• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Sejarah

Menelusuri Ulang Sejarah Hari Lahir LP Ma’arif NU

Menelusuri Ulang Sejarah Hari Lahir LP Ma’arif NU
Menelusuri Ulang Sejarah Hari Lahir LP Ma’arif NU.
Menelusuri Ulang Sejarah Hari Lahir LP Ma’arif NU.

Oleh: Ayung Notonegoro
Pada 19 September ini, diyakini sebagai hari lahir Lembaga Pendidikan Ma’arif. Lembaga di bawah Nahdlatul Ulama yang menangani bidang pendidikan ini, konon dicetuskan pada Muktamar IV NU di Semarang yang berlangsung pada 12-15 Rabiuts Tsani 1348 H/ 17-20 September 1929. Hal ini setidaknya diungkapkan oleh Zainul Arifin Djunaidi, Ketua LP Ma’aarif PBNU masa khidmat 2013-2021.


Beliau menulis sebuah artikel berjudul “LP Ma’arif NU dari Masa ke Masa” yang ditulis pada 23 November 2016 (masih bisa dibaca di laman Ma’arif Jawa Timur). Dalam tulisan tersebut, ia menceritakan secara singkat tentang proses pendirian Ma’arif yang diawali oleh perbincangan tiga tokoh NU pada awal September 1929. Perbincangan itu melibatkan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdullah Ubaid dan KH. Machfudz Shiddiq.


Pertemuan yang konon dilaksanakan di kantor HBNO itu, diyakini sebagai perintah dari Rais Akbar Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari menanggapi permohonan Kiai Wahab Chasbullah supaya NU memiliki wadah khusus yang menangani soal pendidikan. Hasil dari pertemuan tersebut, kemudian dibawa ke Muktamar NU dan diputuskan dalam sidang di hari ketiga untuk membentuk lembaga tersebut. Atas peristiwa inilah, Zainul Arifin – selaku Ketua LP Ma’arif – dalam tulisan yang dibuat pada 23 November 2016 itu, menyimpulkan jika Ma’arif berdiri pada 19 September 1929.


Dari sisi historiografi, tentu saja, tulisan Zainul Arifin Djunaidi itu, sulit untuk dipastikan kebenerannya. Ada beberapa hal yang membuat masygul akan akurasi data-data yang disajikannya. Dari tiga sosok penggerak awal berdirinya Ma’arif tersebut, hanya Abdullah Ubaid yang telah aktif di kepengurusan NU pada 1929.


Abdullah Ubaid (1899-1938) telah dikenal sebagai seorang aktivis pendidikan sejak sebelum NU berdiri. Ia terlibat sebagai pengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan (NW) Surabaya sekaligus menjadi Ketua Syubbanul Wathan – organisasi khusus di bawah NW yang konsern dalam melakukan kajian pendidikan (SNO, No. 2 Tahun I, 1346 H). Saat perintisan NU, ia terlibat dalam Komite Hijaz dan turut membantu NU meski tak tercatat sebagai pengurus di masa-masa awal itu (BNO, 23 Th VII, 1 Oktober 1938).


Sedangkan KH. Abdul Wahid Hasyim sendiri tidak terlibat dalam kepengurusan NU sejak awal berdiri. Tokoh kelahiran 1914 ini, baru terlibat di NU pada 1938, hampir empat tahun setelah kepulangannya dari studi di Mekkah pada 1934 (Mengapa Saja Memilih Nahdlatul Ulama?, Gema Muslimin, 1 November 1953). Begitu pula dengan KH. Machfudz Shiddiq (1907-1944), juga tak terlibat di NU pada masa-masa awal. Ia baru terlihat menonjol pada saat Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi pada 1934 (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, 1984: 90).


Dengan profiling demikian, kecil kemungkinan adanya suatu peristiwa sebagaimana yang ditulis oleh Zainul Arifin tentang pertemuan tiga tokoh itu dalam membahas upaya pendirian bagian Ma’arif NU. Jika merujuk pada tulisan KH. Abdulhalim Shiddiq saat mengulas 13 tahun perjalanan NU (Riwajat dan Djasa N.O., BNO No. 4-5, 15 Desember 1938 – 1 Januari 1939), NU terdiri dari tiga fase atau “idaran”. Awal-awal berdirinya NU itu adalah “idaran pertama” yang berkutat pada musyawarah fiqhiyah. Baru pada “idaran kedoea”, NU mulai berupaya untuk menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagai upaya untuk membentuk kehidupan yang Islami. Lantas, dilanjutkan dengan “idaran ketiga” yang memperluas sentuhannya kepada seluruh lapisan masyarakat.


