• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Sejarah

KOLOM PROF DIDIN

Antara Kepemudaan dan Privilege

Antara Kepemudaan dan Privilege
Museum Sumpah Pemuda di Jakarta (Sumber: Museum Sumpah Pemuda)
Museum Sumpah Pemuda di Jakarta (Sumber: Museum Sumpah Pemuda)

Berbeda dengan perayaan sumpah pemuda tahun lalu, perayaan tahun ini terasa spesial. Hal itu tidak lepas dari terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam pandangan mereka yang kontra memberikan privilege bagi putra sulungnya Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk dicalonkan sebagai Cawapres pada pemilu tahun 2024. Tulisan ini tidak akan membahas tentang isi keputusan MK yang kontroversial itu. Tulisan ini lebih melihat sisi kepemudaan dari keputusan tersebut.

 

Majunya Gibran yang saat ini menjabat Walikota Surakarta dan berusia 36 tahun  sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto yang telah berusia di atas 70 tahun dalam konteks kepemudaan memunculkan pertanyaan apakah memang anak muda yang bisa dikatakan masih dalam proses awal penggodokan di kawah candradimuka kehidupan merepresentasikan secara sempurna semangat dan idealisme sumpah pemuda tahun 1928. Mari kita menengok peristiwa 95 tahun yang lalu dan bagaimana kiprah tokoh-tokoh Sumpah Pemuda paska Kongres Pemuda tersebut. Sekali lagi saya tidak ingin menempatkan diri pada pergulatan isi keputusan MK tersebut. 

 

Sumpah Pemuda 1928
Pernyataan Sumpah Pemuda yang sangat ikonik sekaligus momentum bersejarah merupakan hasil akhir dari Kongres Pemuda II di Jakarta dari tanggal 27 s.d 28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II ini merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda I yang dilaksanakan pada tanggal 30 April s.d 3 Mei 1926. Perlu waktu 2 tahun bagi tokoh-tokoh muda khususnya yang tergabung dalam Perhimpoenan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) untuk meyakinkan para pemuda dari berbagai elemen dan organisasi kepemudaan lainnya untuk bersatu dalam gerakan kemerdekaan. 

 

Hingga akhirnya tiba waktu pelaksanaannya, Kongres Pemuda II ini dihadiri oleh para tokoh muda yang mewakili beberapa organisasi seperti PPPI sebagai inisiator, Jong Java Bond, Jong Soematranen Bond, Jong Ambon/Celebes Bond, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bonds dan Pemoeda Kaoem Betawi. Setiap organisasi tersebut mengirimkan perwakilannya untuk menjadi anggota panitia inti. Ketua panitia kongres yang dipilih adalah Soegondo Djojopoespito dari PPPI. Ia didampingi oleh M.R. Djoko Marsaid dari Jong Java Bond sebagai Wakil Ketua, M. Yamin dari Jong Soematranen Bond sebagai Sekretaris dan Amir Sjarifuddin Harahap dari Jong Bataks Bond.

 

Pada pelaksanaanya, total ada 77 orang peserta yang hadir. Berbagai isyu didiskusikan oleh para peserta mulai dari politik, agama, pendidikan dan perempuan. Para tokoh muda yang rata-rata berusia 20 tahunan menyampaikan gagasan cemerlang mereka terkait dengan isyu-isyu di atas. Kongres ini sukses melahirkan satu pernyataan bersama yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda dengan bertumpu pada tiga pokok gagasan yaitu tanah air, kebangsaan dan bahasa.

 

Privlege, No!
Peristiwa bersejarah tahun 1928 tersebut menunjukkan akan besarnya peran anak-anak muda dalam pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Lebih menarik lagi bahwa hampir semua dari mereka sebenarnya bukan dari keluarga biasa paling tidak untuk tingkat lokal masing-masing. Jika mereka memilih zona nyaman, niscaya mereka tinggal menikmati saja segala fasilitas yang telah tersedia. Akan tetapi mereka justru mengambil zona yang penuh resiko mengusung idealisme mereka di tengah tekanan dan ancaman penguasa penjajah.

 

Tidak heran jika sejarah kemudian mencatat bagaimana para pemuda paska Sumpah Pemuda harus menghadapi berbagai kenyataan pahit. Misalnya, Soegondo Djojopoespito, sang ketua panitia, pada tahun 1934 ditangkap karena diduga memiliki kaitan dengan jaringan politik Moh. Hatta. Meskipun akhirnya dibebaskan, ia tetap harus menerima kenyataan bahwa lisensi mengajarnya dicabut. Hal yang tidak jauh berbeda dialami juga oleh tokoh muda lainnya seperti Amir Syarifuddin, J. Leimena dan lain-lain.

 

Paska Kongres tahun 1928, para pemuda itu terus bergerak tentunya dengan segala resiko yang harus diterima. Pergerakan tersebut menjadi bagian dari pendewasaan pikiran, mental dan pengalaman mereka dengan tempaan situasi yang sulit pada tahun atau lebih tepatnya dekade berikutnya hingga Indonesia benar-benar berhasil membebaskan diri dari belenggu penjang penjajahan. Para pemuda tersebut nanti tampil sebagai bagian dari para pendiri bangsa sekaligus pemimpin awal Indonesia merdeka. 

 

Belajar dari perjalanan perjuangan para pemuda di atas dan juga merujuk pada peristiwa Sumpah Pemuda, ada pesan tegas yang bisa digarisbawahi bahwa bagaimana mendorong para pemuda untuk memiliki idealisme yang kuat, mendorong mereka untuk memperjuangkannya dengan teguh dan gigih dan jangan menggantungkan pada fasilitas-fasilitas yang sifatnya prIvilege. Peribahasa Arab menyatakan “Bukanlah seorang pemuda sejati yang mengatakan inilah bapakku, akan tetapi yang mengatakan inilah aku”.

 

Singkatnya lepas dari pro kontra dengan keputusan MK dan majunya Gibran sebagai Cawapres, setiap pemuda seyogyanya menggodok pikiran dan mentalnya semaksimal mungkin dan itu tidak singkat dan instan agar pada akhirnya siap menjadi pemimpin bangsa di masa depan sebagaimana yang bisa dipelajari dari tokoh-tokoh Sumpah Pemuda.

 

Wallahu a’alam

Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally, Wakil Rais Syuriah PCNU Kuningan, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon.


Editor:

Sejarah Terbaru