Hikmah KOLOM BUYA HUSEIN

Dua Bijakbestari Agung

Jumat, 8 November 2024 | 09:07 WIB

Dua Bijakbestari Agung

Bijakbestari. (Ilustrasi: NU Online).

Aku membaca lagi buku : "Min al Balkh ila Konya" Karya Badi' al Zaman. Di dalamnya aku menemukan kisah yang sangat menarik hati yaitu pertemuan dua orang sufi master yang sangat terkenal di dunia:  Maulana Rumi dan Shadr al Din al Qunawi, penafsir gagasan " Wahdah al Wujud, Syeikh Akbar, Muhyiddin ibn Arabi. 


Suatu hari, Syeikh Shadr al-Din al-Qunawi menyampaikan pengajian di hadapan para ulama besar di rumahnya. Mereka sengaja datang ke rumah Syeikh ini untuk mengaji, menimba ilmu dan "ngalap barokah". 


Pada suatu hari yang dengan tak dinyana/tak diduga Maulana Rumi datang. Beliau ingin ikut mengaji kepadanya, meski ia sendiri adalah Syeikh sufi besar yang sangat terkenal. Melihat kedatangannya, Syeikh al-Qunawi berdiri menyambutnya. Para ulama lain mengikutinya. Maulana kemudian duduk di pojok paling belakang. Ia tidak mau melangkahi dan mengambil tempat kosong di tengah-tengah para ulama itu. Syeikh Qunawi menggelarkan sajadah untuk Maulana dan meminta dengan sungguh-sungguh agar Maulana mau duduk di atas sajadah itu. Maulana menjawab : “Tidak. Aku tidak patut duduk di atas sajadah itu. Bagaimana aku harus menjawab peristiwa ini di hadapan Allah kelak”. “Jika begitu, duduklah di atasnya bersamaku, engkau di separuh sajadah ini dan aku separuh yang lain”. Maulana tetap menolak. Syeikh Qunawai menjawab : “Jika sajadah ini tidak patut diduduki Maulana, maka ia juga tidak patut aku duduki”. Syeikh Qunawi lalu melipat sajadah itu.


Ada lagi cerita menarik tentang persahabatan dua orang besar ini. Abd al-Rahman al-Jami menceritakan: “Suatu hari Jama’ah shalat meminta Maulana menjadi Imam di sebuah masjid. Maulana menolak, karena ia tahu di situ ada Syeikh al-Qunawi. Maulana mengatakan : ”Kita para “abdal” (para santri) duduk di tempat kita sampai dan berdiri di situ. Yang patut menjadi Imam Shalat adalah sang sufi mumpuni, sambil tangannya menunjuk Syeikh Qunawi”. Keduanya saling mengajukan yang lain untuk menjadi Imam. Akhirnya al-Syeikh berdiri di depan, menjadi Imam. Maulana mengatakan kepada para jama’ah : 


من صلى خلف امام تقي فكانما صلى خلف نبي


Man Shalla Khalfa Imam Taqiyyin fa Ka Annama Shalla Khalfa Nabiyyin” (Siapa yang shalat di belakang seorang Imam yang amat saleh, maka dia seperti shalat di belakang Nabi).


Manakala Maulana menjelang pulang, Husam al-Din, murid utama Maulana, bertanya kepada Maulana : “Siapakah yang akan memimpin shalat Jenazahmu, kelak?”. Maulana menjawab : “Syeikh Shadr al-Din”.


Betapa indah perilaku dua sufi besar itu. Mereka sangat rendah hati, dan saling memberi tempat bagi yang lain. Persahabatan mereka begitu tulus. Tak terdengar kata-kata dan ekspresi tak sedap didengar dan dilihat. 


Aku mengatakan itulah sufi sejati. Langkah-langkah  dan cara hidupnya mengikuti Nabi : Bersahaja, Rendah Hati, Santun, Pemurah dan menyayangi semua manusia. 


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU