• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Tokoh

Menuju Haul ke-150 Eyang Hasan Maolani Lengkong

Menuju Haul ke-150 Eyang Hasan Maolani Lengkong
Menuju Haul ke-150 Eyang Hasan Maolani Lengkong
Menuju Haul ke-150 Eyang Hasan Maolani Lengkong

150 tahun silam, ada sosok ulama besar asal Kuningan yang karena kharisma yang berhasil dibangunnya di tengah kekuasaan yang “lalim” meninggal dunia di tempat pengasingan. Dialah Eyang Hasan Maolani atau kadang juga disebut Kiai Lengkong. Tentu saja ketika berbicara sosok yang dibuang karena faktor politik menunjukkan bahwa ia bukanlah orang biasa, akan tetapi sosok yang spesial yang bisa menjadi sumber inspirasi.


Beberapa sosok besar dalam sejarah nusantara yang bernasib sama dengan Eyang Hasan Maolani bisa disebut diantaranya Syekh Yusuf Maqassar yang diasingkan oleh VOC ke Afrika Selatan hingga meninggalnya di sana.


Kiai Mojo yang merupakan salah saeorang tokoh utama dalam perang Diponegoro (1825-1830) juga diasingkan kali ini oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke tempat yang sama dengan Eyang Hasan Maolani. Tokoh besar lainnya adalah Ir Soekarno, yang karena sikap politiknya yang anti-pemerintah Kolonial pernah dibuang ke Boven Digul dan Bengkulu.


Berbeda dengan 2 tokoh di atas, Ir. Soekarno beruntung bisa kembali ke pulau Jawa dan tidak sampai meninggal di tempat pengasingannya, bahkan kemudian ia terpilih sebagai Presiden pertama RI. 


Kembali ke Eyang Hasan Maolani. Kiprah dan pengaruhnya telah menarik seorang sejarahwan terkemuka Belanda, G.W.E. Drewes, untuk mengkaji sosok Eyang Hasan Maolani dalam disertasinya yang dipertahankan pada tahun 1925 di Universitas Leiden dengan judul Drie Javaansche Goeroe’s. Meskipun sejarah telah mencatat bagaimana perjuangan dan pengorbanannya, hingga kini nyatanya ia belum juga diakui sebagai salah seorang pahlwan nasional. Secara pribadi, tidak tahu persis apa alasannya. Lepas dari belum adanya pengakuan secara formal oleh pemerintah, kiprah dan perjuangannya tetap menjadi kebanggaan sekaligus inspirasi bagi generasi berikutnya, minimal anak keturunannya. Tentunya penting untuk mengenal sosok yang wafat kurang lebih 150 tahun yang lalu ditengah hiruk pikuk pencarian sosok-sosok suri tauladan bagi generasi Z dewasa ini.


Sosok Eyang Hasan Maolani


Hasan Maolani dilahirkan di Desa Lengkong pada tanggal 22 Mei 1782. Ayahnya adalah tokoh agama lokal yang bernama Kiai Lukman bin Kiai Syatar. Kakeknya ini merupakan keturunan kesepuluh dari Sunan Gunung Jati.


Sementara dari jalur ibunya, Hasan Maolani merupakan keturunan keempat belas dari Prabhu Siliwangi. Sebagai bagian keluarga tokoh agama, pendidikan Hasan Maolani muda dihabiskan dari satu pesantren ke pesantren yang lainnya mulai dari Pesantren Lengkong, Pesantren Pangkalan hingga pesantren Kadugede dengan durasi waktu yang berbeda-beda. Semua daerah tempat pesantren-pesantren tersebut sekarang termasuk bagian dari wilayah kabupaten Kuningan. 


Pemilihan pendidikan di beberapa pesantren yang berbeda tentu saja menarik bagi anak muda pada akhir abad  ke 18 dan awal abad ke 19. Hal itu tidak lepas dari fakta bahwa pesantren pada masa itu merupakan lembaga primadona atau dalam bahasa anak muda saat ini on trending. Pesantren saat itu merupakan simbol perlawanan, sesuatu yang khas sekaligus tepat bagi anak muda yang sedang tumbuh dalam proses pencarian diri. Di tempat inilah anak-anak muda Muslim dididik dan dibina untuk menjadi pemimpin-pemimpin perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang kafir. Tidak mengherankan jika berbagai gerakan perlawanan akhir abad ke 18 dan selama abad ke 19 tidak lepas dari peran para kiyai, pesantren dan santrinya. 


