Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Obituari

Di Tugu Proklamasi, Sejuta Lilin Duka atas Kepulangan Gus Dur Berpendar

Di Tugu Proklamasi, Sejuta Lilin Duka atas Kepulangan Gus Dur Berpendar

Lihatlah, latar Tugu Proklamasi, di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, sore itu, 31 Desember, tiba-tiba temaram dan memperlihatkan wajah sendu dan muram. Langit jingga segera memasuki kamar berganti baju hitam. Tak ada lagi keriangan dan hiruk-pikuk berselfi ria sebagaimana sore-sore sebelumnya. Tak ada anak-anak saling berkejaran dengan riang. Bahkan langit sore itu kemudian menurunkan hujan rintik-rintik, mengiringi para pecinta Gus Dur yang datang satu-satu ke tempat itu.


Tetesan-tetesan air hujan itu tak mampu menghalangi mereka untuk hadir di sana. Di saku mereka terselip lilin yang kelak siap dinyalakan. Di beberapa sudut ada spanduk bertuliskan: ”Sejuta Lilin Duka Lintas Iman untuk Gus Dur”.


Mereka yang hadir malam itu mengenakan baju keyakinan yang berwarna-warni, bagai pelangi, atau aneka warna bunga. Oh indah sekali. Mereka berbaur dalam persaudaraan yang akrab. Para tokoh itu di antaranya sahabat-sahabat Gus Dur: Ulil Abshar Abdalla, Djohan Effendi, Pendeta Albertus Pati, Romo Beni Susetya, BM Billah, Todung Mulya Lubis, Syafii Anwar, Sudhamek dan lain-lain. Ketika kemudian lilin-lilin dinyalakan satu satu, latar Tugu itu kini berubah dan berganti wajah, menjadi terang benderang, langit memancarkan cahaya yang menembus bumi, meski hujan masih turun.


Baca Juga:
Gus Dur Sang Nasionalis


Semua yang hadir itu menunduk, khusyuk, berdo’a ke Hadirat Yang Maha Esa, dengan nama, sebutan-Nya dan bahasa yang berbeda-beda, untuk beliau yang mereka cintai : Gus Dur. Orang-orang yang paling rasional dan mungkin tak pernah taat dalam ritual-ritual agama atau kepercayaan, tiba-tiba hanyut dalam emosi melankoli tak terkendali, terisak-isak, termangu dan menunduk begitu khusyuk. Logika rasional tiba-tiba membeku dihadapan realitas kematian bapak bangsa dan bapak pluralisme itu.


Fakta kematian manusia memang membingungkan dan mencemaskan para filsuf. Mereka tak lagi mampu menjawab misteri kematian ini. Mengapa ada kematian?.


Seorang filsuf Arab, beraliran Ekstensialisme Abdurrahman Badawi bilang ;


Baca Juga:
Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (1)


بالصدفة اتينا الى هذا العالم وبالصدفة اغادر هذا العالم


"Tanpa kehendak kita, kita datang di dunia ini dan tanpa kehendak kita pula, kita meninggalkan dunia ini"


Selamat Jalan Gus Dur. Terima kasih. Engkau telah memberi kami kedamaian.


Baca Juga:
Dialog Pergerakan PMII STAI Al-Masthuriyah, Gus Farhan: Menyamakan Persepsi Adalah Kunci untuk Capai Tujuan Organisasi


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU

Editor: M. Rizqy Fauzi

Artikel Terkait