• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Ngalogat

Nasib Hubungan Interpersonal Masyarakat Sunda Bagian 2: Emosional ke Transaksional

Nasib Hubungan Interpersonal Masyarakat Sunda Bagian 2: Emosional ke Transaksional
Nasib Hubungan Interpersonal Masyarakat Sunda Bagian 2: Emosional ke Transaksional (Foto/freepik)
Nasib Hubungan Interpersonal Masyarakat Sunda Bagian 2: Emosional ke Transaksional (Foto/freepik)

Oleh Herdi As’ari
Dalam konteks hubungan interpersonal, kita tahu bahwa hubungan ini terejawantahkan di dalam relasi sosial yang dilandasi oleh ikatan emosional. Dalam kondisi yang sedemikian galau tadi, agaknya kita akan ragu. Apakah hubungan-hubungan emosional akan hidup dan tumbuh dalam budaya masyarakat yang kian individualis dan pragmatis?

 

Hubungan interpersonal sejatinya didasari oleh nilai kesetiaan dan kasih sayang. Namun, mungkin saja hari ini untuk mendengar kata itu pun orang-orang akan kegelian dan berkata lebay. Oleh karena, hubungan persahabatan atau pertemanan, percintaan, bahkan kekerabatan, kini beralih dari hal ihwal emosional menjadi transaksional.  

 

Pergeseran hubungan interpersonal sedang berlangsung di sana-sini dan dalam pergaulan sosial yang paling menyehari. Anda atau kita semua, akan keheranan tatkala ada teman yang tiba-tiba bertanya kabar atau berkunjung ke rumah tanpa alasan yang mendesak. Kita akan menganggap bahwa mereka itu ada kepentingan tertentu. Padahal, hal itu adalah lumrah apabila sewaktu-waktu ingin bertemu karena rindu.

 

 

Selain daripada itu, untuk bertemu misalnya, orang-orang harus membuat janji terlebih dahulu. Nyaris mustahil suatu pertemuan dapat dilaksanakan tanpa mengatur jadwal. Naluri sosial tatap-muka, terhalang oleh alasan waktu dan sibuk bekerja. Maka dari itu, istilah ‘sahabat karib’ atau ‘teman sejawat’ nyaris tak lagi terdengar di dalam pergaulan sehari-hari, kalau bukan menemukannya di buku atau syair lagu. 

 

Begitu halnya dengan hubungan asmara. Aspek fisik dan materil menjadi standar utama dalam memilih pasangan hidup. Sedangkan aspek moril (akhlak, nasab, maupun pengalaman agama) dinomor-sekiankan. Pertanyaan: Dimana bekerja, berapa penghasilan, sudah punya apa, menjadi ‘kisi-kisi’ umum dalam wawancara sebelum memutuskan untuk berumah-tangga.

 

Tak terkecuali hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Hingga lahir anekdot berbahasa Sunda: Batur jadi dulur, dulur jadi batur. Anekdot ini mengisyaratkan hubungan kekerabatan dapat goyah karena berbeda pendapat dan pendapatan, semisal, rebutan harta warisan. Atau dengan pendek kata, ikatan kekeluargaan menjadi kabur tatkala ditakar dengan timbangan untung-rugi.

 

Dengan demikian, seluruh ikatan interpersonal pada akhirnya akan terkubur ketika sikap transaksional lebih unggul. Semakin tertimbun lagi ketika kearifan lokal dan nilai ajaran agama sebagai asas pergaulan ditinggalkan.

 

Sejatinya, peribahasa-peribahasa yang menjelaskan tentang hubungan interpersonal, seperti: Silih asah, silih asuh, silih asih; ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salogak; atau sareundeuk saigel saketék sapihanéan, tak hanya dihafal. Tetapi juga, ada upaya yang sungguh-sungguh dalam mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Batur jadi dulur, dulur beuki akur –begitulah seharusnya.


Penulis adalah pemerhati sosial-budaya dari Tasikmalaya


Ngalogat Terbaru