Sejarah

111 Tahun Paguyuban Pasundan

Sabtu, 20 Juli 2024 | 10:00 WIB

111 Tahun Paguyuban Pasundan

Kantor Pengurus Besar Paguyuban Pasundan di Jalan Sumatra 41 Kota Bandung (Foto: PP)

20 Juli 1913 - 20 Juli 2024

Keberadaan Paguyuban Pasundan sebagai organisasi orang Sunda terbesar dan tertua, hingga usianya yang ke-111 hari ini, merupakan sebuah anomali. Jika merujuk paparan sejumlah pakar mengenai sifat individualis orang Sunda, seharusnya organisasi tersebut sudah lama hilang. Pasundan justru nyaris tak pernah pudar. Ia selalu menemukan alasan untuk bertahan. Setelah semua organisasi dibubarkan Jepang pada 8 Maret 1942, lalu disambung dengan masa revolusi, pada 1949 bangkit lagi dengan nama Partai Kebangssan Republik Indonesia (PARKI). Kemudian pada 1959 kembali memakai nama Pasundan.


Antropolog Kusnaka Adimihardja, misalnya, dalam Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (1987), memaparkan bahwa asal-usul manusia Sunda itu adalah masyarakat huma. Sifatnya individualis dan pola kepemimpinannya seperti ayam yang susah diatur. Atau dalam istilah politiknya, sulit untuk dimobilisasi. Dengan capaian Pasundan, asumsi bahwa orang Sunda tidak pandai mengelola konflik, dapat pula ditepis.


Diperlukan cara pandang lain melihat fenomena keberlangsungan lembaga ini. Orang Sunda yang mendirikan dan mengelola Pasundan, sudah berbeda dengan asal-usulnya sebagaimana diteliti oleh Kusnaka. Telah muncul lapisan generasi baru Sunda yang terdidik dan bisa mengorganisasikan kelompoknya.


Elit Sunda Baru

Riset disertasi Mikihiro Moriyama yang kemudian dijadikan buku, Semangat Baru : Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda abad ke-19 (2005), dapat dirunut untuk menjejaki perubahan ini. Para pemuda yang melahirkan Pasundan pada 20 Juli 1913 adalah buah dari semangat baru yang ditiup-tiupkan oleh Moehamad Moesa mulai pada pertengahan abad ke-19. Berkat bimbingan dan dukungan Karel Frederik Holle, ia membangunkan kembali bahasa Sunda yang sudah lama sakit. Sakit yang ia maksud adalah banyaknya kosa-kata campuran dari Jawa, Arab dan Melayu.


Kawoela sokoer ka Allah/Goseti anoe sipat rahim/sareh kersa noe kawasa/Soenda dihoedangkeun deui...

Aku panjatkan syukur pada Allah/Tuhan maha penyayang/karena kehendak yang Maha Kuasa/Sunda dibangunkan kembali...


Dari rintisan Moesa dan anak-anaknya, orang Sunda mengenal bahasanya dalam huruf latin. Setelah didirikan Sekolah Rakyat, anak-anak Sunda mulai mempelajarinya di bangku-bangku sekolah. Seiring waktu, jenjang sekolah yang dapat diikuti oleh anak-anak pribumi kian tinggi hingga di sekolah kedokteran.


Dari anak-anak Sunda yang belajar bahasanya dalam huruf latin inilah Pasundan lahir. Mereka sudah menerima Sunda sebagai identitas yang melekat dan membanggakan. Ketika mahasiswa asal Jawa mendirikan Boedi Oetomo, anak-anak Sunda itu tergugah. Saat menghitung jumlah orang Melayu yang sekolah di STOVIA lebih banyak, mereka merasa orang Sunda ketinggalan.


Mas Dajat Hidajat, di antara mahasiswa itu, mengungkapkan kegundahannya itu pada pertemuan di Jalan Paseban, Minggu, 20 Juli 1913. Ia menjelaskan bahwa masyarakat Sunda jauh ketinggalan oleh Jawa bahkan Melayu. Kalau Jawa lebih maju, masih bisa ia terima karena lebih banyak penduduknya. Tetapi tertinggal dari orang Melayu yang belum lama bangkit mengejar kemajuan, menurutnya, sangat memprihatinkan.


Dajat mengemukakan bukti dari keberadaan mahasiswa asal Sunda di STOVIA yang hanya berjumlah 10 orang, sementara Jawa dan Melayu lebih dari itu. Jika orang Sunda tidak segera bergerak, di masa depan tentu akan kalah bersaing saat mencari pekerjaan. Saat itu menurut Dajat, sudah ada beberapa orang Jawa dan Melayu yang mendapatkan pekerjaan di Tatar Sunda, sementara orang Sunda belum ada yang mendapatkan pekerjaan di luar daerahnya.


