• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Tokoh

Raden Dewi Sartika dan Perempuan Sunda

Raden Dewi Sartika dan Perempuan Sunda
Dewi Sartika dan murid-muridnya. (Submer Foto: Majalah Indie 1922).
Dewi Sartika dan murid-muridnya. (Submer Foto: Majalah Indie 1922).

Oleh: Rudi Sirojudin Abas
Di setiap bulan Desember, masyarakat Sunda selalu mengenang kelahiran Raden Dewi Sartika. Raden Dewi Sartika merupakan satu-satunya pahlawan nasional perempuan dari tanah Sunda. Beliau lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di Cicalengka dan wafat di Tasikmalaya pada tanggal 11 September 1974. Ia dilahirkan dari pasangan keluarga menak Sunda ternama, yaitu R. Rangga Somanagara dan R. A. Rajapermas. Atas peranannya dalam memajukan pendidikan perempuan, pemerintah kemudian mengangkatnya menjadi pahlawan nasional pada tahun 1966.

 

Memang tidak banyak perempuan di Indonesia yang tercatat sebagai pahlawan nasional. Sebut saja Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia dari Aceh. Kemudian ada R. A Kartini dari Jepara, Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Maria Walanda Maramis dari Minahasa, Nyi Siti Walidah Ahmad Dahlan dan Nyi Ageung Serang dari Yogyakarta, Hj. Rangkayo Rasuna Said dari Jakarta, Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto dari Jawa Tengah, Hj. Fatmawati Soekarno dari Bengkulu, Opu Daeng Risaju dari Sulawesi Selatan, serta Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiah, dan Siti Manggopoh dari Sumatera Barat. Mereka lah para pahlawan perempuan sejati yang namanya tetap harum, memberikan wangi inspirasi bagi generasi wanita masa kini.

 

Dalam memperingati  hari kelahiran Dewi Sartika, tidak cukup hanya memuja dan memujinya saja. Tetapi yang paling penting dari itu adalah bagaimana sekiranya setiap insan, khususnya wanita dapat menyadarkan dirinya akan harga dirinya, akan kehormatannya, serta  sadar akan panggilan dalam berkontribusi bagi kemanfaatan hidup, baik dalam hidup bermasyarakat, beragama, berbangsa, maupun bernegara.

 

Perempuan di Sunda harus memiliki semangat perjuangan seperti halnya Raden Dewi Sartika. Misalnya, ia telah melahirkan sebuah lembaga pendidikan dengan nama "Sakola Istri". Yaitu semacam lembaga pendidikan untuk mengakomodir peran-peran perempuan agar mereka mampu hidup bersaing, berkontribusi lebih jauh sebagaimana halnya kaum pria.

 

Semangat perjuangan dan kerja nyata yang dimiliki Raden Dewi Sartika memang terlalu agung dan besar untuk ditiru. Tapi sekiranya, setiap insan wanita dapat mengambil pelajaran dari semangatnya beliau. Setiap insan wanita diharapkan dapat memulai perannya di lingkungannya masing-masing, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pekerjaan tanpa memandang perbedaan status sosial apapun.

 

Raden Dewi Sartika banyak memberikan sumbangsih bagi emansipasi wanita. Di tengah diskriminasi kaum wanita pada saat itu, beliau tampil menjadi insan yang empati terhadap keberlangsungan kaum wanita, terutama dalam hal pendidikan. Kaum wanita tidak hanya bertahan pada kodrat keperempuannya seperti masak (memasak), macak (berhias), dan manak (melahirkan) saja. Tetapi lebih dari pada itu, perempuan harus mempunyai jiwa semangat perjuangan.

 

Berpijak dari perjuangan Raden Dewi Sartika yang mampu berkiprah seperti halnya para kaum pria, penulis pada kesempatan ini mencoba untuk memberikan gambaran tentang eksistensi kaum perempuan sesungguhnya. Dalam hal ini penulis mencoba untuk menjelaskan bagaimana peran perempuan dalam perspektif budaya Sunda.