Dari tiga “idaran” tersebut, Nahdlatul Ulama hingga 1929 itu, masih berkutat pada “idaran pertama”. Hal ini setidaknya terlihat dalam verlslag Muktamar ke-IV NU yang seluruh majelisnya berkutat pada pembahasan fiqhiyah (SNO, No. 10 Th. II, Syawal 1347). Dari sini, apa yang diungkapkan oleh Zainul Arifin tersebut, kembali diragukan akurasinya.


Selain itu, klaim tentang hari lahirnya LP Ma’arif tersebut, juga bertolak belakang dengan narasi yang muncul di Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2015). Dalam entri tentang LP Ma’arif (Jilid II, Hal. 226), disebutkan jika di awali dari pertemuan Konsul Daerah NU Jawa Timur di Singosari, Malang, pada 12-13 Februari 1938. Pertemuan ini bermaksud membentuk Komisi Perguruan di kalangan NU. Gagasan ini kemudian dibawa ke Muktamar XIII NU di Menes, Banten pada 11-17 Juni 1938. Secara eksplisit, di Muktamar inilah Ma’arif pertama kali dicetuskan. Hal ini besar kemungkinan merujuk pada Antologi Nahdlatul Ulama (2010) yang disusun oleh Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subchan.


Dua sumber di atas, baik Ensiklopedi NU ataupun Antologi NU, sama-sama tak merujuk pada referensi yang pasti. Akan tetapi, ada peristiwa lain yang nyaris menyerupai. Pada Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) Nomor 9 dan 10, Tahun VII, 1-15 Maret 1938, memberitakan tentang hasil Konferensi Konsul Daerah Jawa Timur II (Malang) yang berlangsung pada 29-30 Desember 1937. Pada Majelis IV, membahas tentang gedung-gedung madrasah NU. Majelis ini, diikuti oleh Wahid Hasyim selaku Sekretaris Konsul dan Abdullah Ubaid selaku Voorziter HBNO bagian Onderwijs (Pendidikan). Tidak ada pembahasan spesifik tentang Komisi Perguruan sebagaimana disinggung di atas.


Hasil-hasil Muktamar ke-XIII NU di Menes, Banten juga tak ada pembahasan tentang hal tersebut. Dalam “Verslag Congres Nahdlatoel Oelama jang ke XIII Kota Menes Bantam”, hanya dibahas usulan dari HBNO bagian Pendidikan yang memohon kepada para Cabang dan Konsul untuk mengirimkan laporan tentang kondisi madrasah dan proses pengajarannya (lihat hal. 125).


Lantas, bagaimanakah sejarah LP Ma’arif NU sendiri?


Perlu diketahui, pendidikan merupakan salah satu bidang yang digeluti oleh para ulama jauh sebelum NU berdiri. Di antaranya dengan mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan pada 1915 yang kelak para aktivisnya menjadi tulang punggung berdirinya NU itu sendiri. Konsern pada pendidikan ini, semakin ditegaskan pada Statuen NU 1926 (keluar pada 6 Februari 1930). Pada Fatsal 3 dijelaskan tentang ikhtiar yang akan dilakukan oleh NU. Di mana, dalam poin d, disebutkan salah satu ikhtiarnya adalah: “Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.”


Hal ini semakin dirinci dalam Huishoudelijk Reglement (Peraturan Rumah Tangga) NU 1926. Di mana, dalam PRT tersebut, di fatsal 1, dijelaskan tentang bagian-bagain (Departementen) NU yang salah satunya terdiri dari bagian urusan pengajaran. Bagian ini memiliki kewajiban antara lain:

 
  1. Memperhatikan sekalian urusan pengajaran seperti mengatur idhohatnya pengajaran, daftar waktunya mengajar dan lagi kitab-kitab yang akan diajarkannya.
  2. Ikhtiar mengadakan pimpinan: (a) madrasah-madrasah rendah, madrasah pertengahan dan madrasah tinggi, (b) pengajaran di rumah-rumah, di surau-surau (langgar-langgar) atau di pondok-pondok, (c) tabligh-tabligh dan sesamanya.


