• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 30 Juni 2024

Syariah

QnA

Hukum Shalat Tanpa Niat Secara Lisan

Hukum Shalat Tanpa Niat Secara Lisan
Shalat (Ilustrasi: NU Online/Freepik)
Shalat (Ilustrasi: NU Online/Freepik)

Seseorang bertanya mengenai niat sholat. Fenomena di masyarakat dalam melaksanakan sholat sangat beragam, terutama terkait niat. Ada yang cukup berniat dalam hati saja, ada juga yang melafalkan niat secara lisan dan dibarengi dengan tekad dalam hati. Lalu, bagaimanakah hukumnya terkait hal ini? Berikut penjelasannya.


Wa’alaikumsalam wr. Br. Semoga kita semua selalu dalam limpahan rahmat Alllah SWT. Terkait pertanyaan saudara/i, baik untuk diketahui terlebih dahulu, bahwa ada perbedaan hukum antara pelafadzan niat  dengan niat itu sendiri. Pelafadzan niat dengan lisan berhukum sunnah sedangkan niat dalam hati berhukum wajib dan jika tidak dilakukan dapat berkonsekwensi tidak sahnya shalat. 
 

Dengan demikian, seseorang yang shalat boleh saja tidak melafadzkan secara lisan semisal lafadz ‘ushalli fardha dhuhri arba’a rakaati mustaqbilalqiblati ada’an/qadla’an lillahita’ala’, namun dalam hatinya wajib ada tujuan melakukan shalat yang dikehendaki seperti dluhur dst. Syeikh Baijuri menjelaskan, bahwa disunnahkanya pelafadzan niat dengan lisan untuk membantu hati sebagai tempat niat yang sebenarnya.
 

فلا يجب النطق بها باللسان لكن يسن ليساعد اللسان القلب


“Tidak wajib melafadzkan niat dengan lisan, tetapi disunnahkan agar lisan membantu hati”


Berikutnya, terkait konteks pertanyaan saudara/i apakah dalam sholat qadla’ pelafadzan niatnya harus pakai qadla’an?, dari pemaparan sebelumnya sudah jelas, jika yang dimaksudkan adalah sekadar ‘pelafadzan’ maka sama sekali tidak wajib meneyebutkan. Namun, apabila yang dimaksudkan adalah apakah dalam niat shalat qadla’ (dalam hati) harus disetai qadla’an?, maka perihal ini ulama berbeda pendapat.
 

Imam ash Shuyuthi merangkum perbedaan tersebut dalam kitab al Asybah wa Nadla’ir. Perdapat pertama mensyaratkan penyertaan qadla’an atau ada’an untuk membedakan antara shalat ada’ dan qadla’, pendapat ini dipiih oleh Imam al Haramain.

 

فلابد من التعرض في كل منهما للتمييز
 

“Maka harus menjelaskan masing-masing dari keduanya (qadla’ atau ada’) untuk membedakan”


Pendapat kedua menyebutkan bahwa disyaratkan peyertaan qadla’an dalam niat shalat qadla’ dan tidak disyaratkan meyertakan ada’an dalam niat shalat ada’ karena pada dasarnya shalat ada’ sudah berbeda dengan sekadar melihat waktu pengerjaannya sekalipun tidak di jelaskan dalam niat. 


لأن  الأداء يتميز بالوقت بخلاف القضاء


“Karena sesungguhnya ada’ dapat dibedakan denngan melihat waktu pelaksanaanya, berbeda dengan qadla’”


Dengan demikian, baik menurut perndapat pertama atau kedua di dalam shalat qadla’ wajib menyertakan qadla’an dalam niat.


Terakhir adalah pendapat yang dinilai paling shahih oleh Imam ash Shuyuthi diantara pendapat-pendapat sebelumnya, yakni baik ada’an atau qadla’an sama sekali tidak disyaratkan untuk dijelaskan dalam niat.


Refrensi: 
Syeikh Ibrahin al Bajuri, Hasyiah al Bajuri, al Haramain, Juz I
Al Imam ash Shuyuthi, al Asybah wa Nadla’ir, Darul Kutub al Ilmiyah

 

Kiai Abdul Hamid, Wakil Sekretaris LBM PWNU Jabar & Dewan pakar LBM PCNU Kab. Cirebon


Syariah Terbaru