• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Tokoh

Kisah Seorang Habib Ingin Dimakamkan di Samping Tokoh NU

Kisah Seorang Habib Ingin Dimakamkan di Samping Tokoh NU
KH Masthuro
KH Masthuro

Pada tahun 1920, seorang habib (keturunan Rasulullah) datang ke Hindia Belanda (Indonesia). Ia adalah Habib Syekh bin Salim Al-Athas, seorang habib berasal dari Hadramaut, Yaman. Ia datang ke Indonesia setelah berguru ke berbagai ulama di berbagai tempat dalam berbagai bidang disiplin keilmuan. Bisa dikatakan ia yang waktu itu baru berusia 27 telah cukup waktu untuk mendakwahkan ilmunya. Dipilihnya Indonesia yang waktu masih dalam keadaan terjajah sebagai lapangan pengabdiannya.      

Pada tahun yang sama, di daerah Sukabumi, Jawa Barat, seorang kiai mendirikan sebuah pesantren. Ia waktu itu berusia 19 tahun. Namun, meski masih muda tentu saja mendirikan pesantren setelah ia berkelana ke sana ke mari, berguru kepada satu kiai ke kiai lain dalam berbagai disiplin ilmu. 

Kiai muda itu, melalui pesantren ingin menyinari masyarakat dari kegelapan dan ketidaktahuan, di samping sebagai pengamalan ilmunya, serta sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat untuk mendapat ridha Allah SWT. 

Kiai muda itu bernama KH Muhammad Masthuro.  

***

Habib Syekh bin Salim Al-Athas datang ke Indonesia menemui para habib yang telah lebih dulu tinggal di sini. Setelah berkelana ke berbagai tempat, ia memilih Sukabumi sebagai tempat tinggalnya. Tepatnya di daerah Cikole, (Kota Sukabumi). Di daerah tersebut ia menjadi guru para kiai dari Sukabumi dan sekitarnya seperti Cianjur dan Bogor, serta daerah lain. 

Para kiai yang telah membuka pesantren pun tak sungkan untuk berguru kepadanya, salah satu di antaranya adalah KH Muhammad Masthuro. 

Di dalam buku Kisah Indah Al-Masthuriyah karya Daden Sukendar disebutkan bahwa KH Masthuro meski statusnya sudah menjadi pemimpin pesantren, tapi tetap masih semangat belajar. Ia ikut mengaji kepada Habib Syekh bin Salim Al-Atthas.

Tak hanya Kiai Masthuro yang seperti itu, para kiai lain juga tak ingin ketinggalan. Tercatat misalnya KH Ajengan Muhammad Syuja'i Ciharashas (tokoh NU dari Cianjur), KH Ajengan Abdullah Sanusi (Sukamantri, tokoh NU Sukabumi), KH Ajengan Aang Sadzili Cibeureum, dan kiai-kiai lain.  

Namun, KH Masthuro memiliki kedekatan tersendiri dengan Habib Syekh. Menurut Daden Sukendar dalam bukunya itu, Habib Syekh sepertinya melihat sifat-sifat mulia pada diri KH Masthuro. Terutama ketawadhuan, keikhlasan, takzimnya kepada sang guru, serta kecerdasan dan sifat-sifat baik lainnya. Hubungan keduanya sangat dekat. Bahkan dekat setelah keduanya wafat. 

Habib Syekh, menjelang wafatnya meminta untuk dikebumikan di samping KH Masthuro yang mendahuluinya. Guru murid itu berada di kompleks pondok pesantren Al-Masthuriyah. 

KH Masthuro wafat tahun 1968, sedangkan Habib Syekh meninggal tahun 1978.

Penulis: Abdullah Alawi


Tokoh Terbaru