• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Ubudiyah

Penjelasan Ulama Terkait Selamatan Pulang Haji

Penjelasan Ulama Terkait Selamatan Pulang Haji
Penjelasan Ulama Terkait Selamatan Pulang Haji (Foto: ig kemenag_ri)
Penjelasan Ulama Terkait Selamatan Pulang Haji (Foto: ig kemenag_ri)

Tidak semua orang mampu melaksanakan rukun iman yang kelima, yakni ibadah haji di tanah suci. Ibadah tersebut adalah ibadah wajib bagi yang mampu, baik secara fisik maupun finansial, dan bagi orang yang dipanggil oleh Allah Swt.


Dinasibkannya manusia bisa berangkat ke tanah suci perlu di syukuri, dan ini dianjurkan oleh para ulama, mensyukuri nikmat atas kehendak Allah yang menghendaki hambanya bertamu. Tasyakuran tersebut lazimnya dilakukan oleh jamaah haji sebelum keberangkatan ke tanah suci, yang disebut dengan selamatan atau walimatussafar lil hajj.


Tidak hanya tasyakuran saat mau berangkat haji, jamaah juga dianjurkan selamatan ketika sudah pulang haji. Mengutip Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Hasyiyah Ibnu Hajar alal Idhah, jamaah haji yang baru saja pulang dianjurkan untuk berbagi makanan dengan tetangga dan orang-orang miskin. Selamatan dengan berbagi rezeki untuk menyambut kedatangan orang dari perjalanan jauh
ini dinamakan naqi‘ah. 


فرع) يسن لنحو أهل القادم أن يصنع له ما تيسر من طعام ويسن له نفسه إطعام الطعام عند قدومه للاتباع فيهما وكلاهما كما يفيده كلام الفراء وابن سيده سمي نقيعة بفتح النون وكسر القاف وفتح العين المهملة


Artinya, “Keluarga jamaah haji dianjurkan membuatkan bagi jamaah haji yang pulang makanan yang mudah pengolahannya. Jamaah haji sendiri juga dianjurkan untuk berbagi makanan ketika pulang dari perjalanan haji berdasarkan sunnah perihal keduanya. Keduanya sebagaimana diinformasikan oleh Al-Farra dan Ibnu Sayyidih. (Walimah sederhana) ini dinamai ‘naqi‘ah’ dengan nun fathah, qaf kasrah, dan ‘ain fathah dibiarkan,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Hasyiyah Ibnu Hajar alal Idhah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 248).


Pihak yang menyediakan hidangan dalam selamatan ini adalah jamaah haji sendiri atau orang lain sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abu Zakariya Al-Anshari.


وَلِلْقُدُومِ) مِنْ السَّفَرِ (نَقِيعَةٌ) مِنْ النَّقْعِ وَهُوَ الْغُبَارُ أَوْ النَّحْرُ أَوْ الْقَتْلُ (وَهِيَ مَا) أَيْ طَعَامٌ (يُصْنَعُ لَهُ) أَيْ لِلْقُدُومِ سَوَاءٌ أَصَنَعَهُ الْقَادِمُ أَمْ صَنَعَهُ غَيْرُهُ لَهُ كَمَا أَفَادَهُ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ فِي آخِرِ صَلَاةِ الْمُسَافِرِ


Artinya, “(Untuk kenduri sambutan kedatangan) dari perjalanan (disebut naqi‘ah) berasal dari naqa’ yang artinya debu, penyembelihan, atau
pemotongan. (Naqi‘ah itu suatu) makanan (yang dihidangkan dalam jamuan upacara penyambutan) terlepas dari jamuan itu disediakan oleh pihak yang datang atau orang lain. Hal ini disebutkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ di akhir bab shalat musafir,” (Lihat Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatit Thalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz XV, halaman 407).


Selamatan sepulang perjalanan haji merupakan sebuah perjalanan yang layak diadakan walimah atau selamatan. Pasalnya, perjalanan jemaah haji Indonesia menempuh jarak yang tidak pendek, bukan perjalanan dekat.


Ulama Syafi’iyah memberikan batasan terkait perjalanan seperti apa yang dianjurkan untuk diadakan selamatan penyambutan atau naqi‘ah. Kalau hanya perjalanan dekat ke tepi kota atau lintas provinsi yang tidak jauh, kita tidak dianjurkan untuk mengadakan selamatan penyambutan. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami sebagai berikut ini.


وَأَطْلَقُوا نَدْبَهَا لِلْقُدُومِ مِنْ السَّفَرِ وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ فِي السَّفَرِ الطَّوِيلِ لِقَضَاءِ الْعُرْفِ بِهِ أَمَّا مَنْ غَابَ يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا يَسِيرَةً إلَى بَعْضِ النَّوَاحِي الْقَرِيبَةِ فَكَالْحَاضِرِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي ا هـ . 


Artinya, “Para ulama menyebutkan kesunahan walimah secara mutlak bagi jamuan penyambutan orang yang tiba dari perjalanan. Jelas ini berlaku bagi perjalanan jauh yang ditempuh untuk menunaikan kepentingan apa saja pada umumnya. Sedangkan kepergian seseorang sehari atau beberapa hari ke suatu daerah yang dekat, dihukumi seperti orang yang hadir menetap di dalam kota. Demikian disebut dalam Nihayah dan Mughni,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz XXXI, halaman 384).


Naqi‘ah sebenarnya adalah selamatan atas sebuah perjalanan jauh secara umum, bukan hanya perjalanan haji. Tetapi jamaah haji asal Indonesia dan keluarganya layak menggelar naqi‘ah atau selamatan usai perjalanan jauh naik haji mengingat jarak tempuh tanah suci dan tanah air yang tidak dekat.


Jamaah haji yang baru pulang dan keluarganya tidak perlu memaksakan diri membuat pesta penyambutan yang wah. Mereka cukup menghidangkan makanan ala kadarnya dan membuat selamatan sederhana.


Sumber: NU Online
 


Ubudiyah Terbaru