• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Hikmah

KOLOM BUYA HUSEIN

Ramadhan di Pesantren: Sebuah Kenangan (1).

Ramadhan di Pesantren: Sebuah Kenangan (1).
(Ilustrasi: NU Online).
(Ilustrasi: NU Online).

Ada teman melalui WA, bertanya tentang pengalaman hari-hari pada bulan ramadhan di Pesantren. Aku menjawab: aku sudah pernah menulis di FB beberapa tahun lalu. Lalu aku melacak dan ketemu. Ini:


Saya dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren di Arjawinangun, namanya pada mulanya Pesantren Arjawinangun saja. Mengambil nama desa. Didirikan oleh kakek saya, KH. Abdullah Syathori, santrinya Hadrotusyeikh Kiai Hasyim Asy'ari, th. 1933. Kemudian ketika dipimpin putra laki-laki tunggalnya namanya berganti menjadi Pondok Pesantren Darut Tauhid, pemberian dari gurunya: Sayyid Muhammad al Alawi. Muhaddits al Ashr.


Masih terekam dalam memori otak saya, saat masih anak-anak, kala bulan Ramadhan tiba, ada dua tradisi di pesantren itu, yaitu: pertama, tradisi kiyai, mbah Syatori, membagi-bagikan bubur kepada para santri pada setiap menjelang maghrib untuk santapan buka puasa para santri. Setiap jam 4 sore, para santri mulai antri dengan tertib dan sabar di halaman pondok. Pada wajah mereka terlihat kebahagiaan. Mereka membawa piring (bukan piring beling/kaca, tetapi piring seng/logam ringan), mangkok dan lain sebagainya—tergantung kepunyaan masing-masing. Satu per satu dari mereka maju, dan pengurus pondok kemudian menuangkan bubur ke piring masing-masing.


Selain diberi bubur, mereka juga diberi sayur lodeh dan teh manis. Ini semua merupakan sedekah /shodaqoh pribadi kakek saya, bukan sumbangan dari masyarakat setempat.


Tidak seperti sekarang, dulu tidak ada kurma. Sehingga di saat "ta’jil " berbuka masyarakat di kampung lebih suka makanan tradisional. Kalau sekarang, saat hubungan Indonesia dengan negeri-negeri di Timur Tengah terjalin dengan baik dan intens, kurma bukanlah sesuatu yang langka. Di setiap tempat kita pasti menemukannya, khususnya di bulan Ramadhan, sebagai makanan nyaris ‘wajib’ untuk ta’jîl bagi sebagian kalangan.


Kedua, tradisi menabuh kentongan yang tujuannya membangunkan orang pada waktu menjelang sahur. Setiap jam, dari pukul 12 malam, kentongan itu ditabuh secara berbeda. Misalnya, pada pukul 12 ditabuh sebanyak 12 kali, pukul 1 ditabuh sekali, dan begitu seterusnya—mirip dengan lonceng yang berbunyi untuk menunjukkan waktu. Kemudian pada waktu imsak kentongan itu ditabuh sebanyak 6 kali sebagai peringatan agar orang segera menghentikan aktivitas makan.


Menariknya, kentongan itu menjadi rebutan di antara para santri. Saya sendiri, misalnya, supaya kentongan itu tidak diambil anak-anak yang lain, kadang harus memeluknya di saat sedang tidur, atau menyembunyikannya di suatu tempat. Saat waktu menunjukkan pukul 12, saya bangun dan menabuhnya dengan keras, sebanyak 12 kali. "Tung tung, tung tung". Kalau sudah begitu saya merasa gembira.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Hikmah Terbaru