Fenomena inilah yang akan kita lihat pada tahapan kehidupan yang akan dilalui oleh Hasan Maolani dewasa. Modal sosial dan simbolik yang ia peroleh dari proses pendidikannya akan membawanya menjadi sosok yang sangat kharismatik di hadapan santri beserta jamaahnya dan diperhitungkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dengan penguasaan ilmu agamanya yang mumpuni, Hasan Maolani tampil sebagai rujukan ketika banyak santri yang datang dan berguru dari berbagai daerah bahkan hingga Surabaya dan dari berbagai kalangan. Tentu saja pada satu sisi, hal ini menunjukkan tingginya reputasi yang berhasil dibangun oleh Hasan Maolani. Pada sisi yang lain, hal ini mencemaskan Pemerintah Kolonial Belanda yang didera phobia terhadap segala hal yang berbau gerakan pribumi yang berbasis pada kiyai, pesantren dan santri. 


Tidak heran jika segala gerak gerik Hasan Maolani benar-benar dipantau secara ketat. Pada akhirnya, pemerintah Kolonial Belanda tidak mampu lagi “mentolerir” semakin tingginya kharisma dan luasnya pengaruh Eyang Hasan Maolani dihadapan kaum pribumi. Dengan modal tuduhan telah mengajarkan ajaran yang sesat, Pemerintah Kolonial Belanda menangkap Hasan Maolani dan memenjarakannya di Cirebon sebelum akhirnya “mengasingkannya” ke daerah yang nantinya dikenal dengan nama Kampung Jawa di Tondano Menado pada tahun 1843. Di tempat inilah ia dipertemukan dengan para pahlawan perang Dipenogoro (1825-1830) khususnya Kiai Muslim Mochammad Khalifah atau lebih dikenal dengan nama Kiyai Mojo. Hasan Maolani tidak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya hingga wafatnya pada tanggal 30 April 1874 ketika usianya mendekati 92 tahun.


Keluarga yang ditinggalkannya di Lengkong hanya bisa melepaskan rindunya dengan membaca surat-surat yang ia kirimkan sebelum datang surat dari Pemerintah Kolonial Belanda yang menyatakan bahwa ia telah wafat. 


Sumber Inspirasi


Kisah Eyang Hasan Maolani di atas tentu saja sulit kembali terjadi seiring dengan semakin menguatnya demokrasi yang berjalan di berbagai belahan dunia. Namun kekerasan politik yang dialami oleh Eyang Hasan Maolani bisa saja terjadi ketika penguasa bertindak sewenang-wenang atas nama kekuasaan. Eyang Hasan Maolani sebenarnya tidak pernah mengangkat senjata sebagaimana Pangeran Dipenogoro, Imam Bonjol, Ki Bagus Rangin dan lainnya.


Ia hanya memiliki ketajaman lisan dan kejernihan pikiran yang telah berhasil menarik minat kaum Muslim dari berbagai kalangan untuk mengaji kepadanya. Namun dalam kacamata penguasa yang ketakutan akan kehilangan kekuasaan, segala macam bentuk gerakan yang berpotensi merongrong kekuasaannya akan langsung “dilibas” dan jika perlu dicabut dari ikatan keluarganya dan akar kehdupannya.


Melihat bagaimana sepak terjang Eyang Hasan Maolani tersebut di atas dan sebagai bagian dari upaya mengajarkan sejarah kepada anak-anak muda tidaklah berlebihan jika “haol” Eyang Hasan Maolani berdasarkan hitungan tahun masehi ini disiapkan sematang mungkin agar pesan heroik dari keberadaan Eyang Hasan Maolani tidak hanya kebanggaan bagi keturunannya akan tetapi menjadi rujukan dan inspirasi bagi semua kelangan terutama anak-anak muda sebagai penerus kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Wallahu ‘alam.


Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally, Wakil Rais Syuriah PCNU Kuningan, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon


Tokoh Terbaru