Selain itu, dalam PRT tersebut juga diatur tentang struktur kepengurusannya HBNO bagian Pengajaran. Susunannya terbentuk dari dewan yang terdiri dari Rais (Ketua), Katib (Sekretaris), A’dho (anggota) atau lebih. Yang dimaksud lebih sendiri meliputi mundzir, mufatis, lajnatut ta’lif, islahudzatubain, dan lajnah falaqiyah. Sedangkan urusan pengajaran di tingkat Cabang, lebih sederhana. Cukup Rais, Katib, A’dho atau lebihan yang meliputi langsung para kepala guru dan guru-guru itu sendiri.


Meskipun telah diatur cukup rinci demikian, untuk struktur kepengurusannya sendiri, tampaknya tak terbentuk secara lengkap pada masa-masa awal NU berdiri. Bagian-bagian itu, setidaknya baru diputuskan pada Muktamar ke-VII NU di Bandung pada 15-19 Agustus 1932. Untuk struktur kepengurusannya itu lantas dibentuk secara lengkap oleh HBNO dan diputuskan di Surabaya pada 11 Jumadil Awal 1351/ 13 September 1932. 


Dalam putusan tersebut, HBNO Bagian Pengajaran diketuai langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan anggota KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Sedangkan posisi katib dijabat oleh KH. Abdullah bin Ali alias Abdullah Ubaid yang beralamat di Kawatan, Gang V, Surabaya. Dan dibantu seorang mundzir dari Solo bernama KH. Dimyati Abdul Karim (SNO, No. 12  Th III, Dzulhijah 1348 H).**


Setelah Muktamar ke-VII NU tersebut, penulis belum menemukan data lain tentang struktur kepengurusan HBNO Bagian Pengajaran tersebut. Baru pada Muktamar ke-XII NU di Malang (1937), terdapat keputusan tentang struktur baru dari HBNO Bagian Onderwijs (Pengajaran). Struktur tersebut diketuai langsung oleh KH. Abdullah Ubaid, sedangkan wakilnya adalah MS. Soerowijono. Adapun sekretarisnya dijabat oleh Haji Fakieh Amien dan anggotanya terdiri dari Kiai M. Badroen dan KH. Barowi (BNO, No. 22 Tahun VI, 15 September 1937).


Struktur kepengursan HBNO Bagian Pengajaran di atas, tampaknya tak berubah hingga akhirnya KH. Abdullah Ubaid wafat pada 18 Agustus 1938. Jabatan tersebut, bergeser kepada KH. Abdul Wahid Hasyim. Hal ini setidaknya terbukti pada daftar hadir HBNO dalam Muktamar XIV di Magelang (1-7 Juli 1939). Di “Verslag Congres Nahdlatoel Oelama jang ke 14 di Kota Magelang” mulai digunakan istilah bagian Perguruan atau dalam kurung Ma’arif. Digunakan secara bergantian dengan istilah sebelumnya yang menggunakan bahasa Belanda; onderwijs.


Dari uraian di atas, jika harus menyebut kapan Ma’arif lahir, maka pelaksanaan Muktamar NU di Bandung dapat dirujuk sebagai momentumnya. Akan tetapi, jika harus disebut secara spesifik, maka 13 September 1932 bisa menjadi alternatif karena pada hari itulah, PBNU (HBNO) menetapkan struktur kepengurusannya.


Waba’du, terlepas dari seluruh perbedaan pandangan historiografis di atas, selamat berkiprah Ma’arif. Lanjutkan amanah para muasis untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Amin! (*)


*) Ayung Notonegoro, founder Komunitas Pegon yang bergerak dalam melakukan riset, dokumentasi dan publikasi khazanah sejarah pesantren dan NU.
**) SNO (Swara Nahdlatoel Oelama) merupakan majalah bulanan pertama yang diterbitkan oleh PBNU. Akan tetapi, majalah ini tidak terbit secara rutin. Ketika memuncak kesibukan di NU, majalah ini bisa tak tergarap hingga beberapa bulan. Namun, untuk penomorannya tetap berurutan. Sehingga tak heran jika edisi Dzulhijah 1348 H, bisa memuat peristiwa Jumadil Awal 1351 H. Berbeda dengan BNO (Berita Nahdlatoel Oelama) yang terbit secara rutin setiap setengah bulan sekali. Atau dalam beberapa edisi, terdapat edisi rangkap yang terbit secara langsung.

 
Ayung Notonegoro, Founder Komunitas Pegon


Sejarah Terbaru