• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Sejarah

Manuskrip-Manuskrip Karya Raksasa Ulama Sunda: KH Ahmad Syatibi Gentur, KH Busyro Karim Keresek, dan KH Adzro'i Sukaraja

Manuskrip-Manuskrip Karya Raksasa Ulama Sunda: KH Ahmad Syatibi Gentur, KH Busyro Karim Keresek, dan KH Adzro'i Sukaraja
Manuskrip-Manuskrip Karya Raksasa Ulama Sunda: KH Ahmad Syatibi Gentur, KH Busyro Karim Keresek, dan KH Adzro'i Sukaraja
Manuskrip-Manuskrip Karya Raksasa Ulama Sunda: KH Ahmad Syatibi Gentur, KH Busyro Karim Keresek, dan KH Adzro'i Sukaraja

Kemarin blusukan di perpustakaan Pesantren Nurul Fata, Cikondang, Sukabumi (Jawa Barat) yang diampu oleh Kang Enden, saya menjumpai sejumlah manuskrip (naskah tua tulis tangan) dan kitab-kitab cetak tua yang merekam jejak intelektual para raksasa ulama yang menjadi pilar-pilar utama tradisi keilmuan Islam di Tatar Sunda.


Pertama: Terjemah, Ta’liqât dan Hâsyiah Kiai Ahmad Syathibi Gentur atas Syarah Hikam (Bertahun 1319 H / 1901 M).


Yang pertama adalah manuskrip yang ditulis di atas bahan kitab cetak (makhthûth ‘alâ al-mathbû’), yang memuat terjemah, ta’liqât dan hâsyiah Kiyai Ahmad Syathibi Gentur (w. 1946) atas syarah Syaikh Abdullah al-Syarqâwî (w. 1812) atas teks al-Hikam Ibn ‘Athâillâh al-Sakandarî (w. 1309).


Terjemah tersebut ditulis dalam bahasa Jawa dan Sunda Pegon, sementara hâsyiah ditulis dalam bahasa Arab. Terjemah dan hâsyiah tersebut dibacakan oleh Kiai Ahmad Syathibi Dagustani Gentur, dan di-imlâ oleh seorang muridnya yang bernama Hasan b. Muhammad Kholil Kadudampit, Cianjur.


Titimangsa penulisan dari terjemah dan hâsyiah tersebut adalah hari Sabtu, bakda Asar, 19 Sya’ban 1319 Hijri (bertepatan dengan 19 November 1901) di Pesantren Gentur. Tertulis di sana:


تتمڠس تمت ڠيريڠ ڠاج کتاب حکم تشيخنا / المکرّم وقدوتنا المعظّم الحاج أحمد [شاطبي] دغستاني / غنتور فووي سبت بعد عصر فڠ تڠݢل / 19 شعبان 1319 من الهجرة / النبوية الشريفة على صاحبها أفضل / الصلاة وأزکى التحية. آمين


(Titimangsa tamat ngiring ngaji kitab Hikam ti syaikhinâ / al-mukarrom wa qudwatinâ al-mu’azhzham Haji Ahmad [Syathibi] Dagustani / Gentur, poe Sabtu bakda Asar ping tanggal / 19 Sya’ban 1319 min al-hijrah / al-nabawiyyah al-syarîfah ‘alâ shâhibihâ afdhal / al-shalâh wa azkâ al-tahiyyah. Âmîn [Titimangsa selesai ikut mengaji kitab Hikam dari syaikh kita / yang mulia dan panutan kita yang agung Haji Ahmad [Syathibi] Dagustani Gentur, hari Sabtu bakda Asar, tanggal / 19 Sya’ban 1319 Hijroh / Nabi mulia, semoga shalawat terbaik dan penghormatan tertulus senantiasa tercurah kepada pemiliknya. Amin]).


Dalam sejarah perkembangan tradisi keilmuan Islam, Kiyai Ahmad Syathibi Gentur adalah salah satu sosok yang memiliki pengaruh besar, dalam kapasitasnya sebagai mahaguru ulama Sunda yang hidup pada kurun masa abad ke-20 M. Pesantren yang diasuhnya di Gentur (Cianjur, Jawa Barat) merupakan salah satu kiblat tujuan para pencari ilmu di peralihan abad ke-19 dan 20 M. Banyak dari murid Kiai Syathibi Gentur yang menjadi ulama besar Sunda yang tersebar di berbagai wilayah. Tidak berlebihan kiranya, jika pengaruh Kiai Syathibi Gentur sebagaimana Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang (w. 1947) di Jawa.


