• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Taushiyah

KOLOM KH ZAKKY MUBARAK

Memperbaiki Kekhilafan Diri Sendiri

Memperbaiki Kekhilafan Diri Sendiri
Memperbaiki Kekhilafan Diri Sendiri
Memperbaiki Kekhilafan Diri Sendiri

Sudah menjadi tabiat dan naluri, banyak manusia yang terjerembab dalam lupa dan kekhilafan diri. Betapapun banyaknya ilmu yang dimiliki, pengalaman, dan kecerdasan yang tinggi, tidak akan mampu untuk menghilangkan kekhilafan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, kecil atau besar. Manusia sebagai makhluk yang lemah, dalam menghadapi kelalaian dan kekhilafan diri, harus senantiasa mengharap rahmat dan ampunan dari Allah SWT atas segala kekurangan dan kesalahannya.


Apabila ada seseorang terjerembab dalam kekhilafan dan kesalahan, kemudian ia tidak mau memohon rahmat dan ampunan dari Allah SWT, maka orang tersebut tergolong orang yang sombong dan congkak. Mereka yang tidak memiliki harapan terhadap rahmat Allah SWT dan kasih sayang-Nya, tergolong orang yang ditimpa kerugian dunia dan akhirat. Banyak tokoh-tokoh masa lalu dicontoh al-Qur’an, seperti Fir’aun, Qarun, Haman, Abu Lahab, tergolong orang-orang yang tidak mampu menyadari kesalahan dan kekurangannya, sehingga tidak mau mendekatkan diri kepada Allah SWT.


Iblis atau syaitan yang awal kejadian dan kelanjutannya disebutkan al-Qur’an, merupakan figur dari makhluk yang angkuh dan sombong. Ia merasa lebih mulia dari Adam a.s., sehingga ketika Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Adam, dia menolak perintah itu. Iblis berkata: Aku lebih baik dari Adam, Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Adam Engkau ciptakan dari tanah. Dari beberapa kisah tersebut dapat diambil pelajaran, bahwa mereka yang menyombongkan diri dan tidak mau mengharap rahmat dan kasih sayang dari Allah, sungguh telah mencampakkan dirinya sendiri dalam kehinaan duniawi dan ukhrawi.


Ada beberapa ciri orang-orang yang tercampakkan dalam kehinaan sebagaimana disebutkan di atas, antara lain: (1) semakin bertambah ilmunya, semakin menonjol sikap sombong dan congkaknya. Seharusnya, manusia yang ilmunya bertambah, semakin tawadu’ dan rendah hati. Diibaratkan oleh orang-orang tua kita dahulu seperti pohon padi, semakin berisi padinya, semakin merunduk, artinya semakin rendah hati. Sebaliknya apabila padi itu tidak merunduk, dan tegak berdiri ke atas, menunjukkan dia padi yang gabuk atau isinya kosong.


Tanda-tanda yang ke (2), semakin bertambah amalnya, semakin membanggakan diri sendiri dan menganggap dirinya paling mulia. Dengan demikian, ia selalu merendahkan orang lain. Ia selalu berprasangka baik pada dirinya yang disebut positif thingking, sebaliknya berprasangkan buruk pada orang lain yang disebut negatif thingking.


Ciri yang ke (3) semakin bertambah umurnya, semakin tua, semakin serakah dan tamak terhadap kemewahan dunia. Kehidupan dunia menyilaukan matanya sehingga tidak bisa membedakan lagi mana yang baik dan mana yang buruk.


Ciri yang ke (4) semakin bertambah hartanya, ia semakin gemar menumpuk harta kekayaannya. Semakin banyak rizkinya, semakin bersikap kikir dan enggan bersedekah. Ia terus menimbun harta kekayannya dan ia mengira bahwa harta dan kekayannya itu akan dapat mengekalkan dirinya, padahal sema sekali tidak demikian. Harta kekayaan memang memiliki manfaat apabila dikelola dengan baik dan harus disadari bahwa dengan harta dan kekayaan itu tidak bisa menyelesaikan semua masalah.


Ciri yang ke (5) semakin tinggi pangkat dan kedudukannya, semakin bengis dan tidak memiliki belas kasihan pada rakyat kecil dan orang-orang yang terpinggirkan.


Ciri selanjutnya (6) apabila bertambah ibadah dan amal shalehnya, selalu dipamerkan kepada orang lain. Hal itu dilakukan agar memperoleh pujian dan dukungan di mana-mana. Manusia jenis ini tidak segan-segan mengorbankan hartanya dalam rangka memperoleh dukungan untuk menggoalkan ambisinya.


Setiap orang yang memperoleh petunjuk dan bimbingan agama, akan bersikap semakian santun pada sesama dan bersimpati kepada orang-orang yang miskin dan lemah. Mereka juga senantiasa mengharapkan rahmat dan kasih sayang dari Allah s.w.t., karena sesungguhnya tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat dan kasih sayang Allah, kecuali orang-orang yang kafir.


وَلَا تَاْيۡ‍َٔسُواْ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ لَا يَاْيۡ‍َٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ


Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf, 12:87).


Mengapa orang-orang kafir dan ingkar selalu mengingkari nikmat Allah? Karena mata hati mereka telah tertutup dari kebenaran dan telah dikotori oleh kemilaunya kemewahan dalam kehidupann dunia yang menyesatkan.


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, salah seorang Mustasyar PBNU


Taushiyah Terbaru