• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Sejarah

Memburu Berita Nahdlatoel Oelama

Memburu Berita Nahdlatoel Oelama
Memburu Berita Nahdlatoel Oelama. (Foto: Ayung Notonegoro).
Memburu Berita Nahdlatoel Oelama. (Foto: Ayung Notonegoro).

Tidak kurang dalam lima tahun terakhir, saya intens mengumpulkan berbagai literatur tentang Nahdlatul Ulama. Khususnya terbitan-terbitan lama. Salah satunya adalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO).


BNO sendiri merupakan majalah yang diterbitkan oleh HBNO (Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama/ PBNU). Kepala redaksinya adalah KH. Machfud Siddiq. Majalah yang ditujukan untuk melanjutkan majalah sebelumnya, Swara Nahdlatoel Oelama, itu terbit pertama pada 1 November 1935.


Sebagai pelanjut, BNO tak memulai penomorannya pada tahun pertama. Tapi, langsung tahun kelima yang disamakan dengan tahun terakhir Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) beredar. Secara konten, BNO dan SNO tak jauh beda. Meskipun nantinya rubrikasi BNO berkembang dengan cukup baik ke depannya.


Akan tetapi ada sejumlah perbedaan yang cukup mencolok antara dua majalah tersebut. Pertama, sudah barang tentu waktu terbitnya. SNO terbit tiap bulan, sedangkan BNO beredar setiap setengah bulan sekali. Begitu pula bahasanya. SNO menggunakan Jawa, sedangkan BNO memakai Melayu. Untuk aksaranya sendiri, paling tidak, empat edisi awal BNO juga menggunakan aksara pegon sebagaimana SNO. Namun, pada edisi selanjutnya beralih pada aksara latin.


Saya pertama kali membaca BNO itu di Perpustakaan PBNU pada 2016 silam saat riset Sejarah NU Banyuwangi. Kemudian saya mendapatkan edisi fotokopi BNO dari Sahabat Abdullah Zuma dari NU Online. Waktu itu, saya dibantu menggandakan bundel BNO Tahun IX (1 November 1939 - 15 Oktober 1940). Ini dikopi dari edisi kopian yang tersimpan di kantor NU Online.


Setelah itu, saya nyaris tak melakukan upaya untuk menambah koleksi. Meskipun saya banyak mengambil manfaat dari koleksi BNO itu. Beberapa artikel yang pernah saya tulis merujuk hal tersebut.


Pada tahun lalu, ada seorang langganan penjual buku bekas menawarkan BNO edisi Congres Nummer. Dua edisi yang memuat tentang laporan muktamar ke-12 NU di Malang (1937). BNO Nomor 20 dan 21 Tahun VI (15 Agustus - 1 September 1937) itu, dibanderol dengan harga yang lumayan menguras kantong. Untuk saja dapat rezeki tak terduga, hingga akhirnya bisa dicheckout juga.


Tahun ini, hasrat untuk mengumpulkan seluruh edisi BNO itu membuncah. Terlebih saat intens menelusuri biografi Kiai Machfudz Siddiq. Tanpa membaca BNO secara keseluruhan, bagi saya, belum sempurna untuk meneliti sosok Kiai Machfudz Siddiq. BNO adalah anak pikirannya yang terabadikan hingga sekarang. Melampaui usianya.


Dari sinilah kemudian upaya pencarian BNO semakin masif. Yang sekiranya bisa dibeli, diupayakan untuk diakuisisi. Yang hanya boleh meminjam, kita upayakan untuk dikopi atau dipotret. Yang sekiranya tak bisa sebagaimana opsi di atas, ya di fatehahi. Sampai goal..!!


Pada saat berkeliling bersama Kang Iip pada awal Mei lalu, saya optimis bahwa BNO akan terkumpul secara lengkap. Saat itu kami bertemu dengan Kang Diaz Nawaksara. Beliau punya bundel BNO edisi 14 Th X (15 April 1941) sampai edisi 08 Th XI (15 Februari 1942). Edisi ini tampaknya merupakan terbitan terakhir BNO sebelum kemerdekaan. Di edisi terakhir itu dimuat artikel yang menceritakan deru pesawat Jepang mengitari Surabaya dengan diiringi ledakan bom. Setelah itu Surabaya dikuasai Jepang dan semuanya berubah.


Selain bertemu dengan Kang Diaz, saya juga bertemu dengan Gus Yahya. Bersama beliau saya diantar ke mendiang pakdenya. Di sana terdapat sejumlah koleksi BNO dan SNO. Untuk BNO-nya ada puluhan ekslempar dengan berbagai edisi. Mulai tahun kelima, keenam hingga ketujuh. Namun, ada satu dua nomor yang tak ditemukan. Alhamdulillah, di sini kami dapat akses untuk mendigitalisasikannya walau hanya sebatas dengan aplikasi di handphone.


Petualangan memburu BNO itu, juga saya lakukan dengan rajin berselancar. Mulai dari laman Facebook sampai marketplace. Mencari para pedagang buku lawasan. Siapa tahu ada yang pas menjualnya. Dari proses ini, saya dapatkan lima edisi.


Lebih dari itu, saya kembali lagi ke Perpustakaan PBNU. Melalui Pak Haji Syatiri, saya mencopy sebagian besar koleksi BNO-nya. Terutama edisi tahun ketujuh dan kedelapan. Juga saya datang ke Perpustakaan Nasional. Di sini ditemukan satu bundel edisi tahun kedelapan. Edisi ini merupakan warisan dari Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen sebagaimana yang tertera pada stempel di sampul muka BNO yang ada.


Perlu diketahui, saya dua kali mengunjungi Perpusnas untuk mengakses BNO. Tahun kemarin, saya tak menemukan yang edisi di atas. Tapi, menemukan bundel untuk edisi lainnya. Bentuknya sudah repro. Tapi, saat saya berkunjung kemarin, yang edisi repro kosong dan disuguhkan edisi aslinya. Di sini, pengunjung bisa mengkopi dan scanning. Peralatannya disediakan. Tapi, berhubung saya butuh seluruh file, maka saya gunakan HP saja untuk menyalinnya.


Dari petualangan tersebut, alhamdulillah sebagian besar BNO telah terkumpul. Dugaan kami, majalah setengah bulanan ini, terbit sampai 128 edisi. Ada beberapa edisi yang langsung memuat dua nomor sekaligus. Sedari 1 November 1935 sampai 15 Februari 1942. Mulai dari tahun kelima sampai kesebelas. Dari semua edisi tersebut, saya telah mengakses lebih dari seratus edisi. Tinggal 13 edisi pada tahun kelima (tahun pertama), tiga edisi di tahun keenam dan 13 edisi di tahun kesepuluh. Sementara tahun kesebelas hanya ada delapan edisi yang terbit. Jadi, kekurangannya tak mungkin dicari. Selain itu, semuanya ada. Baik berbentuk hardcopy ataupun softcopy.


Semoga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, semua edisi ini terkumpul. Bibarakati KH. Machfudz Siddiq, Al-fatihah.


Ayung Notonegoro, Peneliti NU


Sejarah Terbaru