• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 13 Mei 2024

Hikmah

5 Sifat dan Karakter Mulia Nabi Muhammad SAW dalam Ayat 128 Surat At-Taubah

5 Sifat dan Karakter Mulia Nabi Muhammad SAW dalam Ayat 128 Surat At-Taubah
5 Sifat dan Karakter Mulia Nabi Muhammad SAW dalam Ayat 128 Surat At-Taubah (Ilustrasi: AM)
5 Sifat dan Karakter Mulia Nabi Muhammad SAW dalam Ayat 128 Surat At-Taubah (Ilustrasi: AM)

Rabiul Awal merupakan bulan mulia diantara bulan-bulan yang ada dalam penanggalan hijriyah, karena pada bulan tersebut telah terjadinya peristiwa istimewa telah lahirnya nabi terakhir yang diutus oleh Allah kepada umat manusia yaitu Nabi Muhammad Saw.


Pada ayat 128 Surat At-Taubah Allah Swt menggambarkan beberapa poin, sifat, dan karakter mulia nan agung yang terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW yang perlu diketahui umatnya agar menambah kecintaan dan menjadi teladan atas sosoknya yang mulia.


لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بالمؤمنين رَءُوفٌ رَّحِيمٌ   


Artinya, “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman” (QS. At-Taubah [9]: 128).


Pada ayat di atas, Allah swt menggambarkan beberapa poin, sifat, dan karakter mulia nan agung yang terdapat dalam diri Nabi Muhammad, yaitu; (1) min anfusikum; (2) azizun; (3) harishun; (4) raufun; dan (5) rahimun.   


Melansir NU Online, berikut uraian lima poin tersebut dijelaskan oleh Ustaz Sunnatullah, Pengajar Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.


Pertama, min anfusikum (dari kaummu sendiri). 
Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya mengatakan, ayat ini menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan Allah yang sama-sama manusia biasa, sebagaimana manusia pada umumnya. Hal ini perlu ditegaskan untuk menepis anggapan sebagian orang yang menganggap bahwa ia berasal dari jenis malaikat, sehingga semua tapak-tilasnya tidak bisa dijadikan teladan.  


Selain itu, untuk menegaskan kembali, bahwa meski seyogianya dilahirkan dari Suku Quraisy dengan kebangsaan Arab, ia tidak lantas menjadi nabi khusus bagi orang-orang Arab. Sebab, diutusnya baginda nabi untuk semua umat manusia. (Syekh Mutawalli, Tafsirul Khawathir lisy Sya’rawi, juz I, halaman 593).   


Imam Abul Fida’ Ismail bin Umar ibn Katsir ad-Dimisyqi (wafat 774 H) dalam tafsirnya memiliki pandangan yang berbeda dengan penafsiran di atas. Menurutnya, penggalan ayat di atas memiliki makna dari bangsa Arab. Dengan demikian, secara tidak langsung orang-orang Arab mengetahui sifat, karakter, nasab, amanah, sopan dan berbagai karakter serta sifat-sifatnya.   


Oleh karenanya, menurut Ibnu Katsir, tidak sepatutnya masyarakat Arab mengingkari risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sebab, semuanya sudah tahu dan sangat jelas, bahwa nasabnya berada pada garis keturunan yang mulia dan luhur, kepribadiannya sangat agung, akhlaknya sangat terpuji, orangnya sangat berhati-hati, selain itu juga amanah dan tidak pernah berbohong, menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quranul Adzim, [Daruth Thayyibah, cetakan kedua: 1999, tahqiq: Syekh Salamah], juz IV, halaman 241).   


Kedua, azizun (berat terasa olehnya). 
Potongan ayat ini menjadi sebuah bukti betapa besarnya cinta Nabi Muhammad kepada umatnya. Semua kesengsaraan, kesusahan, kepayahan dan musibah-musibah lain yang dirasakan umatnya, turut dirasakan Rasulullah. Bahkan, sebelum semua musibah dan derita itu dirasakan oleh mereka, ia sudah merasakan terlebih dahulu.   


Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi (wafat 1270 H), dalam tafsirnya mengatakan, semua beban dan kesengsaraan yang dirasakan oleh umatnya, juga menjadi beban kepada Rasulullah. Dengan lain, semua penderitaan dan kesengsaraan yang dirasakan umatnya, juga dirasakan dan menjadi kesengsaraan bagi Rasulullah.   


Menurut Syekh Sahal, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Al-Alusi, yang dimaksud dengan kata di atas, adalah Rasulullah tidak bisa untuk berusaha melupakan umatnya meski sekejap mata. Yang ada dalam pikirannya hanyalah tentang umatnya. Ia selalu berpikir nasib dan takdir mereka kelak. Dengan pikiraan tersebut, ia merasakan penderitaan yang sangat berat dan hidup tidak tenang. (Syekh Al-Alusi, Ruhil Ma’ani fi Tafsiril Quranil Azim was Sab’il Matsani, [Bairut, Darul Kutub, cetakan pertama: 2005, tahqiq: Syekh Ali Abdul Bari], juz VII, halaman 417).


Tidak hanya itu, Rasulullah juga mengemban amanah untuk berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam, ia tak henti-hentinya disibukkan dengan urusan umatnya. Bahkan, ia sangat jarang memperhatikan keluarganya demi umatnya. Dan yang paling urgen adalah penderitaan berat dirasakan olehnya dalam mengurus umat tidak hanya di dunia, di akhirat pun juga demikian.   


