Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Hikmah

Mayoritas VS Keadilan

Mayoritas VS Keadilan.

Bagaimana kita harus memutuskan jika dihadapkan pada suatu masalah dengan dua pandangan yang berbeda atau kontradiktif. Dalam hal ini misalnya antara pendapat mayoritas (orang banyak) tapi tidak adil (atau dipandang tidak adil), dan pendapat minoritas tetapi adil (atau dipandang adil?). Bagaimana para ulama Islam menjawab pertanyaan ini?


Ilkiya al Harasi, seorang mujtahid terkemuka dalam mazhab Syafi’i mengatakan bahwa persoalan ini selalu diperdebatkan para ulama. Sebagian mendukung pendapat pertama. Yakni mengunggulkan pendapat mayoritas daripada pendapat tunggal /minoritas, meskipun adil.


Mereka mengatakan bahwa pendapat mayoritas itu sama atau lebih dekat dengan “khabar” (berita) yang ‘mustafidh’. Yakni kebenaran yang disetujui oleh banyak orang (mayoritas). Pendapat mayoritas tidak mungkin keliru, atau sesat, kata mereka. “yadullah ma’a al-Jama’ah” (Tuhan bersama mayoritas). 


Baca Juga:
KH Said Aqil Siroj: Pesantren, Benteng Kokoh Perkuat Persatuan NKRI


Sementara yang lain menolak. Mereka mengunggulkan pendapat yang adil meskipun sedikit daripada pendapat mayoritas. Mereka mengatakan bahwa banyak fakta yang menunjukkan bahwa para sahabat lebih mengutamakan pandangan Abu Bakar al Shiddiq dibanding pandangan kebanyakan orang.  


Pendapat Umar bin Khattab lebih diunggulkan daripada pendapat mayoritas. Pandangannya tentang harta rampasan perang yang tidak lagi dibagikan kepada para tentara yang ikut perang pada akhirnya lebih dipilih para sahabat yang lain, meskipun semula ditentang banyak orang karena dianggap menentang keputusan Nabi Saw, yang mengacu kepada teks suci Al-Qur’an.


Umar berargumen : “Jika harta itu seluruhnya dibagikan kepada mereka (para tentera perang), maka bagaimana nasib masa depan rakyat kita?”.


Umar lalu mengutip ayat al-Quran : “li kayla yakuna dulatan baina al aghniya minkum” (supaya kekayaan tidak beredar dikalangan orang-orang yang kaya saja). Pendirian Umar ini tentu saja dalam rangka mewujudkan keadilan sosial  secara lebih luas sebagaimana yang dicita-citakan Nabi Saw dan demi masa depan bangsa. 


Baca Juga:
Bulan Shafar


Mazhab Hanafi mendukung pandangan kedua ini, yakni mengunggulkan keadilan bukan mayoritas  :


لا يجوز الترجيح بكثرة الأَدلة عندنا، فإِذا كان في أَحدِ الخبرين المتعارضين كثرةُ الرواة، وفي الآخر قلَّتُها: لم يترجَّح أَحد الخبرين على الآخر بهذه المزية، لأَن المعتبر في هذا الباب العدالة ، فكم من جماعةٍ قليلة عادلةٍ أَفضل من فئة كثيرة عاصية.


“Dalam pandangan kami, kita tidak boleh menunggulkan sesuatu hanya karena banyaknya dalil. Bila ada informasi (khabar/hadits) dari nabi yang saling bertentangan, dimana  yang satu diriwayatkan oleh banyak orang, dan yang satu lagi diriwayatkan oleh sedikit orang, maka kita tidak bisa mengunggulkan berita (hadits) atas dasar jumlah (kuantitas) perawi. Yang menjadi pedoman kita adalah keadilan. Betapa banyak sekelompk kecil yang adil,lebih utama daripada sekelompok besar orang tetapi maksiat”.


Al-Qur’an menyampaikan kepada kita bahwa banyak fakta di mana golongan kecil/sedikit dapat mengalahkan golongan besar/banyak, berkat izin Allah : 


Baca Juga:
Shalawat Nariyah; Arab dan Terjemahan Lengkap dengan Keutamaannya


كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإذْنِ اللَّهِ واللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (البقرة, 249)


"Berapa sering terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."


Ada banyak contoh mengenai persoalan ini. Dalam soal perempuan sebagai hakim, mayoritas ulama mazhab tidak membolehkan. Abu Hanifah hanya membolehkan untuk menangani kasus perdata. Dan hanya Ibnu Jarir yang membolehkan mengadili kasus apa saja, perdata maupun pidana. Hari ini kita meligat dengan nyata telah banyak hakim perempuan baik di pengadilan umum maupun pengadilan agama. Perempuan tidak kalah cerdas dan berani dalam memutuskan masalah. 


Baca Juga:
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Sunnah Lidaf’il Bala pada Hari Rebo Wekasan


Kita juga melihat dengan jelas fakfa sejarah. Selama berabad-abad mayoritas ulama fiqh tidak membolehkan (mengharamkan) perempuan menjadi pemimpin politik atau pengambil kebijakan publik, sebagai presiden atau perdana menteri, gubernur, Bupati/Walikota dan seterusnya. Tetapi dewasa ini sudah banyak ulama yang membolehkannya dan fakta politik di beberapa negara dengan penduduk mayoritas muslim telah memiliki presiden atau perdana menteri perempuan.


Bagaimana dengan pemimpin non muslim yang adil?.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU

Editor: M. Rizqy Fauzi

Artikel Terkait