Manakala Dajat mengusulkan pendirian sebuah paguyuban, hadirin yang memenuhi rumah Daeng Kanduruan Ardiwinata itu, langsung bersepakat. Nama Pasundan dipilih untuk paguyuban mereka. Majalah resmi Pasundan Papaes Nonoman, No. 5, Th. 1, 1 Juni 1914, merekam peristiwa itu dengan baik. Itulah peristiwa, yang oleh Edi S. Ekadjati dalam Kebangkitan Kembali Orang Sunda (2004) disebut sebagai kebangkitan kembali orang Sunda secara politik sejak runtuhnya Pajajaran pada tahun 1579.


Setelah melalui berbagai dinamika internal, termasuk menggati statutanya pada 1919, pada periode pemilihan 1921, wakil Pasundan terpilih sebagai anggota Volksraad. Kosasih Wirakoesoemah menjadi anggota Volksraad mewakili Pasundan, pada periode 17 Mei 1921 sampai dengan 20 Mei 1924. Disambung oleh Oto Koesoema Soebrata dan Oto Iskandar di Nata, Pasundan selalu menempatkan wakilnya di Volksraad.


Secara alamiah, Pasundan telah menjadi wahana penggodokan elit baru Sunda, bersaing dengan keturunan para menak dari lingkungan kabupaten. Pendidikan dan organisasi telah menjadi wahana bagi anak-anak Sunda itu untuk menempuh mobilitas vertikalnya, menjadi kelas menengah dan menyorongkan elit baru. Pasundan memang bukan satu-satunya organisasi bagi orang Sunda, tetapi telah menjadi arus utama Sunda melalui tiga layanannya; pendidikan, sosial-ekonomi, dan politik.


Teruji Waktu

Keberadaan Pasundan sebagai kawah candradimuka kaum terpelajar Sunda, telah teruji waktu. Dari sejumlah ketua umum yang pernah memimpin Pasundan, hanya satu orang yang merupakan menak tinggi, yaitu Oto Koesoema Soebrata, anak bupati Ciamis, yang memimpin sampai 1929. Selebihnya adalah keturunan menak menengah dan rendah yang menempa diri dalam pendidikan dan organisasi.


Ketua Umum Paguyuban Pasundan periode 2020-2025 Didi Turmudzi, bisa menjadi contohnya. Ia pertama kali bergabung di lingkungan Pasundan pada pertengahan 1970-an sebagai guru honorer SMP Pasundan. Selain tekun menempuh jenjang pendidikan, ia juga berproses di dalam organisasi hingga terpilih sebagai Ketua Umum sejak 2010. Dalam tiga periode sebelumnya ia menjadi sekretaris jenderal.


Ketokohan Didi diakui oleh publik. Setiap hajatan politik baik di tingkat Jawa Barat maupun nasional, selalu memperhitungkan posisi Pasundan. Didi selalu dikunjungi para kandidat yang akan bertarung. Joko Widodo pun memerlukan untuk ngadeuheus kepadanya dalam Pemilu 2014 dan 2019.


Jika pada 1913 Pasundan dipelopori oleh para calon dokter, kini di bawah kepemimpinan Didi, Pasundan telah meluluskan para dokter. Pada 2019, Universitas Pasundan membuka Fakultas Kedokteran. Fakultas baru ini coba ikut menjawab tantangan kesehatan warga Jawa Barat yang masih compang-camping.


Keberlangsungan Pasundan sebagai organisais modern juga tetap terjaga. Dalam 111 tahun sejarah organisasi ini, tidak ada peluang untuk mewariskan tampuk kepemimpinan kepada keluarga terdekat. Misalnya dari ayah kepada anaknya. Termasuk kepemimpinan Pasundan setelah Didi, dipastikan akan beralih pada pengurus terbaik yang tak ada hubungan kekerabatan secara langsung dengan dirinya. Para ketua umum Pasundan juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. Sistem ini tampak lebih mapan dibandingkan sejumlah partai politik yang masih membuka ruang nepotisme.


Artikulasi yang Lirih 

Dari perjalanan panjang Pasundan ini, orang Sunda membuktikan dirinya dapat mengorganisasikan diri dan menyuarakan aspirasinya secara konseptual serta jernih. Garapannya jelas dan terukur. Bahwa artikulasi politiknya di tingkat nasional masih terdengar lirih, dipengaruhi oleh sedikitnya dua faktor.