Menurut Syekh Mutawali Asy-Sya’rawi, ketika para nabi sibuk mengurus nasib mereka satu persatu pada hari kiamat, terik matahari yang begitu panas, api neraka yang berkobar, hisab amal kebaikan dan keburukan yang tak kunjung selesai, membuat para nabi lupa dan cenderung acuh pada umatnya, mereka sama-sama mengurus nasib mereka sendiri.   


Di waktu yang bersamaan, semua manusia dalam posisi takut dan mengalami derita yang sangat luar biasa, tangisan terdengar di mana-mana, penyesalan untuk memohon ampunan sudah tidak ada guna. Saat itu, tidak ada satu orang pun yang berpikir perihal orang lain, masing-masing mereka sibuk dengan dirinya masing-masing, semua manusia mondar-mandir untuk mencari pertolongan kepada para nabi, namun para nabi saat itu tidaklah sanggup menolong umatnya, semua sibuk dengan dirinya bahkan rasa takut akan azab Allah juga ada dalam jiwa-jiwa mereka.   


Akan tetapi, hal itu tidak dengan Rasulullah. Di tengah panasnya matahari dan kobaran api Neraka yang terus membesar, ia justru bersujud kepada Allah dengan berkata “Allahumma ummati, ummati, ummati-Ya Allah, umatku, umatku, umatku” sambil menangis. Melihat Rasulullah menangis dalam keadaan bersujud, Allah berkata kepada Malaikat Jibril, “Pergilan kepada Muhammad, kemudian tanyakan, apa penyebab ia menangis.”   


Seketika itu malaikat Jibril langsung pergi untuk mendatangi dan menanyakan alasan Rasululah di balik keinginan dalam sujud dan tangisannya, ia menjawab, “Allah lebih tahu penyebab semua ini.”   


Mendengar jawaban Rasulullah, Jibril langsung menuju Allah swt untuk menyampaikan jawabannya. Setelah disampaikan, Allah berkata keada Jibril,


   فَقَلَ: إِنَّا سَنُرْضِيْكَ فِي أُمَّتِكَ وَلَا نَسُوْؤُكَ   


Artinya, “Sungguh, Kami (Allah) akan membuatmu ridha dalam masalah umatmu, dan Kami tidak akan menyakitimu.” (Syekh Mutawalli, Tafsirul Khawathir lisy Sya’rawi, juz I, halaman 593).


Jika diangan-angan, pada saat yang begitu mencemaskan, untuk kemudian menuju Surga sebagai tempat penuh nikmat dan anugerah dan Neraka yang menjadi tempat penuh siksa dan malapetaka, Nabi Muhammad merupakan satu-satunya nabi yang melupakan dirinya demi umatnya, bahkan lebih sibuk mengurus umatnya daripada dirinya.   


Ketiga, harishun (sangat menginginkan keimanan). 
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain at-Taimi, atau yang dikenal dengan julukan Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H), dalam kitab tafsirnya mengatakan, potongan ayat di atas memiliki arti bahwa dalam diri Rasulullah terdapat keinginan yang sangat tinggi untuk bisa memberikan kebaikan kepada semua umat manusia, dan membersihkan segala kesyirikan dalam diri mereka.   


Semangat yang sangat tinggi dalam mengajak manusia untuk memeluk ajaran Islam sangat tampak dari berbagai sepak terjangnya yang ia lewati. Misalnya, ketika rintangan datang silih berganti, permusuhan, fitnah yang bertebaran, serangan dan ancaman yang selalu berdatangan, tidak lantas mempengaruhi semangatnya dalam berdakwah dan melakukan upaya untuk menunjukkan jalan yang benar kepada semua manusia. (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Bairut, Darul Ihya’, cetakan ketiga: 2000], juz XVI, halaman 178).   


Keempat dan Kelima, raufun rahimun (penyantun dan penyayang). 
Setelah pribadi Nabi Muhammad disebutkan sebelumnya, pada penutup ayat terakhir, Allah menegaskan bahwa ia merupakan nabi dan rasul yang sangat santun dan penyayang. Hal ini tidak lain kecuali sebagai pengejawantahan paling tepat sebagai representasi dari pribadinya sebagai manusia penebar kasih sayang dan kedamaian.   


Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (wafat 516 H), dalam tafsirnya mengutip salah satu pendapat ulama bahwa kasih sayang dan sikap santun Rasulullah tidak hanya kepada umat Islam yang taat saja, sebab hal itu sudah menjadi aturan dalam ajaran Islam yang dibawanya, lebih dari itu, ia juga memiliki sikap yang sangat penyayang dan santun meski kepada orang-orang ahli maksiat. Imam al-Baghawi mengatakan,


   قِيْلَ رَؤُوْفٌ بِالْمُطِيْعِيْنَ رَحِيْمٌ بِالْمُذْنِبِيْنَ   


Artinya, “Dikatakan (bahwa Rasulullah) penyantun kepada orang-orang yang taat, dan penyayang kepada orang-orang yang berdosa.” (Imam al-Baghawi, Tafsir Ma’alimut Tanzil, [Bairut, Daruth Thayyibah, cetakan keempat: 1997, tahqiq: Syekh Muhammad Abdullah], juz IV, halaman 115).   


Selain itu, dalam tafsir yang lain, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi mengutip salah satu riwayat yang menjelaskan perihal sifat-sifat Rasulullah, bahwa ia bukanlah pribadi yang keji dan berbuat keji. Ia tidak pernah berteriak di pasar, ia (juga) tidak membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan berlapang dada. (Syekh Mutawalli, Tafsir Asy-Sya’rawi, juz I, halaman 5023).   


Hikmah Terbaru