 

Mengapa dalam perspektif budaya Sunda? Karena Raden Dewi Sartika yang dilahirkan dari keluarga menak Sunda, setidaknya tidak terlepas dari ciri jati diri budaya Sundanya. Bagaimana sebenarnya karakter perempuan dalam budaya Sunda, sehingga perempuan Sunda masa lampau layak menjadi inspirasi bagi generasi perempuan Sunda masa kini?

 

Perempuan dalam Budaya Sunda

 

Dalam budaya primordial Sunda, kedudukan wanita dan pria sangat dihormati. Hal tersebut mengacu pada faham dualisme antagonistik atau completio oppositorum, bahwa keberadaan ini merupakan pasangan-pasangan saling bersebrangan. Manusia dalam budaya primordial Sunda percaya bahwa adanya sesuatu itu karena adanya yang lain, yang bersebrangan subtansi dengan dirinya. Tidak ada terang kalau tidak ada gelap, tidak ada dingin tanpa panas, tidak ada panjang tanpa pendek, tidak ada lelaki tanpa perempuan.

 

Segala sesuatu itu ada pasangannya, yaitu pasangan oposisioner. Dua pasangan kembar berbalikan itu saling mengadakan (eksistensi) saling menjelaskan, saling mengidentitaskan diri, saling membutuhkan dan saling melengkapi. Di dunia ini hanya ada pasangan dualitas sehingga dikenal sifat-sifat, kualitas-kualitas, nilai-nilai. Lelaki tidak akan ada tanpa perempuan dan perempuan tidak ada tanpa lelaki. Maskulinitas  sebab dan akibat feminitas. Feminitas sebab dan akibat maskulinitas. Hidup di dunia ini untuk mengenal sifat-sifat dan sifat-sifat muncul dari kondisi dualitas.


Ayatrohaedi dalam tulisannya, Citra Perempuan dalam Sastra Sunda (2002) salah satunya menyimpulkan bahwa: "Di masyarakat Sunda baik yang tradisional maupun masyarakat masa silam, perempuan memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting. Bahkan kadang kala terkesan bahwa kedudukan perempuan itu demikian penting, sedangkan tokoh laki-laki muncul sebagai 'pelengkap' untuk mendukung keterhormatan dan kemuliaan perempuan".

 

Kesimpulan tersebut memang beralasan karena bagi masyarakat primordial Sunda, perempuan itu perlambang Sunan Ambu. Sunan yang berasal dari Susuhunan yang artinya disembah (dimuliakan). Ambu adalah ibu, pemberi kehidupan, pemelihara, penyelenggara keberadaan, pemberi cinta kasih.

 

Dalam pandangan kosmologi masyarakat Sunda Lama, perempuan memang "pemberi hidup". Seperti dikatakan Ayatrohaedi, seolah-olah lelaki hanya "pelengkap" perempuan. Memang pelengkap, tetapi dalam arti pelengkap pasangan oposisi keberadaan. Pandangan demikian itu hendaknya dipahami dari sudut masyarakat Sunda yang hidup dari berladang (padi), yang dunia maknanya (nilai-nilai) berdasarkan pengetahuan dan penghayatan ladangnya. Perempuan dalam mengolah padi memang dominan. Perempuan ikut berladang, perempuan mengolah padi menjadi beras (menumbuk padi), mengolah beras menjadi nasi. Perempuan mengurus kehidupan di dalam rumah. Perempuan menenun pakaian seluruh keluarga. Perempuan (yang sudah bersuami) juga ikut aktif di luar rumah. Inilah sebabnya, rumah itu sendiri, dalam kosmologi Sunda, berarti "perempuan", asal mula kehidupan.

 

Kembali kepada topik Raden Dewi Sartika sebagai insan yang peduli akan kehidupan perempuan. Latar belakang perempuan kesundaan yang melekat pada dirinya memang menjadi pendorong untuk melakukan perubahan. Bukan karena hanya adanya stigma rendahnya kaum perempuan, diskriminasi perempuan pada saat itu, tetapi lebih dari pada itu Raden Dewi Sartika dengan perjuangannya mendirikan "sakola istri" menghendaki perempuan itu tampil sebagai mana mestinya, mengayomi, memelihara, serta memberikan cinta, damai, dan kasih sayang kepada siapa saja.

 

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut.


Tokoh Terbaru