Pertama, kongres di Bogor 1931, secara khusus membahas soal pilihan bentuk negara jika Indonesia yang merdeka dapat diraih. Unifikasi ataukah federasi. Kongres secara khusus mengundang dua narasumber yang mewakili dua pemikiran besar itu, Mr. Sartono yang membela unifikasi dan Sam Ratulangie yang mengedepankan federasi. Sastrawan MA Salmoen dalam koran Sipatahoenan (1937) menggambarkan gairah peserta kongres pada dua tawaran konseptual itu.


“Mani jiga bener duanana. Alesan duanana oge nya ngeusi nya patri, nya keukeuh nya pageuh. Balik tas ngadengekeun biantara, sapoe sapeuting teu bisa sare, mikiran mana di antarana nu dua nu pang benerna.” (Rasanya keduanya sama-sama benar. Alasan keduanya berisi dan paten, kuat dan kokoh. Pulang dari mendengarkan pidato, sehari semalam tidak bisa tidur, memikirkan mana yang paling benar di antara keduanya).


Selain memilih kembali Oto Iskandar di Nata sebagai Hoofdbestuur Voorzitter (Ketuam Umum), kongres memutuskan federasilah yang akan dipilih jika kelak di kemudian hari Indonesia merdeka. Pilihan ini masih dipegang teguh pada Kongres ke-25 sebagaimanadicatat dalam buku khusus Pengemoet-ngemoet Ngadegna Pagoejoeban Pasoendan 25 Taoen Pasoendan (1940).


Perubahan pilihan baru terjadi pada sidang kedua BPUPKI, pada rapat Panitia Perancang UUD, 11 dan 13 Juli 1945, yang diikuti 18 anggota, termasuk Oto Iskandar di Nata. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Saafroedin Bahar, dkk. (1992), disebutkan bahwa Latuharhary mengatakan, “Unitarisme dan federalisme diundi; segenap anggota kecuali dua orang menghendaki unitarisme.” Tak jelas siapakah dua orang itu. Tak jelas juga apa pilihan Oto pada sidang itu. Yang pasti, ia menerima hasilnya dan tidak menyuarakan keberatan lagi setelah itu.


Kedua, setelah ikut meraih kemerdekaan, Pasundan justru kocar-kacir, terlebih setelah Oto diculik dan dibunuh di Mauk pada 20 Desember 1945. Baru pada 1949, Wakil Ketua Soeradiradja, yang terpilih dalam kongres terakhir 1941, mengambil inisiatif membangkitkan kembali Pasundan. Tetapi Soeradiradja menghadapi dilema karena nama Pasundan telah dipakai oleh oleh pihak lain. Antara 1946-48, ada tiga pihak yang telah menggunakan nama Pasundan. Partai Rakyat Pasundan (PRP) sebagai partai politik, Negara Pasundan yang didirikan oleh Moesa Soeria Karta Legawa atas dukungan Belanda, dan Negara Pasundan dengan Wiranatakoesoema sebagai walinegara terpilih.


Situasi inilah yang tidak berhasil diatasi oleh para tokoh Pasundan. Sebelum Jepang datang, Pasundan telah menjelma sebuah organisasi yang mapan. Memiliki 50 sekolah dasar dan menengah, sebuah bank pusat, koperasi di setiap cabang, klinik, dan lembaga bantuan hukum. Pencapaian itu ditunjang oleh publikasi media, baik yang dikelola sendiri maupun media umum. Dalam setiap kongresnya, Pasundan menyoroti hal-hal yang menjadi persoalan hidup masyarakat, seperti harga teh, tenaga kerja, dan persoalan hukum. Pasundan sudah menjadi penyalur aspirasi yang dipercaya publik.


Namun, setelah revolusi kemapanan itu tak bisa dipertahankan. Pengurus tidak sepenuhnya siap menerima konstalasi politik yang sangat dinamis sejak masa revolusi hingga penghujung demokrasi parlementer. Baru pada 1959, Pasundan menarik diri dari hiruk-pikuk politik dankembali mengurusi pendidikan dan sosial-ekonomi. Setahun berselang, pada 14 November 1960, Universitas Pasundan didirikan. Pasundan bergerak semakin ke dalam. Membenahi organisasi dan menghimpun kembali aset yang cerai-berai akibat revolusi. Pelan tapi pasti, Pasundan mampu bangkit kembali.


