. 


Karena pentingnya menyampaikan ilmu agama dengan perantara hikmah, sampai-sampai Allah SWT dalam sebagian firman-Nya mewanti-wanti kepada kita agar tidak terjebak dalam kesombongan diri dalam hal berdakwah. 


Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka, janganlah juga kamu saling mencela satu sama lain..." (QS al-Hujurat [49]: 11). 


Bukankah keberhasilan dakwah Nabi SAW selama 23 tahun baik periode Makkah maupun Madinah itu berdasarkan cara-cara yang penuh bijaksana? Kita tentu ingat bagaimana mulianya Nabi kita, Nabi Muhammad SAW saat berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang akan dikebumikan, padahal jelas-jelas ia adalah seorang yang ingkar kepadanya. 


Ucapan Nabi "Bukankah ia juga manusia yang perlu dihormati, apalagi yang hendak mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan" menjadi satu realita bahwa dakwah Nabi penuh bijaksana. Karena dari salah satu sikapnya yang begitu mulia itulah maka tak heran dakwah Islam pada jaman Nabi begitu sangat mengesankan dan mampu membumi dengan begitu cepat dan luas. 


Kisah dimana Nabi SAW yang begitu rela terus menerus menyuapi pengemis non Muslim meskipun tahu bahwa ia membencinya juga menjadi satu dari sekian banyak dakwah Nabi yang penuh bijaksana. Dari dua contoh peristiwa ini, rasanya lebih dari cukup kita diingatkan, bahwa titik temu dan tujuan dari setiap dakwah itu adalah kemanusiaan. 


Oleh karena itu di jaman mudahnya mobilitas manusia, persinggungan lintas iman yang begitu mudah, selain tetap mendakwahkan nilai esensial agama kepada sesama komunitas iman, kita juga dituntut untuk terus mendakwahkan pentingnya dalam menjaga peradaban, kemanusiaan, dan keselamatan lingkungan antar lintas iman. Jika tidak demikian, itu artinya dalam hidup beragama kita telah menghilangkan karakteristik utama Islam dengan tidak menjadikan kebajikan (hikmah) sebagai raison d'entre-nya. 


Alhasil, kiranya inilah makna dari ayat QS ali-Imran [3] ayat 159 "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu," mesti menjadi pijakan, pegangan utama, terutama bagi para pendakwah. Wallahu'alam. 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik