• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Ekonomi

Mengkorporasikan atau Mengkoperasikan Smallholder

Mengkorporasikan atau Mengkoperasikan Smallholder
Presiden Joko Widodo bersama petani jagung di Papua. Perhatian presiden ini harus diimplementasikan pada kebijakan yang bisa mengangkat petani kecil agar jadi lebih besar, kuat, dan mandiri (Foto: Agus Suparto/FB Presiden Joko Widodo)
Presiden Joko Widodo bersama petani jagung di Papua. Perhatian presiden ini harus diimplementasikan pada kebijakan yang bisa mengangkat petani kecil agar jadi lebih besar, kuat, dan mandiri (Foto: Agus Suparto/FB Presiden Joko Widodo)

Oleh Rumekso Setyadi 
Kita mempunyai smallholder (petani kecil) atau lebih luas Small Medium Enterprice (Usaha Kecil Menengah) yang begitu banyak 64,19 juta jumlahnya. Termasuk di sini adalah petani kecil dan industri kecil menengah (IKM). Banyaknya smallholder ini menyerap total 117 juta orang tenaga kerja. Smallholder ini di satu sisi adalah penyangga dari sektor pekerjaan yang belum bisa disediakan negara ataupun industri besar. Tapi di sisi lain ini menjadi ancaman karena sebagian besar atau mayoritas adalah usaha subsistem. Begitu ada sedikit goncangan maka bisa berubah jadi beban karena masuk dalam kategori rakyat miskin.

Contoh hari ini dengan pendemi Covid-19, smallholder dan SMElah yang paling kena dampak, karena pasar lokal terguncang oleh pembatasan-pembatasan. Selama ini pendekatan untuk smallholder seolah bisa dijawab hanya dengan soal finance, kebijakan afirmasi lainnya, bimbingan teknis dan pendekatan lain yang hanya bersifat hit and run, hanya untuk memenuhi kebijakan penyerapan anggaran, tanpa bisa diukur tingkat keberhasilan program dalam jangka waktu tertentu.

Menurut saya, harus ada kebijakan yang tidak hanya afirmasi dan dukungan finansial atau akses pasar yang sudah banyak dilakukan. Perlu juga untuk dipikirkan bagaimana melakukan korporasi smallholder atau "holding" para smallholder ini. Mungkin ini konsep yang terlalu mengada-ada, tetapi ke depan kita harus mengurangi smallholder dengan meng-upgradenya menjadi minimal usaha menengah. Smallholder ini mempunyai semua keterbatasan, baik itu kapasitas, modal, sumberdaya manausia, lahan produksi, pasar, dan yang lain. Keterbatasan-keterbatasan ini harus "disatukan" dengan menggabungkannya, misal smallholder yang mempunyai kesamaan produk, mereka yang mempunyai lahan terbatas, bisa bergabung untuk memperluas lahan yang bisa digarap, ditanami dan dikelola. Kumpulan ini bisa membentuk korporasi menjadi perusahaan atau koperasi. Korporasi atau koperasi ini kemudian membentuk managemen untuk mengatasi keterbatasan-keterbatan yang dialami smallholder seperti di atas. Biaya managemen ini dibayar oleh keuntungan aksi atau usaha korprasi atau koperasi, sisanya adalah SHU smallholder kalau itu koperasi atau deviden kalau itu korporasi 

Syarat dari korporatisasi atau pengkoperasian ini membutuhkan literasi soal bisnis dan industri pada para pelaku smallholder. Sehingga mereka sadar berusaha apakah akan seterusnya subsisten dan apabila ada gejolak sedikit kemudian jatuh pada kubangan kemiskinan, menjadi kelompok miskin baru? Harus dilakukan assesment bisnis smallholder pada tiap-tiap pelaku usaha sehingga mereka bisa menyadari dalam tata niaga dan tata usaha komoditas ini mereka sebenarnya ada di mana? Pelaku smallholder ini ternyata rentan dan berada pada wilayah yang di ujung ketidakadilan tata usaha. Di situlah kemudian bisa dibangun kesepakatan untuk berkoperasi atau membentuk "holding" smallholder menjadi korporasi. Karena kalau tidak "menaikkelaskan" smallholder, standarisasi apapun tidak akan bisa dianggap menguntungkan bagi mereka. Karena standarisasi justru dianggap "beban". Padahal standarisasi ini adalah keharusan kalau kita mau berada di rantai pasok global. Persis seperti yang dialami sektor kehutanan dengan Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) belum menjadi "milik" smallholder maupun IKM. Dianggap menjadi "beban" karena menambahi pekerjaan. Begitu pula dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi smallholder di bidang sawit.

Sertifikasi pada komoditas pangan dan agroindustri yang lain akan berujung sama, apalagi dalam setiap sertifikasi ada modal yang harus dikeluarkan. Afirmasi yang sudah dilakukan pemerintah maupun donor untuk memfasilitasi IKM dan smallholder untuk dapat sertifikasi apabila mereka berkelompok sebenarnya bisa menjadi entry point untuk manaikkelaskan smallholder. Karena persyaratan untuk memperoleh sertifikasi bagi smallholder adalah berkelompok, tetapi sayangnya itu hanya menjadi instrument saja, cara untuk mendapatkan sertifikasi dan standarisasi di smallholder. Harusnya ini justru menjadi titik masuk untuk membuat korporasi atau koperasi smallholder. Tetapi janganlah sertifikasi atau standarisasi yang jadi output. Outputnya justru korporasi atau koperasi smallholder ini. Polanya tentu saja setelah berkelompok mereka harus mendapatkan pendampingan dan juga peningkatan pengetahuan dan kapasitas dalam bisnis dan industri. Dari soal perluasan lahan kebun atau tempat produksi, peningkatan manajemen bisnis peningkatan skill market, update dengan tehnologi produksi, research and development, juga pengetahuan tentang investasi atau finance.

Pada saatnya kalau smallholder ini naik kelas, maka pemerintah atau donor tidak perlu memberikan afirmasi tiap tahun dengan membiayai terus-terusan, karena standarisasi dan sertifikasi sudah menjadi alat pemasaran sekaligus menjadi bagian dalam bisnis korporasi atau koperasi ini. Kuncinya adalah kemauan kita untuk mau menaikkelaskan para smallholder ini tentu saja diimplemtasikan dalam kebijakan yang memang mendorong dan menciptakan ekosistem smallholder untuk naik tingkat. Tentu saja ini butuh kerjasama multi sector di pemerintah, misal KLHK, Kementan, Kemendag, Kemenlu sebagai pelobi negara-negara Eropa, Inggris, Amerika yang peduli pada meningkatnya kapasitas smallholder di negara dunia ketiga, karena produksi negara-negara inilah yang dikonsumsi oleh mereka, seperti coklat, kopi, CPO, kayu, dan lain-lain, yang mengharuskan persayaratan standarisasi atau sertifikasi.

Penulis adalah Direktur PT Interface Bisnis Indonesia
 


Editor:

Ekonomi Terbaru