Hikmah KOLOM BUYA HUSEIN

Apa, Mengapa dan Untuk Apa? 

Rabu, 7 Februari 2024 | 08:00 WIB

Apa, Mengapa dan Untuk Apa? 

Apa, Mengapa dan Untuk Apa? 

Suatu hari aku diminta bicara di hadapan para ulama perempuan dalam sebuah Workshop Mubadalah. Aku menyampaikan antara lain; "Kita sering menerima begitu saja dan mengamini sebuah pernyataan teks sakral secara tekstual, apa adanya". 


Nah, menurutku: "Bila kita membaca pernyataan hukum/keputusan dalam sebuah teks, apapun ia : Al-Qur'an, Hadits Nabi atau kata-kata ulama Mujtahid atau yang lain, maka seyogyanya kita tidak berhenti pada pernyataan itu. Tetapi bertanyalah mengapa demikian dan untuk apa demikian". 


Misalnya: 


"Laki-laki adalah pemimpin". "Laki-laki harus jadi pemimpin".
"Sebuah bangsa tidak akan sukses jika dipimpin seorang perempuan". 
" Nafkah itu kewajiban suami".
"Perempuan gadis kalau menikah harus ada wali. Ia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri".
"Perempuan kalau bepergian jauh harus ditemani mahramnya". dan sebagainya. 


Bagaimana kalau laki-laki?


Imam al-Amidi, ahli ushul fiqh besar, mengatakan :


لا يجوز القول بوجود حكم لا لعلة اذ هو خلاف اجماع الفقهاء على ان الحكم لا يخلو من علة" (الاحكام فى اصول الاحكام, 3/380).


"Tidak boleh ada hukum tanpa alasan rasional. Karena bertentangan dengan ijma/kesepakatan ulama ahli fiqh bahwa hukum tidak lepas dari illat (logika) nya".


وقال ايضا : أن أئمة الفقه مجمعة على ان أحكام الله لا تخلو من حكمة ومقصود" (الاحكام فى اصول الاحكام, 3/411).


"Para ulama juga sepakat bahwa setiap hukum Allah tidak lepas dari hikmah (kebaikan kemanusiaan) dan tujuan". 


Tujuan hukum itu adalah kemaslahatan umum, kebaikan/ kepentingan sosial, kesejahteraan publik, meniadakan kekerasan dan konflik sosial. 


Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU