Fiqih Modern: Tidak Literal dan Tidak Liberal
Jumat, 30 Agustus 2024 | 16:51 WIB
Pemahaman hukum Islam yang tidak literal dan tidak liberal berfokus pada bagaimana prinsip-prinsip hukum Islam dapat diterapkan dalam konteks sosial, budaya, dan politik yang beragam. Berikut adalah beberapa aspek kunci dari pendekatan ini:
Pertama, Pendekatan Kontekstual: Pendekatan ini menekankan pentingnya memahami teks-teks agama dalam konteks sejarah dan sosial di mana mereka diturunkan. Misalnya, situasi yang dihadapi oleh masyarakat Arab pada zaman Nabi Muhammad sangat berbeda dengan situasi saat ini. Bukan berarti semua hal modern harus diterima dan diadopsi begitu saja. Tetap selektif dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip ajaran Islam.
Baca Juga
Khianat Terbesar
Kedua, Maqasid al-Syariah: Pendekatan ini menekankan pada tujuan atau maksud di balik hukum Islam (maqasid al-syariah), bukan semata-mata soal dalil tertulis saja. Hukum tidak hanya dilihat dari segi kepatuhan terhadap teks, tetapi juga dari segi tujuan untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan terhadap hak-hak individu dan masyarakat. Sudah banyak yang mengupas soal Maqasid ini.
Ketiga, *Dialog antara Tradisi dan Modernitas: Pendekatan kontekstual mendorong dialog antara nilai-nilai tradisional Islam dan realitas modern. Ini melibatkan pemikiran kritis dan refleksi terhadap bagaimana hukum Islam dapat diterapkan dengan cara yang relevan dan bermanfaat bagi masyarakat saat ini, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar Islam.
Kaum literalis akan menuding kita sudah meninggalkan tradisi Islam. Kaum liberalis akan menuduh kita munafik karena masih mau berpegang pada syariat Islam, sambil melirik kehidupan modern. Keduanya keliru. Adaptasi terhadap perubahan sosial itu sudah sejak awal digunakan oleh Nabi dan Sahabat, lalu para ulama merumuskan metode yang solid sehingga pembaruan lahir dari rahim Islam itu sendiri. Bahkan Nabi menegaskan setiap 100 tahun, Allah akan kirimkan pembaru ajaran Islam (HR Abu Dawud, No. 4291).
Tokoh seperti Mustafa az-Zarqa atau Abah saya, dan ulama progresif lainnya yang bersuara mengenai pembaruan hukum Islam di abad 20 dan 21 ini dengan melalui ushul fiqh, tarikh tasyri' dan teori ijtihad telah menunjukkan hukum Islam itu berkembang dari rahim khazanah keilmuan Islam itu sendiri.
Manhaj dan metode serta kaidah yang mereka pakai masih sama dengan yang dirumuskan dan diletakkan dasar-dasarnya oleh para ulama klasik dulu. Lantas mereka mengembangkannya dalam koridor disiplin keislaman guna menjawab tantangan zaman.
Baca Juga
Fiqih Khofiyah bagi Orang Awam
Keempat, Fleksibilitas dalam Penafsiran: Dalam pendekatan ini, ada ruang untuk penafsiran yang fleksibel dan inovatif. Misalnya, isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, gender, dan ekonomi harus dipertimbangkan dalam penafsiran hukum. Hukum itu berubah ketika 'illat atau alasan hukumnya juga berubah. Hukum itu berubah tergantung perubahan tempat dan zamannya. Begitu kaidah yang disusun para ulama.
Kelima, Keterlibatan Masyarakat: Pendekatan kontekstual juga mengakui pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses penafsiran dan penerapan hukum. Ini mendorong partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat, termasuk perempuan, dalam mendiskusikan dan mengadvokasi pemahaman hukum yang lebih inklusif dan relevan. Maka selain Nash Quran dan Hadits, kita juga harus mempertimbangkan tradisi, infrastruktur dan pranata sosial, geo politik, kepentingan dan ketertiban publik, dan dengan membuka diri terhadap kajian psiklogis, medis-klinis, sosiologis dan antropologis.
Contoh praktis:
Nabi makan dengan tiga jari. Kalau ikuti pendekatan literal, kini apapun jenis makanannya ya tetap makan pakai 3 jari seperti yang dicontohkan Nabi. Pendekatan liberal: makan pakai tangan apalagi cuma 3 jari itu kuno, ndeso, gak higenis dan harus diganti dengan pisau dan garpu ala barat.
Pendekatan kontekstual: boleh makan dg tangan (3 jari atau 5 jari) asal tangannya bersih, dan sesuai dengan jenis makanannya. Kalau makan rawon atau soto ya jangan ngotot pakai tangan, nanti melepuh. Pakai sendok dan garpu boleh. Bahkan di barat sekalipun tidak selalu harus pakai pisau dan garpu, kecuali makan steak. Makan sup juga disediakan sendok khusus. Begitu juga yang mau pakai sumpit juga boleh. Gak ada yang melanggar aturan syariat selama bersih, nyaman, sesuai dengan jenis makanan, dan konteks etika sosial yang berlaku.
Kita bisa luaskan contoh sederhana di atas ke persoalan lainnya, seperti zakat, haji ataupun perkara muamalah dan pidana.
Dengan demikian, pemahaman hukum Islam yang tidak literal dan tidak liberal menekankan pentingnya penafsiran yang adaptif dan responsif, yang mampu menjembatani tradisi dan perubahan, serta memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks yang beragam.
Seperti cintaku juga, ber-Islam itu gak rumit. Selalu ada kemudahan dan jalan keluar menuju kemaslahatan. Cintaku juga gak literal kaku kayak gedebok pisang, tapi juga tidak liberal icip sana- sini. Cintaku itu muhkamat, gak mutasyabihat.
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia
Terpopuler
1
Bangkitkan Semangat Wirausaha, Talk Show di Cirebon Ajak Perempuan Muda Jadi Pelaku Ekonomi Mandiri
2
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
3
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
4
Kuota Haji 2026 Baru Akan Diumumkan pada 10 Juli 2025, Kemenag Masih Tunggu Kepastian
5
Koleksi Manuskrip Warisan Ulama Sunda, KH Enden Ahmad Muhibbuddin Jadi Rujukan Tim Peneliti Naskah Nusantara
6
Isi Kuliah Umum di Uniga, Iip D Yahya Sebut Media Harus Sajikan Informasi ‘Halal’ dan Tetap Diminati
Terkini
Lihat Semua