Suatu hari aku diminta bicara di hadapan para ulama perempuan dalam sebuah Workshop Mubadalah. Aku menyampaikan antara lain; "Kita sering menerima begitu saja dan mengamini sebuah pernyataan teks sakral secara tekstual, apa adanya".
Nah, menurutku: "Bila kita membaca pernyataan hukum/keputusan dalam sebuah teks, apapun ia : Al-Qur'an, Hadits Nabi atau kata-kata ulama Mujtahid atau yang lain, maka seyogyanya kita tidak berhenti pada pernyataan itu. Tetapi bertanyalah mengapa demikian dan untuk apa demikian".
Misalnya:
"Laki-laki adalah pemimpin". "Laki-laki harus jadi pemimpin".
"Sebuah bangsa tidak akan sukses jika dipimpin seorang perempuan".
" Nafkah itu kewajiban suami".
"Perempuan gadis kalau menikah harus ada wali. Ia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri".
"Perempuan kalau bepergian jauh harus ditemani mahramnya". dan sebagainya.
Bagaimana kalau laki-laki?
Imam al-Amidi, ahli ushul fiqh besar, mengatakan :
لا يجوز القول بوجود حكم لا لعلة اذ هو خلاف اجماع الفقهاء على ان الحكم لا يخلو من علة" (الاحكام فى اصول الاحكام, 3/380).
"Tidak boleh ada hukum tanpa alasan rasional. Karena bertentangan dengan ijma/kesepakatan ulama ahli fiqh bahwa hukum tidak lepas dari illat (logika) nya".
وقال ايضا : أن أئمة الفقه مجمعة على ان أحكام الله لا تخلو من حكمة ومقصود" (الاحكام فى اصول الاحكام, 3/411).
"Para ulama juga sepakat bahwa setiap hukum Allah tidak lepas dari hikmah (kebaikan kemanusiaan) dan tujuan".
Tujuan hukum itu adalah kemaslahatan umum, kebaikan/ kepentingan sosial, kesejahteraan publik, meniadakan kekerasan dan konflik sosial.
Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU