Ngalogat HARI SUMPAH PEMUDA

Merawat Sumpah Pemuda, Membangun Peradaban

Senin, 28 Oktober 2024 | 13:45 WIB

Merawat Sumpah Pemuda, Membangun Peradaban

Sumpah Pemuda. (Ilustrasi: NU Online).

Bayangkan sejenak Jakarta pada tahun 1928. Ruang kongres dipenuhi anak-anak muda dari berbagai penjuru nusantara, mengenakan pakaian adat, dengan logat yang berbeda. Mereka datang jauh, menempuh lautan dan perjalanan panjang, berkumpul di satu tempat dengan satu tujuan. Dalam Kongres Pemuda Kedua ini, mereka ingin mengubah nasib bangsa. Mimpi mereka sederhana, tetapi sangat kuat: Indonesia yang satu. Di sinilah tercetuslah tiga ikrar yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa sebuah janji yang tidak sekadar mengikat tetapi membakar semangat seluruh nusantara.


Poin penting yang sering kali terlupakan dalam Sumpah Pemuda adalah semangat persatuan di tengah keragaman. Dalam kongres tersebut, para pemuda menyadari bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan. Mereka sepakat bahwa Indonesia adalah rumah bersama, di mana setiap suku, bahasa, dan budaya berkontribusi pada identitas kolektif. Konsep “satu tanah air” mencerminkan kesadaran geografis bahwa seluruh wilayah nusantara adalah tempat mereka berpijak. “Satu bangsa” menunjukkan bahwa di atas segala identitas daerah, mereka adalah satu Indonesia. Dan “satu bahasa” menjadi alat pemersatu, di mana bahasa Indonesia dijadikan media komunikasi dan identitas bersama.


Namun, perjalanan semangat pemuda Indonesia tidak dimulai dari Kongres Pemuda 1928. Sejak zaman kerajaan, seperti Majapahit dan Sriwijaya, para pemuda telah menunjukkan komitmen mereka terhadap tanah air. Salah satu contoh adalah Raden Ajeng Kartini, yang meskipun dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita, juga memperjuangkan pendidikan dan kesetaraan hak di tengah masyarakat. Ia mengirimkan surat kepada teman-temannya di Eropa, mengungkapkan harapannya untuk pendidikan yang lebih baik bagi perempuan di Indonesia. 


Selanjutnya, ada Soekarno, yang meski terkenal sebagai proklamator kemerdekaan, di masa mudanya juga terlibat aktif dalam pergerakan pemuda. Sukarno tergabung dalam organisasi Budi Utomo dan kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memperjuangkan kemerdekaan dan persatuan bangsa. Dengan retorika yang memukau, ia menyemangati generasi muda untuk tidak hanya memikirkan kemerdekaan dari penjajahan, tetapi juga tentang bagaimana membangun identitas bangsa yang kuat.


Tokoh lainnya, Kiai Haji Wahid Hasyim, adalah contoh nyata dari pemuda agamis yang berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan. Selain berperan dalam Nahdlatul Ulama, ia juga menjadi jembatan antara umat Islam dan nasionalis, mengajak umat untuk bersatu dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dalam pidato-pidatonya, Wahid Hasyim menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai agama sekaligus cinta tanah air, menciptakan harmoni antara spiritualitas dan nasionalisme.


Di zaman sekarang, tantangan pemuda telah bertransformasi. Dari perjuangan melawan penjajahan fisik, kita kini dihadapkan pada tantangan identitas, globalisasi, dan teknologi yang berkembang pesat. Keterbukaan informasi membuka ruang yang lebih luas, tetapi juga memicu kekhawatiran akan fragmentasi identitas. Pemuda di pelosok desa, misalnya, dapat merasa terasing di tengah arus modernisasi yang cepat. Namun, di situlah letak kekuatan Sumpah Pemuda yang relevan. Ini bukan hanya tentang ikrar; ini adalah panggilan untuk bertindak, menjaga nilai-nilai kebangsaan sambil beradaptasi dengan perubahan zaman.


Peran pemuda, baik dari kalangan nasionalis maupun agamis, sangat penting dalam menghadapi tantangan masa kini. Mereka diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang tidak hanya memahami sejarah, tetapi juga mampu menciptakan inovasi dan kolaborasi di tengah perbedaan. Generasi muda perlu melihat potensi mereka sebagai kekuatan dalam membangun komunitas yang inklusif, di mana nilai-nilai agama dan nasionalisme dapat bersinergi untuk menciptakan peradaban yang lebih baik. Dari pendidikan, pemberdayaan ekonomi, hingga advokasi hak-hak sosial, pemuda memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mewujudkan cita-cita luhur yang ditanamkan oleh para pendahulu.


Sebagai kesimpulan, merawat Sumpah Pemuda adalah lebih dari sekadar menjaga sejarah; ini adalah cara kita menerjemahkan nilai-nilai persatuan dan kebangsaan ke dalam realitas masa kini. Dengan menghidupkan kembali visi pemuda tahun 1928, kita memiliki fondasi yang kuat untuk membangun bangsa yang tetap utuh di tengah perubahan global. Sumpah Pemuda bukan hanya tentang masa lalu; ini adalah janji untuk masa depan. Bagi pemuda, inilah warisan yang mengajak untuk terus berkontribusi dalam membangun peradaban Indonesia yang maju, berdaya saing, dan tetap berakar.


Mari kita kenang kembali semangat para pemuda yang berjuang untuk kemerdekaan dan merefleksikannya dalam aksi kita sehari-hari. Merawat Sumpah Pemuda adalah tugas kita bersama, dan melalui tindakan nyata, kita dapat mewujudkan cita-cita luhur bangsa.


Ahmad Arip Puad Rifai, Sekretaris GP Ansor Kabupaten Tasikmalaya