• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 23 April 2024

Sejarah

Bung Karno, Pancasila, dan Tirakat Hadratusyekh Hasyim Asy'ari

Bung Karno, Pancasila, dan Tirakat Hadratusyekh Hasyim Asy'ari
Soekarno dan Mbah Wahab Chasbullah. (Foto: NUO).
Soekarno dan Mbah Wahab Chasbullah. (Foto: NUO).

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 tahun 2016, pemerintah secara resmi menetapkan bahwa 1 Juni merupakan Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai Hari Libur Nasional. Hadirnya pancasila ditengah-tengah masyarakat Indonesia dengan berbagai macam keberagamannya, sudah tentu merupakan hasil dari ijtihad antara ulama dan umaro yang selalu beriringan. 


Suri tauladan tersebut telah dicontohkan oleh para pendiri bangsa diantaranya Soekarno atau dikenal dengan panggilan Bung Karno, yang merupakan salah seorang tokoh pergerakan nasional terkemuka yang dekat dengan ulama pesantren, di antaranya KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah.


Bung Karno menjadikan ulama sebagai tempat untuk meminta nasihat, pandangan, dan saran terkait keputusan-keputusan penting soal bangsa dan negara.

 

Dilansir dari nu.or.id, pada saat merumuskan Pancasila, prosesi perumusan dasar negara ini bukan tanpa silang pendapat, bahkan perdebatan yang sengkarut terjadi ketika kelompok Islam tertentu ingin memperjelas identitas keislamannya di dalam Pancasila. Padahal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dirumuskan secara mendalam dan penuh makna oleh KH Wahid Hasyim merupakan prinsip tauhid dalam Islam.

 

Akan tetapi, kelompok-kelompok Islam dimaksud menilai bahwa kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa tidak jelas sehingga perlu diperjelas sesuai prinsip Islam. Akhirnya, Soekarno bersama tim sembilan yang bertugas merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 mempersilakan kelompok-kelompok Islam tersebut untuk merumuskan mengenai sila Ketuhanan.

 

Setelah itu, tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan rumusan sila Ketuhanan yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat itu dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta. Rumusan tersebut kemudian diberikan kepada tim sembilan. Tentu saja bunyi tersebut tidak bisa diterima oleh orang-orang Indonesia yang berasal dari keyakinan yang berbeda.

 

Poin agama menjadi simpul atau garis besar yang diambil Soekarno yang akhirnya menyerahkan keputusan tersebut kepada Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk menilai dan mencermati apakah Pancasila 1 Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.

 

Saat itu, rombongan yang membawa pesan Soekarno tersebut dipimpin langsung oleh KH Wahid Hasyim yang menjadi salah seorang anggota tim sembilan perumus Pancasila. Mereka menuju Jombang untuk menemui KH Hasyim Asy’ari. Sesampainya di Jombang, Kiai Wahid yang tidak lain adalah anak Kiai Hasyim sendiri melontarkan maksud kedatangan rombongan.

 

Setelah mendengar maksud kedatangan rombongan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan. Prinspinya, Kiai Hasyim Asy’ari memahami bahwa kemerdekaan adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara harus berprinsip menyatukan semua. Untuk memutuskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat Islam atau belum, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan tirakat. 

 

Paginya, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam.

 

Sila-sila lain yang termaktub dalam sila ke-2 hingga sila ke-5 juga sudah sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam. Karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Atas ikhtiar lahir dan batin Kiai Hasyim Asy’ari tersebut, akhirnya rumusan Pancasila bisa diterima oleh semua pihak dan menjadi pemersatu bangsa Indonesia hingga saat ini.


Muhammad Rizqy Fauzi
(Artikel ini pernah dimuat di NU Online pada Juni 2019. Dimuat kembali pada 2023 dengan sedikit suntingan).


Sejarah Terbaru