Dari dua hal di atas, bisa dipahami jika artikulasi politik Pasundan di tingkat nasional terdengar lirih. Perannya sebagai penyalur aspirasi orang Sunda telah diambil alih oleh partai politik. Namun, peran politik Pasundan ternyata tetap ditunggu dan diharapkan publik. Apalagi ketika anggota DPR RI dari daerah pilihan Jawa Barat banyak diisi oleh bukan orang Sunda, publik kembali menggugat peran Pasundan. Begitu pula soal absennya orang Sunda dari kandidat calon presiden dan wakil presiden, peran Pasundan pula yang dipertanyakan.


Musuh diri sendiri

Ada sebuah puisi yang kerap dibacakan Didi Turmudzi dalam berbagai kegiatan resmi Pasundan. Judulnya Sunda Tandang (2015).


Tatar Pasundan kiwari ngan kari carita/ dina dongeng ka barudak samemeh sare/
leuweungna geus ruksak/ sawahna geus beak/ budayana ngarakacak/
(Tanah Pasundan kini tinggal cerita/ dalam dongeng anak-anak sebelum tidur/ hutannya
sudah habis/ sawahnya sudah binas/ budayanya menyedihkan).


Kutipan bait pertama puisinya itu mengingatkan pada kegelisahan Dajat Hidajat di awal pendirian organisasi ini. Orang Sunda yang takut kalah dan tersisih. Hanya saja Didi mulai tegas melihat kerusakan alam yang tak bisa dibendung karena laju pembangunan. Jika Dajat mengusulkan sebuah paguyuban untuk mengatasi persoalan Sunda waktu itu, kini Didi mengajak untuk bertarung bersama Pasundan menyelamatkan tanah Sunda dari kebijakan pusat yang tidak memihak. Ketakutan terhadap pihak lain inilah yang melekat di lingkungan Pasundan, dari era Dajat Hidajat hingga Didi Turmudzi.


Jika Dajat takut ketinggalan dari Jawa dan Melayu, Didi khawatir sumber daya alam Sunda tak tersisa untuk anak-cucu. Keduanya sama-sama mengajak singkil, menyingsingkan lengan baju untuk menyelesaikan persoalan.


Dalam statuta Pasundan 2020-2025 tercantum visi, terwujudnya masyarakat Indonesia yang mempunyai harkat dan martabat pada 2040. Dengan dua misi utama: (1) memerangi kebodohan dan kemiskinan, (2) memelihara nilai-nilai budaya Sunda dan ajaran Islam. Visi- misi ini untuk mencapai udagan (goal) keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan kehormatan. Dua misi itu ditunjang dengan sejumlah usaha dan bidang garapan yang secara umum sudah selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.


Pasundan secara meyakinkan berhasil mengembangkan pusat perkantoran di jantung kota Bandung. Jajaran pengurus besarnya bergelar doktor dan profesor. Akan tetapi keberhasilan itu belum melebar ke cabang-cabang. Kuatnya pengurus pusat belum diimbangi kemampuan pengurus daerah. Sejumlah sekolah Pasundan di daerah mulai ditinggalkan calon siswa, tanda kalah bersaing dengan lembaga pendidikan lain. Suara cabang yang mewadahi aspirasi lokal juga nyaris tak terdengar. Pasundan belum mampu meratakan kekuatan pusatnya ke daerah. Hal ini menandakan macetnya regenerasi di setiap tingkatan. Potensi mahasiswa di empat perguruan tinggi yang dikelola Pasundan, yang memiliki lebih dari 40 jurusan, belum dijadikan motor penggerak. Mereka belum dijadikan aset baru bagi Pasundan.


Di usianya yang ke-111 tahun, Pasundan tak lagi punya pesaing dari organisasi semasanya. Ia sudah menjadi yang terbesar dan tertua. Musuhnya sekarang adalah dirinya sendiri. Pengurus besarnya sekarang yang akan menjawab, apakah Pasundan masih relevan dengan laju zaman yang kian cepat atau hanya akan jadi museum. Apakah Pasundan akan tetap menjadi sarana mobilitas vertikal anak-anak Sunda atau berganti hanya sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Dan yang paling menarik dinanti adalah bagaimana organisasi orang Sunda ini menyiapkan regenerasi. Sesuatu yang niscaya dan tak bisa dihindari.


Iip D. Yahya, peneliti dan penulis. 
Catatan: dimuat dengan sedikit perubahan dari artikel yang pernah dimuat dalam tirto.id, 20 Juli 2021, dengan beberapa perbaikan.