Kiai Ahmad Syathibi tercatat memiliki sejumlah karya, baik yang ditulis dalam bahasa Arab atau pun Sunda Pegon. Di antaranya adalah al-Manzhûmah al-Qantûriyyah, Nazham al-Âjurûmiyyah, Nazham al-Samarqandiyyah, Nazham al-Dahlâniyyah, Tahdîd al-‘Ainain, Muntîjah al-Lathîf, dan lain-lain. Karya-karya Kiai Syathibi lebih dominan dalam bidang fikih, gramatika Arab, retorika Arab, dan ilmu-ilmu logika.


Terungkapnya karya berupa terjemah, ta’liqât dan hâsyiah atas syarah teks al-Hikam al-‘Athâ’iyyah yang ternisbatkan kepada Kiai Ahmad Syathibi ini tentu saja merupakan sebuah penemuan yang penting, yang mengukuhkan keberadaan sosok Kiai Ahmad Syathibi sebagai seorang ulama ahli tasawuf.


Kedua, Terjemah, Ta’liqât dan Syarah Kiai Ahmad Adzro’i Sukaraja (Sibawaih Sunda) atas Alfiyyah Ibn Malik (Bertahun 1356 H / 1937 M).


Yang kedua juga berupa manuskrip yang ditulis di atas bahan kitab cetak (makhthûth ‘alâ al-mathbû’), yang memuat terjemah, ta’liqât dan syarah Kiai Adzro’i Sukaraja (w.?) atas nazham Alfiyyah Ibn Malik (w. 1274 M). Terjemah tersebut ditulis dalam bahasa Jawa dan Sunda Pegon, sementara syarah ditulis dalam bahasa Arab. Terjemah dan syarah tersebut dibacakan oleh Kiai Adzro’i Sukaraja, dan di-imlâ oleh seorang muridnya yang bernama Ahmad Junaidi Rodlibillah dari Sukabumi (w. 2005), seorang ulama besar Sukabumi yang juga Rais Syuriah PCNU Sukabumi.


Titimangsa penulisan dari terjemah dan syarah tersebut adalah hari Sabtu, bakda Asar, 16 Ramadhan 1356 Hijri (bertepatan dengan 19 November 1937) di Pesantren Sukaraja. Tertulis di sana:


تمت تڠݢل 16 بعد عصر رمضان يوم السبت / سنة 1356 هجرية کالرسن فڠ 19 نوفمبر / سنة 1937 مسيحية وعلى صاحبها أتمّ الصلاة والسلام. اهـ. سکارجا / فسنترين القاروتي


(Tamat tanggal 16 bakda Asar yaum Sabtu / sanat 1356 Hijriah, kaleresan ping 19 November / sanat 1937 Masehiah wa ‘alâ shâhibihâ atamm al-shalâh wa al-salaâm. Intahâ. Sukaraja / Pasantren Garut [Tamat tanggal 16 bakda Asar hari Sabtu / tahun 1356 Hijri, berbetulan dengan tanggal 19 November / tahun 1937 Masehi. Semoga shalawat yang sempurna dan salam tercurah untuk pemiliknya. Selesai. Sukaraja / Pesantren Garut])


Sosok shôhib al-syarah, yaitu Kiai Ahmad Adzro’i Sukaraja, merupakan ulama yang pada zamannya menjadi rujukan terpenting dalam studi ilmu gramatika Arab, khususnya kitab Alfiyyah Ibnu Malik. Tidaklah berlebihan jika Kiai Adzro’i Sukaraja ini disebut sebagai “Sibawaih Sunda” atau “Syaikhul Alfiyyah di Tatar Sunda”. Para murid Kiai Adzro’i Sukaraja di kemudian hari membentuk jaringan “pesantren Alfiyyah di Tatar Sunda”, seperti Kiai Usman di Sadang (Garut), Kiai Epe di Maribaya (Bogor), Kiai Sanja di Kadukaweng (Pandeglang), Kiai Bahrum di Bantargedang (Tasikmalaya) dan lain-lain.


Menariknya, sanad Alfiyyah Kiai Ahmad Adzro’i ini bersumber dari Kiai Kholil b. Harun Rembang (w. 1939). Kiai Kholil Harun Rembang sendiri merupakan mertua dari Kiai Bisyri Musthofa, ayah dari Gus Mus, sekaligus kakek dari Gus Yahya b. Cholil b. Bisyri (Ketua Umum PBNU) dan Gus Yaqut (Menteri Agama).


Ketiga: Terjemah, Ta’liqât dan Syarah Kiai Busyrol Karim Keresek (w. 1977) atas Teks Natîjah al-Âdâb


Yang ketiga berupa manuskrip (makhthûth), yang memuat terjemah, ta’liqât dan syarah Kiai Busyol Karim (w. 1977) atas nazham Natîjah al-Âdâb karya Syaikh ‘Abd al-Malik b. ‘Abd al-Wahhâb al-Fitanî al-Makkî (w. 1913 M). Terjemah tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Pegon, sementara syarah ditulis dalam bahasa Arab. Terjemah dan syarah tersebut dibacakan oleh Kiai Busyol Karim Keresek, dan di-imlâ oleh seorang muridnya yang bernama Muhammad Sarkhosi dari Gunungjaya, Cisaat, Sukabumi.


Titimangsa penulisan dari terjemah dan syarah tersebut adalah pukul 9.30 malam Selasa, 5 Muharram 1359 Hijri (bertepatan dengan 14 Februari 1940 Masehi) di Pesantren Keresek, Garut. Tertulis di sana:


تمت ڠاج إي کتاب دينا کر2 فوکول ستڠه 10 / ملم ثلاث بولن محرّم تڠݢل 5 تهون 1359 / من شيخنا کيريسيک محمد بشرى الکريم / غفر الله خطاياه ولوالديه آمين


(Tamat ngaji ieu kitab dina kira-kira pukul satengah 10 / malem Salasa bulan Muharram tanggal 5 tahun 1359 / min syaikhinâ Keresek Muhammad Busyrol Karim / ghafarallâhu khathâyâhu wa li wâlidaihi âmîn [Selesai mengaji kitab ini pada kira-kira pukul setengah 10 / malam Selasa bulan Muharram tanggal 5 tahun 1359 / dari syaikhina Keresek Muhammad Busyrol Karim / semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan kedua orang tuanya. Amin]).


Kiai Busyrol Karim adalah pengasuh generasi ketiga dari pesantren Keresek, melanjutkan estafet kepemimpinan yang sebelumnya diasuh oleh Kiyai Nahrowi Keresek dan Kiyai Thobari Keresek. Pesantren Keresek juga tercatat sebagai salah satu pesantren tua di Garut yang telah eksis di abad ke-19 M. Kiyai Ahmad Syathibi Gentur pernah belajar di pesantren ini pada masa kepemimpinan Kiyai Thobari.


Keberadaan manuskrip-manuskrip di atas kian menegaskan jika sesungguhnya para ulama Tatar Sunda memiliki sumbangsih karya keilmuan yang genuin dalam tradisi intelektual Islam. Mereka mampu melahirkan karya-karya terbaik dalam bahasa Arab dan dalam berbagai bidang disiplin keilmuan Islam. Karya-karya tersebut harus diintegrasikan dengan “arus besar” tradisi keilmuan Islam internasional.


Saya teringat cerita Sayyid Bakri atau Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatho al-Dimyathi (w. 1890), pemilik hâsyiah I’ânah al-Thâlibîn ‘alâ syarh Fath al-Mu’în. Karya tersebut adalah hasil penjelasan dari Sayyid Bakri yang dicatat oleh murid beliau orang Nusantara. Jadi bukan beliau sendiri yang menulis langsung. Penjelasan tersebut kemudian dirangkum, ditadwin, dikitabkan dan dicetak sebagai karya Sayyid Bakri, setelah terlebih dahulu ditashih oleh beliau.


Insya Allah, Nahdlatut Turots telah beriktikad untuk mentahqiq ketiga karya ulama besar Sunda tersebut, sebagai bentuk tabarrukan dan Khidmah terhadap ilmu beliau-beliau. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq atas niat dan upaya ini. Wallahu A’lam


Ahmad Ginanjar Sya’ban, salah seorang Peneliti NU


Sejarah Terbaru